Wanita kuat dengan segala deritanya tapi dibalik itu semua ada pria yang selalu menemani dan mendukung di balik nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syizha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam yang menegangkan
Malam itu, di dalam rumah Reina yang sempit dan penuh dengan peralatan lama dan barang -barang usang yang berdebu, suasana semakin berat. Peta tua yang terbentang di meja kayu menjadi saksi awal perjuangan mereka. Reina dengan hati-hati menunjuk ke sebuah titik di peta.
“Ini dia,” kata Reina sambil menunjuk sebuah area di pegunungan utara yang hampir tidak terlihat di peta. “Lokasi Sentinel berada di tengah hutan ini, terkubur di bawah tanah. Ada sebuah pos penjagaan di luar, tetapi itu hanya untuk mengalihkan perhatian. Fasilitas sebenarnya tersembunyi jauh di bawah.”
Akselia menatap titik itu dengan alis berkerut. “Jika itu tempatnya, bagaimana kita masuk tanpa membuat mereka tahu?”
Reina menghela napas. “Itulah masalahnya. Sentinel memiliki sistem keamanan yang dirancang untuk mendeteksi siapa pun yang mencoba masuk tanpa izin. Tapi ada satu celah—akses biometrik dari Lucas Ravindra. Dia adalah kunci utama.”
Axel menatap Reina tajam. “Kau bilang sistem itu sangat ketat. Bagaimana kita bisa mendapatkan data biometrik dari Lucas tanpa dia menyadari keberadaan kita?”
Reina tersenyum tipis. “Kita tidak harus mencuri dari Lucas secara langsung. Aku tahu seseorang yang pernah bekerja di bawahnya. Dia mungkin memiliki data cadangan atau akses ke jaringan mereka.”
“Siapa orang itu?” tanya Nathaniel.
Reina menjawab dengan nada ragu. “Namanya Mikael. Dulu dia adalah kepala divisi teknologi di proyek Aurora. Tapi setelah salah satu eksperimen gagal, Lucas mengorbankannya untuk menutupi kesalahan. Sejak itu, dia menghilang, tetapi aku yakin dia masih hidup. Orang secerdas Mikael tidak akan lenyap begitu saja.”
“Di mana kita bisa menemukannya?” Akselia semakin tak sabar.
“Dia dikenal sering bersembunyi di tempat-tempat yang tidak terduga. Tapi terakhir kali aku mendengar kabar, dia tinggal di kota pelabuhan bernama Garban. Itu tempat yang kacau—penuh dengan kriminal, penyelundup, dan pengkhianat. Tapi jika ada seseorang yang tahu keberadaannya, itu adalah jaringan bawah tanah di sana.”
Axel mengangguk pelan. “Kita tidak punya banyak pilihan. Jika Mikael adalah kunci untuk mendapatkan akses ke Sentinel, kita harus menemukannya.”
Keesokan paginya, mereka meninggalkan rumah Reina dengan perlengkapan seadanya. Perjalanan menuju Garban memakan waktu seharian penuh. Sepanjang jalan, Akselia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang akan mereka temui di sana.
“Apakah kau yakin Mikael bisa dipercaya?” tanya Akselia kepada Reina, yang ikut bersama mereka dalam perjalanan ini.
Reina menatap Akselia, matanya tajam. “Tidak ada yang bisa dipercaya sepenuhnya dalam permainan ini. Tapi jika Mikael tahu kau adalah putri Adrian Ananta, dia mungkin akan membantu. Ayahmu dulu menyelamatkan hidupnya.”
Perkataan itu membuat Akselia terdiam. Ayahnya, yang selama ini ia anggap hanya seorang peneliti biasa, ternyata memiliki banyak rahasia yang bahkan ia sendiri tidak tahu.
Ketika mereka tiba di Garban, kota itu persis seperti yang digambarkan Reina—penuh dengan kekacauan. Jalan-jalan sempit dipenuhi dengan pedagang gelap, suara musik dari bar-bar kumuh, dan orang-orang dengan tatapan mencurigakan.
“Tempat ini seperti neraka,” gumam Nathaniel sambil memandang sekeliling.
Reina memimpin mereka menuju sebuah bar tua di sudut kota. Pintu kayu bar itu berderit ketika mereka membukanya, dan bau alkohol segera memenuhi udara.
“Ada seseorang di sini yang mungkin bisa membantu kita,” bisik Reina sambil berjalan menuju meja di pojok ruangan.
Di meja itu duduk seorang pria tua dengan janggut lebat dan mata yang tajam. Ketika Reina mendekatinya, pria itu tersenyum samar.
“Reina,” katanya dengan nada mencemooh. “Lama sekali sejak terakhir kali kau datang ke sini. Apa yang kau inginkan kali ini?”
“Kami mencari Mikael,” jawab Reina tanpa basa-basi.
Pria itu mendengus, lalu menghisap cerutunya. “Mikael? Orang itu sangat berhati-hati. Tidak banyak yang tahu di mana dia sekarang. Tapi aku pernah mendengar desas-desus dia tinggal di gudang tua dekat pelabuhan.”
Reina mengeluarkan beberapa uang dari sakunya dan menyerahkannya kepada pria itu. “Katakan di mana tepatnya.”
Pria itu mengambil uang itu dengan senyum sinis. “Gudang nomor 27. Tapi hati-hati, tempat itu tidak aman. Ada banyak orang yang tidak suka jika kau datang tanpa alasan.”
Malam itu, mereka mendekati gudang nomor 27 dengan penuh kehati-hatian. Axel memastikan tidak ada yang mengikuti mereka, sementara Nathaniel mengamati jalan keluar jika sesuatu berjalan tidak sesuai rencana.
“Jika Mikael ada di sini, dia pasti sudah memasang jebakan,” bisik Axel.
Mereka mendekati pintu gudang dan mengetuk perlahan. Tidak ada jawaban. Reina mencoba lagi, kali ini dengan lebih keras.
“Pergi dari sini!” teriak suara dari dalam.
“Kami bukan musuh,” kata Reina dengan suara lantang. “Kami datang karena Adrian Ananta. Ini tentang Sentinel.”
Hening sejenak, kemudian terdengar suara langkah kaki dari dalam. Pintu terbuka sedikit, dan seorang pria kurus dengan rambut berantakan mengintip dari baliknya. Matanya menyipit, penuh curiga.
“Adrian?” tanyanya. “Dia sudah mati. Apa yang kalian inginkan?”
“Dia meninggalkan sesuatu,” jawab Akselia, maju selangkah. “Sesuatu yang hanya bisa dijawab oleh Sentinel. Aku butuh bantuanmu.”
Pria itu menatap Akselia lama, seolah mencoba membaca pikirannya. Akhirnya, dia membuka pintu sepenuhnya.
“Masuk,” katanya singkat.
Di dalam gudang, Mikael membawa mereka ke sebuah meja yang dipenuhi dengan perangkat elektronik tua dan kertas-kertas berisi catatan yang sulit dibaca.
“Jika kau mencari Sentinel, kau sedang menggali kuburmu sendiri,” katanya sambil duduk. “Lucas tidak akan membiarkan siapa pun mendekati tempat itu.”
“Itu bukan masalah,” kata Akselia dengan tegas. “Yang penting adalah kebenaran.”
Mikael mendesah. “Baiklah. Aku akan membantumu. Tapi ada sesuatu yang harus kau tahu. Sentinel tidak hanya menyimpan rahasia proyek Aurora. Tempat itu adalah awal dari semua kekacauan ini. Begitu kau masuk, tidak akan ada jalan keluar.”
Akselia menatapnya dengan mata penuh tekad. “Aku tidak peduli. Aku akan melanjutkan apa yang ayahku mulai.”
Mikael mengangguk perlahan. “Kalau begitu, kita punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan.”
Namun, di luar gudang, bayangan beberapa pria bersenjata mulai berkumpul, mengintai mereka dalam diam. Bahaya semakin dekat, dan waktu mereka semakin sedikit.
Mikael berbalik ke meja kerjanya, mengambil sebuah kotak logam kecil yang terkunci dengan kode digital. Tangannya gemetar sedikit saat ia mengetikkan kombinasi, membuka kotak itu, dan mengeluarkan sebuah perangkat kecil berwarna hitam.
“Apa ini?” tanya Akselia, matanya menyipit curiga.
“Ini adalah perangkat pembobol sistem. Aku menciptakannya saat bekerja di Aurora,” kata Mikael. “Dengan ini, kau bisa mengakses sebagian besar protokol keamanan Sentinel, tetapi itu hanya membukakan lapisan awal. Sisanya... kita masih butuh data biometrik Lucas.”
Axel mendekati perangkat itu, mengamatinya dengan serius. “Seberapa besar kemungkinan ini bekerja?”
“Jika Lucas tidak mengubah sistemnya sejak aku keluar, perangkat ini bisa membuat kalian masuk. Tapi itu tidak berarti kalian aman. Sentinel bukan hanya tentang teknologi. Itu juga dijaga oleh... mereka.”
“‘Mereka’ siapa?” Nathaniel bertanya, nada suaranya mulai gelisah.
Mikael menatap ke arah mereka satu per satu, wajahnya mengeras. “Orang-orang yang tak segan menghabisimu sebelum kau bisa melangkah lebih jauh. Sentinel tidak hanya dijaga dengan kamera atau laser—ada tim bayangan yang selalu siap menghentikan siapa saja yang berani mendekat. Mereka dilatih untuk membunuh tanpa ragu.”
Sejenak, ruangan menjadi sunyi. Kata-kata Mikael menggantung di udara, menambah ketegangan yang sudah berat.