Dina, seorang janda muda, mencoba bangkit setelah kehilangan suaminya. Pertemuan tak terduga dengan Arga, pria yang juga menyimpan luka masa lalu, perlahan membuka hatinya yang tertutup. Lewat momen-momen manis dan ujian kepercayaan, keduanya menemukan keberanian untuk mencintai lagi. "Janda Muda Memikat Hatiku" adalah kisah tentang cinta kedua yang hadir di saat tak terduga, membuktikan bahwa hati yang terluka pun bisa kembali bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Sentuhan di Toko Buku
Dina mengatur rak-rak di toko buku sambil mendengarkan suara riuh rendah dari luar. Pagi itu, suasana di kota terasa cerah, dengan angin yang membawa aroma segar dari bunga-bunga yang bermekaran di taman terdekat. Sambil memindahkan beberapa buku dari satu rak ke rak lainnya, pikirannya melayang ke momen-momen yang ia habiskan bersama Arga. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi satu hal yang pasti—perasaannya mulai tumbuh, tumbuh dalam cara yang tidak bisa ia kendalikan.
Tiba-tiba, bel pintu berbunyi, dan Dina menoleh, mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk. Seorang pria dengan jaket biru tua memasuki toko. Matanya langsung berbinar saat melihat Arga, yang berdiri di sana dengan senyum ramah di wajahnya.
“Selamat pagi, Dina,” ucap Arga, melangkah masuk ke dalam toko. Ia memandang sekeliling sejenak sebelum matanya kembali berfokus pada Dina.
“Selamat pagi, Arga. Ada yang bisa saya bantu?” Dina mengalihkan perhatian dari bukunya, mencoba tetap tenang meskipun jantungnya berdetak lebih cepat.
Arga berjalan mendekat, seakan ingin menikmati setiap langkahnya. “Saya hanya ingin melihat-lihat. Sudah lama saya tidak ke toko ini,” katanya dengan nada yang sengaja dibuat santai, namun matanya memancarkan rasa ingin tahu.
Dina tersenyum tipis. “Ada banyak buku baru yang mungkin Anda suka. Baru-baru ini saya menambahkan beberapa koleksi fiksi romantis. Mungkin Anda ingin melihatnya?” tanya Dina, berusaha menjaga percakapan tetap ringan.
Arga mengangguk, mengikuti Dina yang memimpin ke rak besar di ujung ruangan. Udara di antara mereka terasa ringan dan nyaman. Sesekali, Arga melirik ke arah Dina, senyum kecil di bibirnya. Rasanya, ada ketegangan yang mengalir di udara, tak terlalu jelas namun cukup terasa. Saat mereka berdiri di dekat rak buku, Arga menatap ke arah sampul-sampul buku yang dipajang, seolah sedang memilih sesuatu yang paling menarik.
“Pernahkah Anda membaca buku-buku ini?” tanya Arga sambil menunjuk ke deretan buku di tangan Dina.
Dina menggeleng. “Beberapa di antaranya, ya. Tapi ada satu yang sangat saya sukai. ‘Cinta dalam Diam’—itu tentang dua orang yang tidak bisa mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain. Ceritanya sangat indah.”
Arga menyandarkan punggungnya pada rak buku, menatap Dina dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Saya rasa saya harus membaca buku itu. Mungkin ada pelajaran yang bisa saya ambil, atau mungkin ini hanya alasan untuk menghabiskan lebih banyak waktu di sini.”
Dina merasa pipinya memanas mendengar perkataan itu. Perasaan malu yang menyusup ke dalam dirinya membuatnya menundukkan kepala, memandang lantai kayu yang berkilau di bawah kaki mereka. “Mungkin Anda hanya ingin mencari alasan untuk bertemu saya,” katanya, suara lembutnya hampir teredam.
Arga tertawa kecil, suaranya hangat dan penuh kedekatan. “Mungkin, Dina. Tapi saya tidak keberatan.”
Dina menoleh, melihat Arga yang tertawa dengan ekspresi yang begitu jujur. Seketika, suasana di antara mereka berubah. Tak ada lagi perasaan canggung atau ragu. Mereka hanya dua orang yang sedang menikmati waktu bersama, berbagi cerita tentang buku, tentang kehidupan, dan tentang mimpi-mimpi yang mulai tumbuh di dalam hati mereka.
Tanpa sadar, tangan mereka bersentuhan saat Dina menarik sebuah buku dari rak. Arga merasakan getaran lembut di telapak tangannya, dan Dina pun merasakannya—sebuah momen yang seolah memperlambat waktu. Mereka saling memandang, dan meskipun tidak ada kata-kata, ada percakapan yang tidak terucapkan di antara mereka. Ada pengakuan akan rasa yang semakin dalam, yang tak bisa lagi disangkal.
“Dina, saya ingin bertanya sesuatu,” Arga akhirnya membuka suara, suaranya penuh perhatian.
“Ya?” Dina menjawab, suaranya bergetar karena ketegangan yang tiba-tiba melanda.
“Apakah Anda ingin pergi makan malam bersama saya malam ini? Hanya kita berdua,” kata Arga, matanya menatap mata Dina dengan harapan yang tulus.
Dina terdiam sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu, dengan mengiyakan ajakan itu, berarti ia membuka babak baru dalam hidupnya—sebuah babak yang penuh dengan kemungkinan, namun juga ketidakpastian. Tapi, di saat yang sama, ia merasa seolah-olah ini adalah langkah yang benar.
“Apa yang harus saya kenakan?” Dina akhirnya menjawab, senyumnya lebar dan penuh arti. Arga tertawa, rasa lega muncul di wajahnya.
“Sesukamu, Dina. Hanya kau dan aku. Itu yang penting.”
---
Malam itu, suasana di restoran kecil yang nyaman terasa lebih hidup dari biasanya. Lampu-lampu di langit-langit berkilauan, menciptakan suasana hangat di setiap sudut. Aroma makanan yang menggugah selera mengisi udara, sementara suara bisikan pelayan dan musik lembut di latar belakang menambah kesan romantis yang tak bisa diabaikan.
Dina duduk di meja yang dipesan oleh Arga, mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda yang menonjolkan kecantikannya. Arga datang dengan jas yang terpasang rapi, senyumnya membuat Dina merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia merasa seperti melangkah ke dunia baru yang penuh dengan harapan.
“Terima kasih sudah datang, Dina,” kata Arga, membuka percakapan sambil memandang Dina dengan tatapan yang begitu dalam.
Dina menyunggingkan senyum, mengangguk. “Terima kasih telah mengundang saya. Ini… menyenangkan.”
Mereka memulai percakapan ringan, membahas segala hal mulai dari film yang mereka sukai hingga buku-buku yang membuat mereka terkesan. Tapi, seiring berjalannya waktu, pembicaraan mereka semakin mendalam. Mereka saling berbagi cerita tentang masa lalu, tentang kesalahan, dan tentang harapan mereka di masa depan. Arga menceritakan tentang kebahagiaan yang pernah ia rasakan sebelum kehilangan Livia, tentang bagaimana ia bertahan dan berusaha bangkit setelahnya.
Dina mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya dipenuhi dengan empati dan kehangatan. Ia tahu, di balik cerita-cerita itu, ada luka yang dalam, dan ia ingin menjadi bagian dari proses penyembuhan Arga.
“Saya rasa, kita semua punya cerita yang membuat kita seperti sekarang ini,” kata Dina, sambil menatap Arga. “Tapi mungkin, kita juga punya cerita yang bisa kita ciptakan bersama, yang akan mengubah hidup kita.”
Arga mengangguk, tatapannya penuh keyakinan. “Saya percaya itu, Dina. Dan saya ingin cerita itu dimulai dengan Anda.”
Tiba-tiba, pelayan datang membawa makanan mereka. Namun, momen itu seakan berhenti sejenak. Mereka berdua saling bertukar pandangan, mata mereka bertemu, dan sejenak dunia terasa seperti milik mereka berdua.
Dina mengambil sendoknya, namun tangan Arga yang berada di seberang meja mengulurkan tangan, menahan pergelangan tangannya.
“Dina, tidak peduli apa yang terjadi, saya ingin selalu ada di sini untuk Anda. Tidak hanya hari ini, tapi setiap hari,” katanya dengan penuh perasaan, membuat Dina merasa seolah-olah dunia ini lebih terang, lebih indah.
Dina menatap Arga, merasakan kehangatan yang mengalir dari tatapan itu. Ada kebahagiaan yang sederhana namun sangat berarti dalam momen itu. Ia tahu bahwa malam ini, sesuatu telah berubah. Mungkin mereka belum sepenuhnya menyembuhkan luka mereka, tapi mereka telah mulai membiarkan cinta mengisi kekosongan itu, pelan-pelan, seperti aliran air yang meresap ke dalam tanah yang gersang.
Dan di malam itu, saat lampu-lampu restoran memancarkan sinar yang lembut dan suara percakapan di sekeliling mereka bergema, Dina tahu bahwa ada sesuatu yang benar-benar berharga di antara mereka. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa hatinya mulai membuka diri untuk kemungkinan yang indah.