Setelah menikahi Ravendra Alga Dewara demi melaksanakan wasiat terakhir dari seseorang yang sudah merawatnya sejak kecil, Gaitsa akhirnya mengajukan cerai hanya dua bulan sejak pernikahan karena Ravendra memiliki wanita lain, meski surat itu baru akan diantar ke pengadilan setahun kemudian demi menjalankan wasiat yang tertera.
Gaitsa berhasil mendapatkan hak asuh penuh terhadap bayinya, bahkan Ravendra mengatakan jika ia tidak akan pernah menuntut apa pun.
Mereka pun akhirnya hidup bahagia dengan kehidupan masing-masing--seharusnya seperti itu! Tapi, kenapa tiba-tiba perusahaan tempat Gaitsa bekerja diakuisisi oleh Grup Dewara?!
Tidak hanya itu, mantan suaminya mendadak sok perhatian dan mengatakan omong kosong bahwa Gaitsa adalah satu-satunya wanita yang pernah dan bisa Ravendra sentuh.
Bukankah pria itu memiliki wanita yang dicintai?
***
"Kamu satu-satunya wanita yang bisa kusentuh, Gaitsa."
"Berhenti bicara omong kosong, Pak Presdir!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agura Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malaikat Pembuat Teh
"Kamu tidak akan ikut?" Daniyal menatap wanita berstatus sekretaris yang malah duduk santai saat katanya harus pergi menemui klien ke hotel Matahari.
Gaitsa segera berdiri setelah Daniyal terlihat mengerutkan kening. Wanita itu tersenyum, "Tidak, Pak. Orang yang akan bersama Bapak hari ini adalah perwakilan dari tim pengembang. Mereka sudah menunggu di lobi," jelasnya sopan.
"Bukankah tugas sekretaris adalah berada di sisi bosnya sepanjang waktu?" Daniyal jadi menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah jelas gara-gara Gaitsa.
"Benar. Tapi, ada banyak hal yang harus saya urus di perusahaan. Semuanya harus selesai sebelum pesta penyambutan bulan depan. Kasihan sekretaris yang akan datang kalau pekerjaannya menumpuk." Gaitsa membalik laptopnya menghadap Daniyal, menunjukkan layar berisi puluhan laporan dari berbagai divisi.
Hal-hal yang pengerjaannya tertunda karena perusahaan tiba-tiba hampir pailit dan diambil alih Dewara Grup, harus segera diselesaikan. Gaitsa tidak biasa menunda pekerjaan.
"Akan lebih mudah untuk Bapak kalau semua laporan ini sudah saya periksa terlebih dulu sebelum pukul dua nanti saya kirimkan ke Bapak." Wanita itu kembali memberi penjelasan, berharap alasannya tidak terdengar mengada-ada.
"Baiklah," ucap Daniyal akhirnya, sebenarnya malas mau mendebat lebih lama.
Gaitsa membungkuk sopan saat pria itu berlalu. Wanita itu memberikan jari tengah pada punggung Daniyal sebelum kembali pada pekerjaannya.
***
"Bagaimana?"
Wanita bersurai malam itu mengernyit dengan pertanyaan tiba-tiba yang dilayangkan Erika. Mereka sedang menikmati ayam goreng yang ditaburi bumbu cabai di restaurant tidak jauh dari kantor.
"Apanya?" tanya Gaitsa tidak paham. Bagaimana bisa paham kalau tiba-tiba diajukan pertanyaan hanya dengan satu kata. Gaitsa kan bukan cenayang.
"Pak Daniyal," jelas Erika singkat. "Aku tidak percaya dia langsung dapat julukan putra Zeus di hari pertamanya sebagai Direktur baru."
"Hmm ...." Gaitsa mengingat wajah tampan dan penuh pesona Daniyal, "Biasa saja," katanya spontan setelah ingat cara pria itu menatap foto Biyu.
"Serius? Sudah kuduga gosipnya terlalu dibesar-besarkan!" seru Erika sedikit manyun.
"Jangan bilang kamu benar-benar berharap dia setampan Zeus?" Gaitsa mengernyit, agak tidak suka membayangkan wanita di hadapannya harus berurusan dengan Daniyal. "Well, mungkin benar. Tapi kelakuannya lebih mirip Lucifer," katanya dengan nada serius.
"Rumor yang beredar itu bukan sekedar kabar burung?"
Gaitsa menggeleng pasti. Sejak pria berstatus Direktur Utama itu menatap foto Biyu sambil berdecih dengan mata meremehkan, Gaitsa langsung meminta seseorang di galeri Shavata untuk mencari tahu semua hal tentang Daniyal. Ia tahu kalau hasil pencarian orang-orang itu tidak mungkin salah.
"Dia berganti wanita seperti dia minum obat, sehari tiga kali." Gaitsa memulai sebuah fakta yang membuatnya jijik ketika membaca laporannya. "Tidak meniduri wanita yang sama dua kali adalah prinsip hidupnya. Dua fakta itu saja sudah cukup untuk membuatmu tidak perlu mengidolakannya setampan apa pun wajah seseorang," jelas Gaitsa panjang lebar.
***
“Sebanyak ini?”
Daniyal baru pulang dari pertemuannya dengan klien, tubuhnya sangat lelah. Daniyal biasa bekerja di balik bayang-bayang, jadi pertama kali menghadapi orang dalam hal pekerjaan membuat kepalanya sakit.
Keningnya mengernyit melihat tumbukan berkas di meja yang sebelumnya kosong. Belum lagi notifikasi yang memasuki ponselnya, surel berisi laporan lain yang harus ia periksa.
Ravendra bahkan tidak mengatakan apa pun tentang pekerjaan yang menumpuk. Pria itu menghela napas saat duduk di kursi putarnya, mulai mengambil berkas satu per satu.
Daniyal mengangkat gagang telepon sebelum menekan tombol, memanggil seseorang yang meja kerjanya tepat di depan ruangannya.
"Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Gaitsa sambil meletakkan berkas di tangan.
"Buatkan kopi!" perintah dari pria di seberang membuat Gaitsa hampir mencibir.
"Baik, Pak."
Wanita bersurai panjang itu menghela napas jengkel saat menyadari bahwa tidak ada pantry di ruangan itu. Bagaimana bisa Direktur sebelumnya tidak memikirkan membuat pantry di ruangannya?
Sebenarnya di setiap lantai ada pantry yang bisa dimasuki siapa pun. Tapi, membayangkan harus naik lift sambil membawa kopi benar-benar tidak menyenangkan.
Tok tok tok!
Gaitsa menatap ponselnya yang baru saja terdengar notifikasi.
[Aku sedang buat teh, mau tidak? Nanti kuantar langsung kalau kamu tidak percaya OB.]
Senyum wanita itu melebar setelah merasa mendapat pertolongan tiba-tiba.
[Malaikatku datang di waktu yang tepat huhuhu ... titip buatkan kopi untuk Pak Direktur, ya? Sayang Erika banyak-banyak~]
Gaitsa kembali menegakkan tubuh di depan laptopnya, menarik napas panjang sebelum matanya kembali memperhatikan setiap huruf dan angka-angka yang tertera.
***
"Benar-benar mau mengantarnya sendiri?"
Erika yang sudah selesai membuat secangkir kopi serta teh dan meletakkannya di nampan saat Manajernya, Mella, memasuki pantry.
"Aku khawatir kalau harus membiarkan orang lain mengantarnya ke Gaitsa," jawab Erika seraya mengangkat nampan.
"Orang yang kamu panggil Gaitsa itu tiga tahun lebih tua darimu!" ujar Mella mengingatkan saat wanita bersurai pendek malah tertawa cekikikan.
Erika memasuki lift dan menekan tombol 12, lantai teratas tempat Gaitsa berada saat ini. Wanita itu tersenyum cerah. Sudah lama ia tidak membuatkan minuman untuk orang lain, biasanya malah Erika yang dibuatkan oleh rekan-rekannya.
Dulu orang tuanya selalu meminta Erika untuk membuat kopi atau teh setiap kali keluarga mereka akan bersantai di halaman belakang. Katanya tidak ada minuman yang lebih baik dari buatan gadis itu.
Wanita itu tersenyum getir saat satu demi satu kenangan membanjiri benaknya. Pujian, tawa, obrolan hangat dan pelukan selalu ia terima setiap hari dari orang tuanya. Erika tidak pernah dibiarkan merasa kesepian di tengah kesibukan ayah dan ibunya mengelola YG Grup.
Erika mendongak saat bunyi 'ting!' yang menandakan lift sudah sampai di lantai tujuannya. Wanita itu melangkah di koridor, bibirnya membulat takjub melihat desain yang tampak mewah. Ini pertama kalinya ia memasuki lantai teratas tempat ruangan Direktur berada.
"Tok tok, permisi!" ujar wanita itu sambil mengetuk pelan meja Gaitsa, membuat wanita yang sedang sangat serius itu terkesiap. "Sibuk, ya, Bu Sekretaris?" tanyanya jahil.
Gaitsa mengendus perpaduan bau teh dan kopi di udara. "Dari baunya sudah tercium aroma mahal," ucapnya sambil tertawa. Seluruh karyawan di divisi personalia tahu bahwa Erika paling tidak mau disuruh membuat minuman.
"Aku sedang jadi orang baik khusus hari ini," timpal Erika sedikit merengut, "Kalau begitu aku akan kembali. Bu Mella akan ceramah seharian kalau terlalu lama meninggalkan pekerjaan."
Erika berjalan kembali ke lift setelah melambaikan tangan, meninggalkan nampan yang tadi dibawanya di meja Gaitsa.
"Cih, dasar."
Gaitsa tersenyum saat wanita bersurai pendek itu sudah menghilang, masuk ke dalam lift. Wanita dengan netra hitam pekat itu membawa nampan berisi kopi pesanan Daniyal setelah meletakkan tehnya sendiri.
"Permisi, Pak!" panggil Gaitsa sesaat setelah mengetuk pintu.
"Masuk."
Wanita itu memasuki ruangan yang di dalamnya hanya terdengar bunyi keyboard dan napas teratur seseorang. Daniyal mendongak saat sebuah nampan dengan secangkir kopi yang terlihat masih mengepul diletakkan di sebelah laptopnya, sedikit jauh dari berkas-berkas yang berserakan.
"Terima kasih."
Gaitsa menaikkan sebelah alis saat pria yang selalu tampak arogan dan sombong itu langsung kembali sibuk setelah mengucapkan terima kasih. Ia ingin mengatakan bahwa yang membuat kopinya bukan Gaitsa, tapi melihat pria itu yang sudah kembali fokus pada pekerjaan membuatnya memilih berjalan ke luar.
Toh hanya kopi, siapa pun yang membuat tidak akan memengaruhi apa-apa.
..rasain akibat bikin wanita sakit hati...bikin dia bucin thor biar ngak arogant