Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Tepukan tangan dan ucapan selamat terdengar riuh dari luar kamar. Agnes masih duduk terpaku di depan cermin, memandangi bayangannya sambil menghela napas panjang.
“Nes, ayo keluar. Pak Fajar udah nunggu. Jangan bikin suamimu pingsan duluan gara-gara kamu kelamaan,” celetuk Berta, menyenggol bahunya.
“Pingsan? Bagus dong kalau dia pingsan. Artinya acara ini batal,” balas Agnes sarkastis sambil berdiri. Kebaya putih yang ia kenakan terasa berat—bukan karena bahannya, tapi karena beban pikiran yang menghantuinya.
“Kamu ini ajaib, Nes. Acara batal juga nggak akan bikin status kamu berubah. Udah sah, tuh!” Berta menggeleng sambil tertawa kecil. “Tapi serius, jalanin aja. Kalau gagal, tinggal bikin Pak Fajar tanda tangan surat cerai.”
Agnes mendengus, melotot kecil ke arah Berta. “Astaga, Ta! Kamu itu sahabat atau provokator, sih?”
Mereka tertawa kecil, meski senyum Agnes terasa dipaksakan. Dengan langkah ragu, ia akhirnya keluar dari kamar, langsung disambut tatapan para tamu yang menunggu-nunggu kehadirannya.
Agnes menghentikan langkah sejenak, pandangannya jatuh pada sosok Fajar Alaska—dosen killer yang kini resmi menjadi suaminya. Dalam balutan kemeja putih bersih dan peci dengan hiasan khas adat Sunda, Fajar tampak sangat berbeda. Bukan lagi pria dengan ekspresi dingin dan komentar pedas yang beberapa saat lalu membuatnya stres di ruang dosen, melainkan seseorang yang terlihat... menenangkan. Meski aura tegasnya tetap terasa.
“Emang nggak ada obatnya ketampanan Pak Fajar,” goda Berta, menyengir.
“Kamu mau, Ta? Kita bisa berbagi,” cetus Agnes, membuat Berta mencubit kecil lengannya.
“Aku cuma kagum, Nes. Otakku nggak ada di dengkul,” balas Berta santai.
Agnes meringis menahan sakit. Sebelum sempat membalas, Fatwa datang menjemputnya. Ia menuntun anaknya untuk duduk di samping Fajar guna menyelesaikan prosesi penandatanganan dokumen dari KUA.
Fajar memperhatikan Agnes dari sudut matanya. Gadis yang beberapa saat lalu masih menjadi mahasiswi nya kini sudah berubah status menjadi istrinya. Agnes duduk di sampingnya dengan wajah ditekuk, seolah apa yang terjadi saat ini bukan kesalahannya.
"Silakan tanda tangani surat-surat ini," ucap seorang petugas KUA.
Agnes dengan ragu menandatangani surat di hadapannya, sementara Fajar sendiri sudah selesai sejak tadi, namun sengaja diam, membiarkan suasana tegang menggantung di antara mereka.
"Kamu yakin gak ada yang mau dibicarakan dulu?" tanya Fajar dengan nada serius, namun ujung bibirnya sedikit terangkat, hampir seperti menyindir.
Agnes menghentikan pena di tengah tanda tangannya, menoleh pelan. "Kalau saya bilang gak yakin, Pak Fajar mau apa? Batalin?" balasnya, setengah bercanda, setengah serius.
Fajar mengangkat alis. "Sudah terlanjur. Kalau dibatalin kamu akan memecah rekor dengan predikat janda sebelum satu jam, nyonya Alaska."
Agnes meringis kecil mendengar panggilan, Nyonya Alaska. "Ih, kenapa kedengarannya menggelikan banget? Apa karena sekarang sudah menjadi seorang istri harus ada embel-embel nama keluarga baru?" pikirnya. Ia pun mengabaikan Fajar lalu membumbui kertas itu dengan tinta hitam.
“Alhamdulillah, kalian sudah resmi menjadi suami istri. Silakan kalian sudah halal. Nak Agnes, silakan cium tangan suamimu, dan Pak Fajar, silakan cium kening istrimu,” ucap petugas KUA dengan nada ringan, seperti memberi sedikit ruang bagi keduanya untuk beradaptasi dengan status baru mereka.
Meskipun canggung, keduanya mengikuti perintah itu. Agnes merasa hatinya berdegup kencang, dan sejenak dunia terasa terhenti saat Fajar dengan lembut mengulurkan tangannya. Agnes memandang tangan itu sejenak, merasa ada sesuatu yang berbeda. Ia meraih tangan Fajar dengan hati-hati, dan seketika, Agnes menundukkan kepalanya, mengecup punggung tangan sang suami dengan lembut.
Sentuhan itu membawa rasa hangat yang tak bisa Dijelaskan, seolah-olah mengalirkan sesuatu yang tak terucapkan antara mereka. Agnes menutup mata, merasakan detak jantungnya yang tak teratur. Fajar pun mendongak, memandangnya dengan tatapan yang penuh makna, namun tetap penuh ketegasan.
Lalu, tanpa kata-kata lagi, Fajar perlahan mendekat dan mencondongkan tubuhnya sedikit. Dengan penuh kelembutan, ia mencium kening Agnes, sebuah sentuhan yang terasa begitu intim dan penuh janji. Agnes merasakan sesuatu yang sulit diungkapkan—kebingungannya, ketegangan, sekaligus rasa lega yang mendalam.
Untuk sesaat, dunia seakan hening. Semua tepuk tangan dan ucapan selamat terasa jauh, seakan tak ada yang penting selain mereka berdua. Wajah Agnes yang sedikit memerah dan tatapan Fajar yang lembut menciptakan suasana yang begitu mendalam di antara keduanya.
Setelah berlalu, Nenek Grace yang sejak tadi mengikuti jalannya prosesi dan sekaligus menjadi keluarga terdekat Fajar tersenyum penuh kegembiraan, dan itu tentu membuat Fajar bernapas lega. Sejujurnya, pernikahan ini bagi Fajar tidak seburuk yang ia bayangkan, justru terasa seperti menguntungkan. Beberapa hari ini ia sudah memikirkan semuanya—mendapatkan tanggung jawab baru dan bisa melepaskan beban sang nenek. Jadi, ia akan berusaha sebaik mungkin untuk menyandang status sebagai suami dari Agnes Kinanti.
Rahmad dan Fatwa menyerahkan buku nikah ke tangan mereka. Agnes merasa tangannya bersentuhan dengan tangan Fajar. Refleks, ia menarik tangannya cepat, hampir membuat buku itu terjatuh.
"Tenang, Agnes," ujar Fajar sambil meraih buku nikah dengan santai, namun tatapannya tetap fokus pada Agnes. "Buku ini gak gigit, kok."
Agnes mengerutkan kening, tapi pipinya merona. "Saya gak takut sama bukunya. Pak Fajar aja yang terlalu dekat."
Fajar terkekeh kecil, suara yang jarang sekali didengar Agnes selama menjadi mahasiswanya. "Jadi, sekarang kamu merasa aku terlalu dekat, ya? Bukankah yang barusan malah lebih dekat dan intim?"
Agnes memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Astaga, kenapa suaranya kayak ada magnetnya gitu?"
Berta yang menyaksikan kejadian itu hampir meledak menahan tawa. Ia berbisik pada Fatwa yang kini berada didekatnya, "Ini bukan cuma nikah karena salah paham. Ini nikah yang bakal bikin drama seru tiap hari, ya kan Bu?"
Fatwa hanya mengangguk setuju, sambil tersenyum penuh kebahagian, ia juga tak segan memeluk Berta karena sudah dianggap anaknya sendiri.
Ketika prosesi selesai, Fajar mencondongkan tubuh sedikit ke arah Agnes. Suaranya pelan tapi jelas, "Kalau mau kabur, bilang dari sekarang. Aku masih kasih kesempatan terakhir."
Agnes menoleh cepat, menatapnya dengan mata melebar. "Pak Fajar!"
Tapi Fajar hanya menyeringai, lalu berdiri dan melangkah pergi menemui beberapa tamu penting. Meninggalkan Agnes yang masih kebingungan dan langsung menebak-nebak, apa tadi fajar mendengar pembicaraannya dengan Berta?
Ketika Fajar melangkah menjauh, Agnes masih berdiri terpaku di tempatnya, otaknya dipenuhi dengan pertanyaan yang belum terjawab. Wajah Fajar yang terlihat tenang dan dingin seolah meninggalkan sebuah teka-teki yang tak bisa ia selesaikan. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam genggaman tangannya. Ia dengan tangan gemetar, membaca pesan yang baru saja masuk.
Aku tahu kamu belum siap, tapi aku ingin kamu tahu... kita bisa memulainya, Nes. Jangan lari lagi.
Agnes menatap layar ponselnya, matanya membesar, mulutnya ternganga, tidak percaya pesan itu dikirim oleh Fajar. Namun, ia sudah bertekad tidak ingin menjalani pernikahan yang akan mengekang kebebasannya.
"Tunggu saja setelah ini aku ingin membuatmu mengucapkan kata talak, Pak Fajar."