“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35
“Hanya perasaan Mamak saja itu,” balas Amala menyakinkan sang ibu.
Setelahnya Mak Syam pergi duluan di bonceng oleh Dhien. Amala mengunci jendela dan pintu rumah, menghidupkan lampu teras, tak lupa membawa senter.
“Kak Amala! Kakak ikut kami, nonton?” Ayek bersama rombongan anak-anak seusianya, menyapa Amala.
“Iya.” Amala mendekati mereka.
“Seru ini … ada Kak Amala. Tumben mau nonton? Biasanya mengeram terus macam induk Ayam,” celetuk Tari, berdiri di samping Nita.
“Baguslah. Kita jadi punya tambahan teman bergosip,” Nita menimpali.
Amala hanya menggeleng saja, ia masuk ke barisan para wanita. Sedangkan rombongan laki-laki di belakang, dan di depan diisi anak-anak beranjak remaja. Hampir semua membawa senter, dikarenakan jarak lampu penerangan tiang listrik satu dengan lainnya lumayan jauh. Apalagi mereka harus melewati pematang sawah, area pemakaman umum, dan perkebunan jeruk.
Sudah menjadi kebiasaan bagi warga, bila ada tontonan di desa sebelah, mereka akan ramai-ramai pergi dan pulang pun harus bersama lagi. Selama perjalanan, Tari, Nita dan lainnya saling bercengkrama. Amala lebih banyak menjadi pendengar, sesekali mengangguk, menggeleng, bila ditanya.
Tak seberapa lama pun mereka sampai di tanah lapang kampung Pertanian, tempat tinggalnya Hendi.
Dhien menghampiri Amala dan lainnya. “Sudah ku carikan tempat duduk, para wanita datangi saja Mak Syam! Yang laki-laki sebelah kanan, ada aku taruh kardus mie sebagai tanda. Cepat sana! Sebelum diserobot warga lain! Sebentar lagi film nya diputar!”
Warga desa pun berbondong-bondong mengikuti arahan Dhien.
“Tumben, Kak Dhien bisa diandalkan,” Ayek mulai cari perkara.
“Sini kau! Biar ku ikat bibir memble mu itu!” Dhien hampir berhasil menggapai Ayek, salah satu musuh bebuyutan nya. Namun, dihalangi oleh Amala. Ayek pun langsung berlari tunggang langgang.
“Dhien, sudah! Ini kunci rumah ku, tolong kau jaga betul Mamak, ya?” pintanya penuh harap seraya memberikan kunci serta dompet kecil berisi cincin pertunangannya.
“Kau tak usah risau. Urus saja bagian mu! Hati-hati selalu!” Dhien mengelus sebentar lengan Amala.
Amala pun keluar dari area lapangan yang mulai dipenuhi warga, penjual aneka jajanan. Begitu sampai di persimpangan jalan, ia segera berbelok ke arah rumah Hendi.
Namun, langkahnya terhenti kala melihat tiga mobil yang salah satunya berwarna biru.
Jelas ia tak pernah melihat kendaraan roda empat itu, tapi entah mengapa hatinya terasa hangat. Sayang kaca jendelanya begitu gelap, apalagi terparkir di area tak tersorot lampu jalan. Amala pun bergegas melangkah lagi.
“Betul, kau tak mau ikut nonton, Hendi?” tanya sang ibu.
“Malulah, Buk. Wajahku bengkak gini,” Hendi mencebik sambil membetulkan sarung nya.
“Salah sendiri! Gaya betul naik motor. Nyungsep ‘kan, jadinya,” cibir Isma yang tidak mengetahui kejadian sebenarnya.
Setelahnya bi Rahma dan Isma pun keluar rumah, mereka berjalan ke arah tanah lapang.
“Sial betul nasibku ku! Bukannya mencumbu Amala, malah kena banting entah oleh siapa?” racaunya, ingin mencari tahu tentang sosok yang sudah menganiaya dirinya pun ia tak kuasa, sama saja membuka kedoknya sendiri.
Hendi melongok kan kepalanya pada jendela kayu, senyumnya merekah kala melihat sosok wanita bergaun longgar merah muda. Cepat-cepat ia menyambut Lina yang hendak mengetuk pintu.
Amala menyeringai sinis, posisinya tak tersorot lampu. Berdiri di bawah pohon randu (kapuk), setelah lima menit berlalu … terdengar jua suara lenguhan saling mendamba. Gegas Amala berbalik arah.
Tak berselang lama, Amala kembali dengan 5 orang pria yang salah satunya pak RT. Dia tadi melaporkan bahwa ada orang yang sedang berzina.
“Coba Bapak dengarkan sendiri! Saya siap menanggung konsekuensinya seandainya apa yang tadi saya katakan hanya bualan semata. Namun, bila benar … tolong rahasiakan tentang saya,” katanya dengan aksen formal.
Pak RT pun mengangguk, mereka mengendap-endap ke arah sumber suara. Jelas Amala berbicara fakta! Hendi sedang menggapai puncak nirwana. Betapa geramnya mereka yang mendengarkan suara menjijikan itu, langsung saja 4 orang dibagi dua untuk mendobrak pintu depan dan belakang.
BRAK.
BRAK.
Langkah kaki tak sabaran terdengar gaduh beradu dengan lantai papan.
!!DASAR MANUSIA TAK BEROTAK KALIAN!!
Hendi tak sempat menyelamatkan diri, ia yang sedang menunggang, langsung terjungkal dikarenakan si Lina menegakkan badan. Burung yang tadi tegak langsung melayu, wajah Hendi dan Lina pias bagaikan mayat.
“Bagaimana bisa, kalian masuk?” tanyanya bodoh. Begitu melihat salah satu dari mereka membawa golok, Hendi langsung melotot.
“Saya bisa jelaskan! Ini tidak seperti kelihatannya!” Hendi berusaha berkilah.
“Membual saja kau! Apa nak kau cakap tentang kutang (bra) yang tersangkut di atas kelambu itu? Kolor kau pun ikut terbang. Mau berkilah apa lagi, HENDI?!” hardik pemuda sambil mengacungkan parangnya.
“Mau cakap kalau kau sedang bermain peran menjadi Pak Mantri yang membantu Lina hendak lahiran? Atau berlakon layaknya dukun cabul?” timpal lainnya.
“Cepat Kenakan pakaian kalian! Atau, kami arak tanpa busana!” Pak RT mengambil alih, melihat jijik dua insan tanpa busana.
“Tidak! Tolong jangan! Kita bermusyawarah saja. Semua pasti bisa dibicarakan baik-baik,” Hendi berusaha membujuk, sambil mengenakan celana dalamnya.
Lina pun gegas mengenakan asal pakaiannya, wajahnya begitu pias, tubuhnya bergetar hebat menahan takut serta malu.
“BUNYIKAN KENTONGAN!!" Titah pak RT.
Suara nyaring kentongan pun terdengar saling bersahutan.
Amala mendengarkan semuanya, pekikan, tuduhan, sanggahan, ancaman itu. Rautnya sama sekali tak menunjukkan apapun selain datar. Dia seperti mereka ulang kejadian beberapa bulan lalu sewaktu menggerebek Yasir dengan Nirma.
Begitu mendengar seruan serta gaduhnya langkah kaki, cepat-cepat Amala berbalik guna bersembunyi di tempat yang lebih aman.
DUG.
“Auwh,” ia meringis merasakan nyeri di bagian kening.
“Nur …? Kau tak apa?” Agam menurunkan paperbag berisi kotak kado dari dadanya yang tadi digunakan sebagai penghalang agar mereka tidak bersentuhan, berakhir Amala menghantam kardus.
“Bang, Agam?” netra mata Amala membulat kala mengenali suara dalam itu, ia mendongak menatap sosok pemuda berjaket jeans dan mengenakan topi.
“Iya. Ayo ikut saya! Sebelum para warga sampai sini!” Agam melangkah lebar, sebelah tangannya menggenggam paperbag. Amala berjalan tepat di belakangnya.
Begitu sampai di mobil Hardtop, Agam membukakan pintu samping kemudi, lalu ia mundur memberikan Amala ruang. “Masuklah!”
‘Bukan kah ini mobil yang tadi aku lihat?’
Begitu sudah sama-sama duduk nyaman, Agam menghidupkan mesin dan mulai melaju, memutar arah agar tidak melewati kerumunan massa.
Tak ada yang bersuara, selain bunyi deru mesin. Dua insan itu saling menatap lain arah, canggung, gugup, begitu mendominasi. Kali pertama mereka sedekat ini dalam satu ruangan tertutup tanpa adanya orang lain, walaupun tersekat bagian persneling mobil.
“Bang … kita hendak kemana?” tanya Amala, netranya membulat kala menatap bangunan rumahnya yang sudah terlewati.
“KUA.”
“Di mana ada KUA buka jam segini? Eh ….”
\*\*\*
Film yang sedang diputar tiba-tiba mati, hanya tersisa kain putih terbentang.
Seseorang berseru lantang. "Bi Rahma! Mbak Isma! Harap pulang sekarang! Hendi ketahuan berbuat mesum dengan si Lina, istrinya Bang Dayat!”
JEDDER.
Wajah bi Rahma dan Isma memucat seketika, tubuh mereka kaku layaknya patung, pemberitahuan itu bak suara guntur.
DEG.
Mak Syam memegangi dadanya.
“Hei … Mak! Janganlah pingsan dulu! Mamak harus tengok macam mana tabiat calon menantu kebanggaan mu itu!” Dhien mengguncang lengan Mak Syam, agar ibunya Amala tetap sadar.
“Ya Allah, bagaimana mungkin terulang lagi,” lirih Mak Syam.
“Bisa saja! Sebab itu semua hasil dari pilihan orang yang sama. Ayo beranjak kita dari sini!” Dhien membantu Mak Syam berdiri, mereka menuju rumah Hendi.
.
.
“Nur Amala, bersediakah? Engkau, saya nikahi ...?”
.
.
Bersambung.
Bagi yang penasaran kelanjutannya, tolong klik selalu permintaan update nya ya🤍.
Berkali-kali saya ucapkan terima kasih, bagi yang sudah setia membaca dengan sabar dari bab awal sampai sini. Dukungan Kakak semua sangat berarti ❤️🙏❤️
bu bidan mati kutu