Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Pengorbanan Trian
“Menurutmu, bagaimana tetangga baru kita?” tanya Dara sembari menyuapkan makanan ke mulutnya.
Malam itu, Trian dan Dara tengah menikmati makan malam bersama. Berhubung ada tetangga baru yang tinggal di samping rumah mereka, topik itu muncul begitu saja dari mulut Dara yang memang tipe orangnya suka ceplas-ceplos.
“Aku rasa mereka baik,” jawab Trian sekenanya. Ia tetap fokus menikmati makanan yang ada di hadapannya. Ia sebenarnya tak terlalu tertarik untuk membahas hal itu.
Memang, sejak mereka menempati rumah itu tiga tahun yang lalu, blok perumahan mereka masih sangat sepi, belum ada tetangga sama sekali. Baru kali ini akhirnya rumah di samping mereka berpenghuni. Namun, Trian tidak peduli. Baginya, ada atau tidak ada tetangga akan sama saja.
“Kalau Lina, bagaimana?” tanya Dara lagi.
Trian berhenti makan saat Dara menyebut nama Lina. Seketika selera makannya jadi hilang.
“Lina cantik, kan? Apa kamu juga berpikir begitu?” lanjut Dara.
Trian menghela napas. Ia meletakkan sendok dan garpu di pinggiran piring. Ia angkat kepalanya dan mengarahkan pandangannya kepada sang istri. Raut wajahnya sangat masam, berbanding terbalik dengan Dara yang tampak ceria.
“Mau kamu apa, Dara? Kamu berharap aku akan memuji wanita lain di depan istriku sendiri?” tanyanya dengan ekspresi wajah datar.
Dara tertawa kecil mendengar respon Trian. “Aku kan hanya bertanya, jawab saja. Ini kan pembahasan santai, aku tidak akan marah,” kilahnya. Ia kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulut dan mengunyahnya.
“Jangan bicara sembarangan tentang orang lain. Dia juga punya suami yang pastinya akan kesal kalau mendengar ucapanmu barusan,” tegur Trian. Ia kembali memaksakan diri untuk melanjutkan makan meskipun sudah tidak berselera. Istrinya memang aneh, tiba-tiba membahas topik tidak jelas dan menyebalkan.
“Hah! Kenapa orang-orang sangat serius. Ini kan sesuatu yang biasa seperti waktu kita mengomentari artis yang tampan atau cantik,” gumam Dara kesal.
“Lalu, apa gunanya aku berkomentar? Istriku itu kamu, jadi tidak ada wanita yang cantik selain kamu!” respon Trian. Ia menjawab sembari fokus pada makanannya. Ia tak memandang lagi ke arah Dara, ia hanya menjawab sekenanya.
“Hahaha ….” Dara tertawa dengan jawaban Trian.
“Yah, meskipun banyak wanita cantik di luar sana, tapi memang takdirmu memiliki istri sepertiku. Kamu harus terus bersabar ya, Sayang,” ucap Dara.
Trian kembali meletakkan alat makannya. Perkataan Dara benar-benar membuatnya kesal. Entah apa yang diinginkan oleh istrinya.
“Aku sudah kenyang. Aku mau melanjutkan pekerjaan dulu!” kata Trian seraya beranjak dari tempatnya meninggalkan Dara sendirian di ruang makan.
Trian masuk ke dalam ruang kerjanya yang terletak persis di samping kamarnya. Ia lantas mengunci ruangan itu. Ia tidak benar-benar kembali bekerja, melainkan merebahkan diri di sofa.
Berkat Dara, ia semakin memikirkan Lina. Ia masih tidak percaya akan kembali bertemu dengan wanita itu. Wanita yang sudah dicampakannya sepuluh tahun yang lalu.
Trian mengenal Lina sejak masa SMP. Keduanya semakin dekat dan memutuskan untuk berpacaran saat SMA. Namun, hubungan mereka ditentang oleh pihak keluarga Trian dengan alasan Lina yang berasal dari keluarga yang tidak sepadan dengannya. Trian terus menyembunyikan hubungan mereka hingga lulus SMA karena saking cintanya ia kepada Lina.
Pada akhirnya, orang tua Trian tahu bahwa Trian belum benar-benar memutuskan Lina. Ibu Trian memberikan pilihan kepada Trian untuk pindah ke luar kota agar terpisah dari Lina, atau kalau Trian menolak, ibu Trian mengancam akan menghancurkan keluarga Lina. Oleh karena itu, Trian terpaksa mengakhiri hubungan dengan Lina. Ia tak menjelaskan alasan sebenarnya, hanya mengatakan bahwa ia sudah bosan kepada Lina.
Lima tahun kemudian, setelah lulus kuliah, Trian langsung diterima bekerja di perusahaan besar yang ternama. Ia berencana untuk menabung sebanyak-banyaknya, lalu kembali mencari keberadaan Lina untuk meminta maaf dan melamarnya. Ia tidak akan bergantung lagi kepada keluarganya setelah mendapatkan penghasilan sendiri. Ia akan memilih jalan hidupnya sendiri.
Akan tetapi, beberapa bulan setelah ia bekerja, hal buruk tiba-tiba menimpa keluarganya. Bisnis restoran ayahnya terancam bangkrut. Di saat yang bersamaan, pemilik perusahaan tempatnya bekerja, Pak Faisal, mengatakan ingin menjodohkan dia dengan putrinya. Jika Trian mau menerima, maka usaha ayahnya akan dibantu.
Kedua kalinya, terpaksa Trian menuruti kemauan keluarganya. Ia akhirnya menikah dengan Dara, putri bungsu Pak Faisal yang dikenal sebagai pembuat masalah. Menjalani rumah tangga tanpa cinta terasa sangat berat. Namun, berkat pengorbanannya, Trian bisa mendapatkan jabatan penting di perusahaan. Derajatnya semakin tinggi setelah menikahi wanita dari keluarga terpandang di negeri ini. Trian harus mengubur impiannya untuk menikahi Lina.
Di tengah perjalanan pernikahannya, ada suatu masalah yang membuat Trian dan Dara diminta pindah ke luar kota. Trian diberi modal untuk merintis usaha baru. Mereka diberi tempat tinggal di perumahan yang bisa dikatakan sangat sederhana jika dibandingkan dengan tempat tinggal mereka sebelumnya. Alasannya, Pak Faisal ingin mereka belajar hidup sederhana.
Tak terasa sudah lima tahun lamanya ia menjalani pernikahan bersama Dara. Selama itu, ada banyak sikap Dara yang membuatnya kesal. Namun, ia berusaha keras untuk bersabar. Jika sampai ia meninggalkan Dara, ia yakin Pak Faisal tidak akan tinggal diam. Bisa-bisa ia akan dimiskinkan. Lebih parahnya lagi, jika keluarganya juga akan menjadi sasaran.
“Hah! Melelahkan sekali. Aku seperti mengasuh anak balita,” keluh Trian sembari memandangi langit-langit ruangan.
Bayangan wajah Lina kembali melintas di pikiran Trian. Selama sepuluh tahun ini, Lina tak pernah hilang dari hatinya, meskipun ia sudah pasrah dan berusaha melupakan. Ia hanya ingin bertahan pada pernikahan yang meskipun ia sendiri tak menginginkan.
Lina tak banyak berubah dari terakhir kali ia mengingatnya. Namun, wanita itu terlihat jauh lebih cantik dan menawan. Kulitnya cerah bercahaya, penampilannya fashionable. Lina sama sekali tidak terlihat kumal ataupun kampungan.
Ia yakin selama ini Lina menjalani kehidupan yang sangat baik. Apalagi Lina memiliki suami yang tampan dan kelihatannya mapan. Sedikit rasa cemburu bercongkol di hatinya.
“Hah! Dia memang cantik. Siapa lelaki yang tidak tertarik padanya,” gumam Trian.
Ada penyesalan dalam diri Trian. Ia mulai berandai-andai jika saja dulu ia tidak memutuskan Lina begitu saja dan menjelaskan semuanya. Atau bisa saja dia menolak perjodohan dengan Dara. Pernikahannya selama lima tahun juga cukup menyiksa. Ia tak ubahnya seperti budak yang terus-menerus harus menuruti majikannya, Pak Faisal.
Trian menghela napas dalam-dalam. “Kenapa aku jadi memikirkan istri orang? Ini sudah menjadi karmaku karena pernah jahat padanya. Lina sudah bahagia, aku tidak boleh berpikir macam-macam tentang dia hanya karena perkataan Dara.”
Ia berusaha menepis pikiran buruknya. Ia bangkit dan berjalan menuju meja kerjanya. Menurutnya, dari pada mengingat sesuatu yang sudah ia relakan, lebih baik ia gunakan waktunya untuk fokus bekerja.
***