Hidup Aina seperti diselimuti kabut yang tebal saat menemukan kenyataan kalau Fatar, lelaki yang dicintainya selama 7 tahun ini meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Namun Fatar tak sendiri, ada seorang wanita bersamanya. Wanita tanpa identitas namun menggunakan anting-anting yang sama persis dengan yang diberikan Fatar padanya. Aina tak terima Fatar pergi tanpa penjelasan.
Sampai akhirnya, Bian muncul sebagai lelaki yang misterius. Yang mengejar Aina dengan sejuta pesonanya. Aina yang rapuh mencoba menerima Bian. Sampai akhirnya ia tahu siapa Bian yang sebenarnya. Aina menyesal karena Bian adalah penyebab hidupnya berada dalam kabut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Henny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita adalah Suami dan Istri
Selesai mandi, Aina menggunakan. pakaian rumahan berupa kaos dan celana kain selutut.
"Di lihatnya kalau tenda sudah dibongkar dan para tamu sudah pulang semuanya.
"Aina, kamu belum makan. Ayo makan. Ini ibu sudah siapkan makan di atas meja. Makan yang lain sudah dibagikan pada tetangga." ujar Tita yang ternyata sudah berganti pakaian.
"Saya tadi makan sedikit, Bu. Ini masih kenyang. Catering nya enak."
"Teman ibu yang membuatnya."
"Pasti ibu menghabiskan banyak uang membuat semua ini. Pada hal kan saya sudah bilang kalau nggak perlu ada pesta."
Tita lagi-lagi hanya tersenyum. "Ibu ada tabungan sedikit."
"Ada pekerjaan yang bisa saya bantu?" tanya Aina.
"Semua sudah beres, nak. Teman-teman ibu yang membantu ibu tadi. Sekarang kamu istirahat saja. Emir sedang keluar sebentar. Temannya yang seharusnya berjaga, sedang ada di rumah sakit. Istrinya keguguran. Namun ada teman pengganti lain tapi masuknya nanti jam 8 malam. Jadi Emir berjaga sebentar saja."
"Iya Bu, tidak apa-apa." Aina tahu itu pekerjaan Emir dan ia justru merasa enjoy saat Emir tak ada.
Rumah langsung menjadi sepi ketika ibu Tita beristirahat di kamarnya. Aina sendiri langsung masuk ke kamar. Ia mencari hp nya yang ternyata ada di dalam tas ransel miliknya. Ia sengaja mematikan ponselnya tadi.
Begitu Aina menghidupkan ponselnya, ada puluhan panggilan dan pesan dari kakaknya, Putri dan juga mamanya.
Aina akan kembali mematikan ponselnya namun diurungkannya saat melihat ada panggilan dari Emir. Aina menerimanya.
"Ada apa, kak?" sapa Aina.
"Maaf ya kalau aku pergi begitu saja. Di gudang baru saja masuk barang sehingga keamanan diperketat. Aku masih menunggu temanku. Kalau kamu sudah mengantuk, tidurlah. Pasti capek kan?"
"Iya kak." Aina pun mengakhiri percakapan. Ia akan menonaktifkan lagi ponselnya namun ada panggilan dari kakaknya.
"Hallo, Ai. Kamu di mana?" tanya Aira. Suaranya terdengar sangat khawatir.
"Di rumah suamiku. Mau di mana lagi?"
"Pulang, Ai. Kasihan papa dan mama. Tadi mama menelepon sambil menangis karena kamu belum pulang. Mereka pikir kamu hanya main-main saja akan menikah dengan lelaki itu."
"Aku serius, kak. Aku sudah menjadi istri orang. Jadi rumahku di sini."
"Aina, jangan seperti ini. Memangnya kamu sudah mengenal siapa lelaki itu? Bagaimana kalau dia orang jahat, Ai?"
"Orang yang mengaku baik, sayang, mencintai kita, justru merekalah yang sangat jahat. Kakak juga termasuk di dalamnya kan? Pasti mama sudah menceritakan tentang tentang Wilma sebelum kematian Fatar."
"Ai ...."
Air mata Aina jatuh. "Aku berharap kakak tak pernah tahu. Namun ternyata kakak juga tahu. Jangan ganggu aku lagi, kak." Aina langsung mematikan ponselnya dan meletakan di bawa bantal. Hatinya kembali sakit. Tubuhnya sangat lelah namun ia tak mengantuk. Apalagi Aina tak membawa obat tidur yang diresepkan dokter padanya.
Hampir 2 jam Aina membaringkan tubuhnya namun ia tak bisa tidur. Sampai akhirnya ia mendengar suara motor dari luar. Ia yakin kalau Emir sudah pulang.
Namun Emir tak juga masuk ke kamar. Aina sudah duduk sambil bersandar di kepala ranjang. 20 menit kemudian Emir masuk. Ia terkejut melihat Aina yang masih bangun sedangkan Aina langsung memalingkan wajahnya melihat Emir masuk kamar hanya menggunakan handuk. Tubuh atletisnya terpampang nyata membuat Aina merasakan kalau wajahnya menjadi panas.
"Maafkan aku, ya? Aku pikir kalau kamu sudah tidur. Soalnya ini sudah hampir jam 11." Emir membuka lemari pakaiannya dan mengambil kaos dan celana rumahnya. Ia kemudian keluar lagi untuk memakai pakaian di kamar mandi. Emir kemudian masuk lagi setelah menggunakan pakaiannya.
"Tidak bisa tidur ?" tanya Emir. Ia menarik kursi plastik yang ada di sudut ruangan lalu meletakannya di dekat tempat tidur, di sisi tempat Aina duduk.
Aina mengangguk.
"Kamu menangis?" tanya Emir saat melihat mata Aina yang sembab.
Aina mengangguk.
"Maaf ya jika keadaan kamar ini, kasurnya atau bantalnya tak sesuai dengan seleramu. Kemarin aku dan ibu ke pasar untuk membeli kasur dan bantal baru. Aku yakin tak akan seempuk milikmu di rumah." Emir terlihat sedih.
"Kak, kita sudah menikah. Apapun keadaan di sini maka aku akan menerimanya. Mungkin awalnya agak sulit namun aku percaya hanya di sini aku bisa melupakan semua hal yang membuat hatiku hancur."
Emir tersenyum. "Terima kasih karena mau menerimanya. Kalau ibuku agak cerewet, jangan di simpan di hati semua perkataannya. Ibuku baik. Mulutnya saja yang cerewet."
"Ibu baik. Tadi ibu menawariku makan namun aku menolaknya karena aku memang tak merasa lapar. Oh ya, apakah kakak sudah makan malam?"
"Belum."
"Ayo makan, kak."
"Kamu sendiri tidak makan."
"Baiklah, aku akan makan." Aina turun ranjang. Ia dapat melihat kalau Emir lelah. Pasti lelaki itu kelaparan.
Keduanya berjalan ke dapur. Emir yang menyiapkan makanan di atas meja. Mereka pun makan bersama walaupun Aina sama sekali tak merasa lapar.
"Masih belum mengantuk?" tanya Emir.
"Iya kak."
"Tahu main catur?"
Aina mengangguk. Catur adalah permainan kesukaannya. Waktu SMP dan SMA, Aina bahkan pernah menang beberapa turnamen catur. Sayangnya Fatar sama sekali tak tertarik dengan catur. Makanya Aina berhenti main catur semenjak pacaran dengan Fatar.
***********
"Kak, kali ini aku menyerah. Sudah mengantuk!" kata Aina sambil mengangkat kedua tangannya. Mereka sudah 2 jam bermain, Aina sudah 2 kali menang dan Emir 2 kali menang.
"Jadi aku yang menang nih?" Emir terlihat senang.
"Kakak yang menang, deh." Aina menguap. Ternyata permainan. menguras pikiran ini mampu membuat Aina mengantuk.
Emir pun langsung membereskan meja catur. Keduanya bermain di atas ranjang.
"Selamat tidur ya, semoga mimpi indah." kata Emir dan melangkah ke luar kamar.
"Eh, kakak mau kemana?" tanya Aina.
Emir membalikan badannya. "Aku mau tidur di ruang tamu saja."
"Kenapa?"
Emir nampak gugup. Lelaki tampan itu memegang papan catur dengan tangannya yang terlihat tegang. "Aku...aku takut kalau kamu tak nyaman jika aku tidur di sini."
"Kak, ini kamar kakak. Kalau kakak tidur di luar, nanti ibu akan bilang apa?"
"Kamu tak keberatan aku tidur di sini?"
Aina bingung harus jawab apa. "Apakah....apakah....kakak akan meminta hak kakak sebagai suami?"
Emir tersenyum. "Menikah denganmu bagaikan mimpi yang tak pernah aku mimpikan sebelumnya. Aku tahu kamu menikah dengan hati yang hancur. Aku tak akan pernah menyentuhmu sebelum kamu siap untuk melakukan itu."
"Terima kasih, kak. Terima kasih karena mau mengerti perasaanku. Ayo tidur di sini saja, kak. Tempat tidurnya cukup luas. Aku yakin kakak tak akan macam-macam."
Emir masih ragu. Namun dia akhirnya menuju ke ranjang juga. Dibaringkannya tubuhnya di samping Aina setelah mematikan lampu.
Aina memejamkan matanya. Ia yakin Emir tak akan macam-macam dengannya.
**********
Perlahan Aina membuka matanya. Ia kaget melihat di luar nampak matahari bersinar terang dan gadis itu mulai merasa kepanasan. Aina pun segera bangun. Matanya terbelalak melihat jam dinding di depannya. Pukul 9 lewat 50 menit.
"Astaga, di hari pertama aku sudah bangun kesiangan." Gadis itu buru-buru menyisir rambutnya, mengikatnya secara asal-asalan lalu segera keluar dari kamar. Tak ada orang di ruang tamu namun dari arah dapur Aina mendengar ada suara. Ia segera ke dapur. Di lihatnya ibu Tita yang sedang memasak.
"Maaf ibu, aku bangun kesiangan." Aina nampak malu.
Tita tersenyum. "Tak apa-apa, nak.Emir bilang kalau kalian tidurnya sudah jam 2 subuh."
"Kak Emir sudah berangkat kerja?"
"Nggak. Katanya dia diberikan ijin selama 3 hari. Emir membersihkan halaman. Masih banyak sampah sisa acara kemarin."
"Seharusnya aku membantu."
Tita menepuk pundak menantunya. "Mandilah dulu, dan kita akan sarapan menjelang makan siang. Ibu juga tadi terlambat bangun."
Aina sempat ke depan melihat Emir. Ternyata lelaki itu sudah selesai menyapu dan dia sementara membakar bekas sampah yang bisa di bakar. Rumah Emir ini memang kecil namun halamannya cukup luas.
Aina pun segera mandi. Ia kaget melihat di kamar mandi sudah ada sabun, odol, sikat gigi, shampoo yang semuanya persis sama yang biasa Aina pakai.
Ia pun mandi dan segera ganti pakaian di kamar mandi.
Aina meletakan pakaian kotornya di dalam ember sebelum keluar kamar.
Nampak Emir dan Tita sudah menunggu di ruang makan.
"Kak, ko tahu sih semua shampo dan sabun yang biasa aku gunakan?" hanya Aina.
"Maaf ya, aku melihat akun sosial media mu. Kamu pernah memposting saat belanja bulanan. Tadi pagi aku mencarinya di supermarket depan sana, untungnya ada." kata Emir.
"Kak, semua itu nggak murah." Aina nampak sedih.
"Nggak apa-apa, nak. Kemarin kan ada uang sampul yang diberikan oleh beberapa tetangga dan teman-teman ibu."
Hati Aina semakin terharu mendengar pengakuan Tita. Ingin rasanya ia menangis namun ditahannya.
"Ayo sarapan. Ibu buat ikan asin di goreng. Ada sambal terasinya juga. Nih sayur bayam untuk menambah darah." ujar Tita. Aina hanya mengangguk. Perutnya memang tak terasa lapar namun ia menghargai semua yang dilakukan suami dan ibu mertuanya.
Selesai makan, Aina meminta agar dia yang cuci piring. Emir ikut membantunya karena ia tahu Aina sejak kecil tak pernah bekerja di dapur.
'Ai, sebentar. Ada sabun di pipimu." Emir menyentuh pipi Aina.
"Kok bisa ada sabun? Kan aku tak pernah memegang pipiku?" Aina jadi curiga, ia melihat Emir yang menahan tawa. Merasa kalau Emir justru dengan sengaja mengotori wajahnya, Aina pun mengambil busa sabun dan melemparkannya ke arah Emir. Keduanya tertawa bersama karena saling melemparkan bisa.
Tita yang melihat dari balik pintu hanya bisa tersenyum tipis. "Semoga Aina jatuh cinta padamu, nak." ucap perempuan itu pelan.
***********
Bagaimana Aina menjalani kehidupan pernikahannya ?
krn mgkn sbnrnya Hamid, Wilma dan Emir adlh saudara seayah...
smoga brharap Emir GK trmsuk dlm lingkaran orang jht yg mo ancurin kluarga kmu ai.....smoga....