Memilik cinta yang begitu besar tak menjamin akan bertakdir. Itulah yang terjadi pada Rayyan Rajendra. Mencintai Alanna Aizza dengan begitu dalam, tapi kenyataan pahit yang harus dia telan. Di mana bukan nama Alanna yang dia sebut di dalam ijab kabul, melainkan adiknya, Anthea Amabel menggantikan kakaknya yang pergi di malam sebelum akad nikah.
Rayyan ingin menolak dan membatalkan pernikahan itu, tapi sang baba menginginkan pernikahan itu tetap dilangsungkan karena dia ingin melihat sang cucu menikah sebelum dia menutup mata.
Akankah Rayyan menerima takdir Tuhan ini? Atau dia akan terus menyalahkan takdir karena sudah tidak adil?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Memelihara Ular
Hampir tengah malam Rayyan baru kembali ke apartment. Lampu sudah menyala Anthea pasti sudah pulang. Di meja makan terdapat bungkusan. Rayyan mendekat dan bukan hanya ada bungkusan, di pinggirnya terdapat secarik kertas.
Makanlah! Aku mau langsung istirahat.
Bibirnya terangkat ketika membaca tulisan tangan indah. Dia membawa makanan itu ke dalam lemari pendingin. Dia sudah kenyang dan juga ingin segera menuju alam mimpi.
Rayyan tak menyangka jika Anthea akan menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik. Menyiapkan sarapan juga makan malam untuknya. Di luar ekspektasinya.
Langkahnya terhenti ketika melewati kamar Anthea. Sayup terdengar alunan lagu dengan musik beat. Lagu yang masih sama seperti kemarin.
"Belum tidurkah?"
Rayyan terdiam sesaat. Dia memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Anthea. Cukup lama menunggu, akhirnya sang empunya kamar membuka pintu kamar sedikit. Dan hanya menonjolkan kepalanya.
"Makanannya gua taruh di kulkas. Soalnya gua udah makan di luar." Seperti biasa hanya anggukan yang menjadi jawaban.
"Lain kali gak usah repot beliin gua makan. Gua bisa makan di--"
"Itu pengasih bukan aku yang beli."
DAMN!
Kepercayaan diri Rayyan hancur seketika mendengar kalimat Anthea. Dia mendadak bisu.
"Aku mau tidur. Selamat malam."
Rayyan tersenyum begitu tipis setelah pintu kamar Anthea tertutup. Sedikit banyak dia mengumpat di dalam hati.
"Nih cewek kalau nulis di kertas kata-katanya begitu hangat. Tapi, aslinya ... dingin banget. Mana gua dikasih makanan pengasih," gerutunya pelan.
Sama seperti kemarin, Anthea sudah pergi lebih dulu pagi ini. Dan kini hanya menyisakan secarik kertas di atas meja. Tanpa sarapan apapun.
Hari ini gak aku siapin sarapan. Mubazir buang-buang makanan.
Pagi hari Rayyan seperti mendapat asupan nutrisi. Membaca tulisan Anthea akan selalu membuatnya tersenyum.
"Pundungan juga ternyata."
Rayyan mengambil susu yang ada di lemari pendingin. Meneguknya segelas, lalu pergi ke kantor. Tanpa Rayyan sadari wajahnya pagi ini begitu cerah dan itu tak luput dari pandangan Alvaro.
"Wih, aura pengantin barunya terlihat jelas. Gimana unboxing-nya? Lancar?"
Pertanyaan area orang dewasa terlontar dan itu membuat Rayyan berdecak kesal. Segera dia menuju kursi kebesarannya dan duduk di singgasananya dengan raut yang berbeda.
"What's wrong?"
"Alanna pergi di malam sebelum akad dan gua nikah sama adiknya."
Mata Alvaro hampir terlepas mendengar ucapan Rayyan. Dan alasan kepergian Alanna pun Rayyan jelaskan dan mampu membuat Alvaro membeku.
"Sakit tuh cewek," balasnya dengan mimik tak percaya.
"Effort gua selama ini gak dianggap ternyata."
Alvaro menghela napas kasar. Dia melihat luka yang mendalam hanya dari sorot mata Rayyan. Kesedihan jelas Alvaro lihat.
"Katanya lu butuh bantuan. Gua siap bantu."
Rayyan tersenyum kecil. Dia menceritakan pertemuannya semalam dengan om Axel. Alvaro mendengarkan dengan serius.
"Memelihara ular?" tanya Alvaro dan diangguki oleh Rayyan.
Sejenak Alvaro berpikir. Sekarang, dia menatap Rayyan dengan serius.
"Apa itu Zidane?"
Dugaan Alvaro membuat Rayyan menukikkan kedua alisnya. Sebelum Rayyan membuka suara, Alvaro segera melanjutkan alasannya.
"Sedari awal gua curiga sama tuh laki. Sikapnya itu bukan mencerminkan seorang sepupu," jelasnya.
"Apa lu gak sadar? Zidane gak segan meluk Alanna di depan lu. Kalau sepupu yang benar mah atuh pasti akan segan. Pasti akan menghargai lu sebagai pacar dari Alanna yang tak lain sepupunya."
Rayyan mulai mencerna ucapan Alvaro. Dia mencoba berpikir cerdas, tapi tetap saja otaknya seperti belum panas.
"Mereka emang dekat dari kecil kan? Ibarat kata di sini gua yang orang baru." Rayyan mencoba menyanggah ucapan Alvaro.
"Lu yakin mereka sepupuan dari kecil? Atau sepupuan pas udah gede?"
Rayyan tak bisa menjawab. Alvaro cukup pelit dalam berkata. Jika, dia sudah banyak bicara ada sesuatu hal yang harus dia ungkapkan. Alvaro membuka ponselnya dan menunjukkan sesuatu kepada Rayyan.
"Ada sepupu mainnya cippokan begitu?"
Rayyan terkejut. Dadanya terasa sakit padahal tak ada yang menghujam jantungnya.
"Udah lama sih gua mergokin ini, tapi gua simpen sendiri karena gua tahu gimana sayangnya lu sama Alanna. Gua juga berharap Alanna bisa berubah. Tapi, nyatanya dia masih dekat sama Zidane, dan lu juga malah membiarkan seakan memberikan dia ruang."
"Ibarat kata, mau mulut gua berbusa sekalipun, omongan gua gak akan pernah didengar sama manusia yang lagi bucin "
Tak ada jawaban apapun. Rayyan masih diam dengan mata yang tertuju pada foto tersebut. Sakit sudah pasti.
"Apa ini yang dikatakan Om Axel? Ternyata gua sendiri yang memelihara ular," batinnya.
"Apa lu gak cari tahu?"
Pertanyaan Alvaro membuat Rayyan tersadar dari berbagai pikiran negatif. Hanya kata udah yang keluar dari bibirnya.
"Lalu?"
"Belum dapat hasil."
Alvaro pun berdecak kesal. Ternyata sahabatnya ini sudah menjadi manusia bodoh setelah berpacaran dengan Alanna.
"Kita cek mutasi black card punya lu. Biasanya dari sana bisa ke lacak di mana si pemilik kartu itu berada."
Tanpa meminta persetujuan Rayyan, Alvaro segera menghubungi seseorang. Rayyan hanya bisa menyandarkan tubuhnya dengan segala pemikiran yang berkecamuk di kepala.
Kembali fokus ke pekerjaan. Ketika malam tiba, data mutasi berhasil Alvaro pegang dan dia menunjukkan kepada Rayyan. Hanya senyum tipis yang penuh luka yang terukir di sana.
"Kalau dicek pembelian tiket, ini harga untuk dua orang. Gua menduga--"
"Dia emang sama Zidane."
Alvaro terkejut mendengar kalimat yang keluar dari bibir Rayyan. Pengantin baru itu menunjukkan beberapa foto kepada sang sahabat.
Alvaro melebarkan mata. Dia menatap ke arah Rayyan yang mulai menggeser foto yang lain.
"Itu baju pemberian gua, Var," ucapannya dengan senyum penuh kesakitan. Dia menggulirkan kembali foto yang lain.
"Manusia bang sat!!" erang Alvaro.
Rayyan tersenyum tipis dengan segala kesakitan yang dia rasakan. Cintanya benar-benar sudah dihancurkan.
"Lu dapat dari mana foto mereka?"
"Orang suruhan gua barusan ngasih ini. Dan mereka kabur ke LN," jawab Rayyan.
"Ternyata selama ini gua dibodohi sama mereka berdua? Benar kata Om Axel gua yang melihara ular itu sendiri."
Senyum yang begitu tipis membuat hati Alvaro perih. Dia melihat betapa hancurnya Rayyan hari ini.
.
Rayyan pulang dengan kondisi mabuk. Itupun diantar oleh Alvaro. Sebagai sahabat dia tak bisa menolak keinginan Rayyan untuk minum. Mungkin dengan cara itu bisa menghilangkan sedikit kesedihannya. Dan benar semua isi hatinya dikeluarkan.
"Cukup sekali aja bodohnya, Ray. Lu terlalu tulus, harusnya lu bisa dapat yang sama tulusnya juga."
Begitu tulus kalimat yang Alvaro ucapkan. Sedangkan Rayyan sudah terlelap di kursi penumpang. Alvaro mengantar Rayyan sampai ke lantai di mana unit Rayyan berada. Langkah Rayyan terhenti tepat di depan unitnya.
"Cukup sampai sini aja." Kedua alis Alvaro menukik tajam.
"Gak ada yang boleh masuk ke apart gua karena di dalam ada perempuan cantik di mana hanya gua yang boleh lihat kecantikannya."
Kini, Rayyan menatap tajam ke arah Alvaro. Jarinya sudah menunjuk ke arah wajah sang sahabat.
"Awas aja lu sampe naksir sama bini gua!"
"GUA GAK SERENDAH ITU, BAJING!"
...**** BERSAMBUNG ****...
Lagi enggak nih? Komen atuh komen ..
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
mau hidup enak , tapi hasil jerih payah org lain
sehat selalu kak n semangat, aku sellau nggu up nya