SIPNOSIS:
Kenneth Bernardo adalah pria sederhana yang terjebak dalam ambisi istrinya, Agnes Cleopatra. demi memenuhi gaya hidupnya yang boros, Agnes menjual Kenneth kepada sahabatnya bernama, Alexa Shannove. wanita kaya raya yang rela membeli 'stastus' suami orang demi keuntungan.
Bagi Agnes, Kenneth adalah suami yang gagal memenuhi tuntutan hidupnya yang serba mewah, ia tidak mau hidup miskin ditengah marak nya kota Brasil, São Paulo. sementara Alexa memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan suami demi memenuhi syarat warisan sang kakek.
Namun, kenyataan tak berjalan seperti yang Agnes bayangkan, setelah kehilangan suaminya. ia juga harus menghadapi kehancuran hidupnya sendiri-dihina orang sekitarnya, ditinggalkan kekasih gelapnya uang nya habis di garap selingkuhan nya yang pergi entah kemana, ia kembali jatuh miskin. sementara Alexa yang memiliki segalanya, justru semakin dipuja sebagai wanita yang anggun dan sukses dalam mencari pasangan hidup.
Kehidupan Baru Kenneth bersama Alexa perlahan memulihkan luka hati nya, sementara Agnes diliputi rasa marah dan iri merancang balas dendam, Agnes bertekad merebut kembali Kenneth bukan karena haus cinta tetapi ingin menghancurkan kebahagiaan Alexa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HMYT-25
Hari itu Alexa pulang agak sore, setelah seharian sibuk dengan pekerjaannya. Sesampainya di rumah, dia parkirkan mobilnya dan masuk ke halaman.
Alexa pulang ke rumah dengan mobil, sedikit terlambat karena ada beberapa hal yang perlu diselesaikan. Begitu dia parkirkan mobilnya dan melangkah menuju pintu rumah, matanya menangkap sesuatu yang aneh. Di depan halaman rumahnya, ada jemuran pakaian yang cukup banyak. "Hmm, siapa ya yang jemur baju di sini?" gumamnya dalam hati, karena sebelumnya rumah itu kosong.
Begitu menatap sekitar, Ada motor terparkir di sana, dan tanpa pikir panjang, dia langsung menyimpulkan bahwa tetangganya pasti belum tahu kalau rumah sebelahnya sudah berpenghuni.
Bergegaslah Alexa menuju rumah tetangga yang dimaksud, tak lain adalah rumah Kenneth, meskipun dia tidak tahu jika itu rumah Kenneth. Begitu dia tiba di depan pintu rumah, dia mengetuk pelan.
Tak lama setelah itu, pintu terbuka, dan Alexa melihat Kenneth berdiri di sana. Wajahnya tampak sedikit terkejut begitu melihat siapa yang datang.
"Eh... Kamu?" Alexa terkejut. "Kamu di sini? Jadi, ini rumah kamu?" tanya Alexa dengan ekspresi bingung dan sedikit tercengang. Dia tak menyangka tukang bengkel yang ia kenal akan berada di sini.
Kenneth, yang sedikit terkejut melihat Alexa, hanya mengangguk dingin. "Iya, saya. Ada apa, Nona?" jawabnya singkat, dengan nada datar dan sedikit terburu-buru.
Alexa sedikit mengerutkan kening, masih agak bingung, "Oh, ini jemuran kamu ya?" Dia menunjuk ke arah baju yang tergantung di depan rumahnya.
Kenneth tampak terkejut, lalu dengan cepat menjelaskan, "Oh, iya. Itu jemuran istri saya."
"
Alexa mendengar penjelasan tersebut dan meskipun tidak sepenuhnya puas, dia tetap mencoba menjaga sikap. "Oh, gitu... tapi bisa tolong ambil bajunya? Saya agak terganggu," kata Alexa dengan nada yang sedikit ketus, walaupun masih berusaha sopan.
Kenneth hanya mengangguk singkat, tanpa memberi banyak respons. "Iya, Maaf, saya nggak tahu kalau istri saya jemur baju di sini. Istri saya kira rumah ini masih kosong, Saya... benar-benar nggak tahu kalau baju-baju itu milik istri saya," sambung Kenneth yang masih mempertahankan wajah dingin nya lalu langsung melangkah ke halaman dan mengambil jemuran tersebut tanpa banyak bicara.
Sementara itu, Alexa mengamati pria itu dari belakang, ada rasa kesal yang mulai muncul dalam dirinya. Pria ini benar-benar berbeda dengan apa yang dia harapkan. Cara dia berbicara yang singkat dan dingin, bahkan cenderung acuh tak acuh, membuat Alexa merasa seperti tidak dihargai.
Kenneth, yang sudah selesai mengambil bajunya, hanya melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Alexa yang masih berdiri di depan pintu rumah, hanya mengamati kepergiannya dengan perasaan yang campur aduk. Pria itu tidak sedikit pun menunjukkan keramahan atau keinginan untuk berbicara lebih lama dengannya. Hanya sekadar menyelesaikan masalah tanpa basa-basi. Sesuatu yang berbeda dari apa yang biasanya dia temui dalam pertemuan-pertemuan dengan orang lain.
Alexa menatap Kenneth yang sudah pergi, merasa jengah dengan sikapnya. "Begitu ya, cara orang itu melayani? Berbeda sekali saat dia bekerja Tidak seperti yang aku harapkan," pikir Alexa dalam hati, merasa sedikit kesal dengan ketidakpedulian Kenneth. Namun, dia mencoba mengabaikan perasaan itu dan berbalik masuk ke rumahnya.
***
Alexa duduk di ruang kerjanya, saat membaca pesan terbaru dari kakeknya. Pesan itu singkat, namun mengandung ancaman yang jelas.
Si Tua Bangkotan:
Cari calon suami, atau semua sahammu akan ditarik. Parkin sudah disuruh untuk menarik saham di perusahaanmu.
Perasaan marah bercampur aduk. Alexa selalu merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan keputusan kakeknya, namun ia tidak pernah benar-benar menyangka bahwa kakeknya akan bertindak sejauh ini.
Pada awalnya, Alexa mengira kakeknya hanya berbicara sembarangan. Tapi, ketika beberapa perusahaan yang selama ini bekerja sama dengannya mulai mundur, dan sahamnya tiba-tiba hilang, kenyataan itu menjadi lebih jelas. Alexa merasa seolah-olah dunia yang dibangunnya mulai runtuh.
Namun, sebelum ia bisa memutuskan langkah selanjutnya, ponselnya berdering. Nama yang tertera di layar membuatnya terkejut—Carlson, kakeknya. Dengan gemetar, Alexa mengangkat telepon itu.
"Selamat malam, Kakek," suara Alexa terdengar datar, berusaha menahan amarah yang sudah mulai meluap.
"Selamat malam, Alexa," suara Carlson terdengar tenang, tidak ada nada marah sedikit pun. "Apa kabar?"
"Jangan coba berbasa-basi, Kakek," suara Alexa terdengar meninggi. "Kau tahu apa yang kau lakukan! Kenapa saham-sahamku bisa hilang? Semua kerjasama yang sudah kutata dengan susah payah—kenapa kau batalkan begitu saja?!"
Carlson diam sejenak, tidak membalas kemarahan Alexa dengan emosi. Suaranya tetap datar, seolah-olah tidak ada yang luar biasa dengan situasi ini.
"Itu adalah akibat dari ketidaksabaranmu, Alexa. Kamu tidak mau mengikuti nasihatku, dan sekarang kamu harus belajar menghadapi konsekuensinya."
Alexa menahan napas, rasa marahnya semakin memuncak. "Kakek, ini tidak adil! Aku tidak melakukan apa-apa yang salah! Aku berusaha keras untuk membangun semua ini dan kau menghancurkannya hanya karena aku belum memilih calon suami!"
Carlson tidak terbawa emosi, suaranya tetap tenang dan dingin. "Semuanya ada batasnya, Alexa. Aku sudah memberimu waktu yang cukup untuk menuruti perintahku. Jika kamu terus mengabaikannya, aku tidak akan segan-segan untuk menarik lebih banyak lagi, bukan hanya saham, tapi juga semua yang kamu miliki."
Alexa menahan amarah yang hampir tidak bisa ia kendalikan. "Jadi ini semua soal pernikahan , Kakek? Kau ingin aku menyerah hanya untuk mendapatkan apa yang kau mau? Apa kau pikir aku akan begitu mudahnya mengalah?"
Carlson menghela napas, seolah-olah sudah lama mempersiapkan jawabannya. "Ini bukan soal pernikahan saja Alexa. Ini tentang memahami apa yang penting dalam hidup. Kadang-kadang, kita harus berbuat sesuatu yang tidak kita inginkan untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan. Aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu, meskipun kau tidak menyukainya."
Alexa meremas ponselnya, kesal. "Dan jika aku menolaknya, apa yang akan terjadi, Kakek? Apa kau akan terus menghancurkan hidupku?"
Carlson menjawab dengan suara yang semakin keras, tapi tetap penuh perhitungan. "Aku tidak menghancurkan hidupmu, Alexa. Aku hanya mengajarkanmu pelajaran yang mungkin tidak kau ingin dengar. Jika kamu ingin menyelamatkan dirimu, kamu harus melakukan apa yang aku katakan. Ini bukan lagi soal pilihan, ini soal kewajiban."
Alexa menutup mata sejenak, menahan napas, merasakan ketegangan yang semakin menekan. "Aku akan cari jalan lain," katanya dengan suara yang menahan amarah. "Aku tidak akan biarkan kau mengendalikan hidupku seperti ini."
Carlson tertawa kecil di ujung telepon, suara itu terdengar datar dan penuh kepastian. "Kamu bisa mencoba, Alexa. Tapi ingat, dunia ini tidak selalu seperti yang kita inginkan. Kadang-kadang, kita harus menerima kenyataan."
Telepon itu terputus begitu saja. Alexa menatap layar ponselnya, merasakan gelombang kemarahan yang semakin meluap. Perasaan cemas, bingung, dan marah saling tumpang tindih dalam dirinya.
Malam itu, Alexa memutuskan untuk mencoba mengikuti perintah kakeknya—mencari calon suami. Sambil berkeluh kesah di ruangannya, ia menyadari bahwa ia tidak punya pilihan lain. Begitu banyak yang dipertaruhkan, dan jika ia tidak menemukan solusi, semuanya bisa hilang begitu saja.