Di tengah dunia magis Forgotten Realm, seorang pemuda bernama Arlen Whiteclaw menemukan takdir yang tersembunyi dalam dirinya. Ia adalah Pemegang Cahaya, pewaris kekuatan kuno yang mampu melawan kegelapan. Bersama sahabatnya, Eira dan Thorne, Arlen harus menghadapi Lord Malakar, penyihir hitam yang ingin menaklukkan dunia dengan kekuatan kegelapan. Dalam perjalanan yang penuh dengan pertempuran, pengkhianatan, dan pengorbanan, Arlen harus memutuskan apakah ia siap untuk mengorbankan segalanya demi kedamaian atau tenggelam dalam kegelapan yang mengancam seluruh Forgotten Realm.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Malakar di Tanah Pelindung
Mereka baru saja keluar dari kuil ketika perasaan dingin yang tak biasa menyelimuti mereka. Cahaya yang biasanya hangat di Tanah Pelindung tiba-tiba redup, tertutupi oleh kabut kelabu yang entah dari mana datangnya. Aroma tanah yang sebelumnya menyegarkan kini berubah menjadi samar-samar bau besi dan api. Arlen menatap Eira dan Finn dengan ekspresi cemas.
“Rasanya ada sesuatu yang tidak beres. Kalian merasakannya juga?” tanya Arlen sambil menggenggam Relik Cahaya di sakunya.
Eira mengangguk, matanya menatap tajam ke arah hutan yang berada di ujung pandangan mereka. “Aku merasakannya. Suasananya… seperti ada kehadiran kegelapan di sekitar kita.”
Finn menggigit bibirnya, tidak biasa menunjukkan ketakutannya. “Mungkinkah Malakar tahu kita sudah mengambil Relik Cahaya?”
Arlen mencoba menenangkan diri. “Kalaupun begitu, kita harus tetap tenang. Kita tidak bisa membiarkan diri kita diliputi ketakutan, itu hanya akan membuat kita rentan.”
Namun, sebelum Arlen sempat menyelesaikan kalimatnya, suara derap langkah berat terdengar dari dalam kabut yang semakin menebal. Mereka bertiga menoleh, berjaga-jaga, menunggu sosok di balik kabut tersebut.
Muncul dari balik bayangan pohon, sosok pria bertubuh tinggi dengan pakaian berwarna gelap. Wajahnya tertutup bayangan, tapi tatapan matanya yang dingin terlihat jelas, menandakan ancaman nyata. Eira langsung mengenalinya.
“Itu… itu adalah prajurit bayangan Malakar!” bisiknya dengan suara bergetar.
Finn langsung mencabut pedangnya, wajahnya tegang. “Bagaimana dia bisa berada di sini? Bukankah Tanah Pelindung seharusnya terlindungi dari kekuatan Malakar?”
Prajurit itu tersenyum miring, suaranya terdengar tajam. “Kalian kira Tanah Pelindung bisa menghalangi kami? Kalian naif. Malakar sudah lama mengetahui keberadaan Relik Cahaya dan menginginkan kekuatannya.”
Arlen melangkah maju, mencoba menghadapi prajurit tersebut dengan keberanian. “Jika Malakar menginginkan Relik ini, ia harus melawan kami dulu. Kami tidak akan menyerahkan Relik Cahaya begitu saja.”
Sosok prajurit itu mendekat, seolah tidak terpengaruh oleh ancaman Arlen. “Kalian hanyalah anak-anak yang berusaha melawan takdir. Relik itu memang berharga, tapi kalian tidak layak memilikinya.”
Eira menyela dengan suara tajam. “Apa yang kau tahu tentang kelayakan? Kau hanya menjadi boneka Malakar, tidak punya tujuan selain melayaninya.”
Prajurit itu tertawa kecil. “Terkadang boneka bisa menjadi lebih berguna daripada kalian pikirkan.”
Tanpa memberi kesempatan, prajurit tersebut melayangkan tangan, mengeluarkan aura gelap yang langsung melesat ke arah mereka. Arlen, Eira, dan Finn melompat mundur, menghindari serangan tersebut. Cahaya dari Relik mereka mulai bersinar lebih terang, seolah-olah berusaha melindungi mereka dari kegelapan yang mengancam.
Finn menggenggam erat pedangnya, menatap Arlen dan Eira. “Kita tidak punya pilihan selain melawan.”
Arlen mengangguk, merasakan ketegangan di sekujur tubuhnya. “Kita harus bekerja sama. Jika kita ingin melindungi Relik ini, kita harus menunjukkan kekuatan yang layak.”
Eira mengangkat Relik yang ada di tangannya, cahaya dari benda tersebut semakin terang. “Relik ini memberikan kekuatan, dan selama kita percaya pada Cahaya, kita tidak akan kalah.”
Mereka bertiga berusaha melawan prajurit bayangan itu dengan penuh semangat. Finn menyerang lebih dulu, pedangnya berkilauan saat beradu dengan bayangan gelap yang membalut tubuh prajurit tersebut. Arlen dan Eira mengikuti, menggabungkan kekuatan mereka, mencoba mengatasi kegelapan yang melingkupi lawan mereka.
Namun, prajurit itu ternyata lebih kuat dari yang mereka duga. Setiap serangan yang mereka layangkan tampak tidak berdampak besar. Tubuhnya terus diselimuti aura hitam yang membuatnya kebal terhadap serangan mereka.
Eira mulai merasa putus asa. “Arlen, Finn, kita tidak mungkin menang seperti ini. Kekuatan Cahaya kita bahkan tidak mampu melukai dia.”
Arlen mencoba berpikir cepat, matanya beralih ke Relik di tangannya. “Relik ini seharusnya memiliki kekuatan yang lebih besar. Tapi kita belum sepenuhnya memahami cara menggunakannya.”
Prajurit itu kembali tertawa, suaranya penuh kemenangan. “Kalian tidak akan pernah memahami kekuatan Cahaya sepenuhnya. Malakar akan segera mendapatkan Relik itu dari tangan kalian.”
Sementara itu, Eira memejamkan matanya, mencoba merasakan energi dari Relik yang digenggamnya. Ia berusaha menyelaraskan dirinya dengan Relik, membiarkan dirinya dipenuhi oleh Cahaya yang ada di dalamnya. Cahaya dari Reliknya tiba-tiba memancar lebih kuat, menyilaukan mata prajurit bayangan tersebut.
Finn memperhatikan perubahan pada Eira dan tersenyum samar. “Eira, kau berhasil memanfaatkan kekuatannya.”
Eira membuka matanya, cahaya dari Reliknya memenuhi seluruh tubuhnya. “Aku rasa kita harus bersatu. Jika kita menggabungkan kekuatan Relik kita, mungkin kita bisa mengalahkan dia.”
Arlen mengangguk cepat. “Baiklah. Mari kita lakukan.”
Mereka bertiga saling mengangkat Relik, mengarahkan cahayanya ke arah prajurit tersebut. Cahaya itu bergabung menjadi satu, menciptakan pancaran yang begitu terang sehingga seluruh kabut di sekitar mereka perlahan memudar. Prajurit bayangan itu tampak terkejut, wajahnya berubah menjadi penuh rasa takut.
“Tidak… Ini tidak mungkin…” gumamnya, suaranya bergetar.
Arlen mengarahkan pandangannya ke arah prajurit itu dengan keberanian yang semakin kuat. “Cahaya ini adalah simbol harapan dan perlindungan. Malakar tidak bisa merenggutnya dari kami.”
Dalam satu serangan terakhir, cahaya dari Relik mereka menerjang prajurit bayangan tersebut, melingkupinya sepenuhnya. Bayangan gelap di sekelilingnya mulai terpecah-pecah, dan dalam sekejap, prajurit itu lenyap, meninggalkan jejak asap hitam yang perlahan menghilang tertiup angin.
Finn menghela napas lega, bahunya turun seolah beban besar telah terangkat. “Kita berhasil. Kita berhasil mengalahkannya.”
Namun, sebelum mereka sempat merayakan kemenangan mereka, suara lembut namun mengerikan terdengar di udara, bergema di seluruh Tanah Pelindung.
“Kalian boleh menang kali ini, tapi jangan harap bisa melarikan diri dariku. Aku akan mendapatkan Relik Cahaya, bagaimanapun caranya.”
Eira merinding, mengenali suara itu. “Itu suara Malakar.”
Arlen menatap ke sekeliling, bersiap menghadapi apa pun yang mungkin muncul. “Dia tahu kita di sini, dan dia tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan.”
Suasana di Tanah Pelindung kembali hening, namun ancaman yang dirasakan mereka semakin besar. Cahaya Relik mereka tetap bersinar, namun kini terasa sebagai sinyal bahwa pertempuran yang sebenarnya baru saja dimulai.
Eira menggenggam tangan Arlen, suaranya penuh kekhawatiran. “Kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Malakar pasti akan datang dengan kekuatan yang lebih besar.”
Arlen mengangguk, mengalihkan pandangannya pada Finn. “Kita harus kembali ke Joran. Mungkin dia punya rencana atau tahu tempat yang aman.”
Finn setuju, dan mereka bertiga mulai bergerak dengan cepat, menembus jalan setapak yang mulai terasa asing meski masih di wilayah Tanah Pelindung. Hati mereka berdebar keras; langkah mereka semakin cepat, sementara perasaan bahwa bahaya mengintai dari setiap sudut tak kunjung hilang.
Finn tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbisik, “Tunggu… kalian dengar itu?”
Arlen dan Eira segera memfokuskan pendengaran mereka. Sayup-sayup terdengar bisikan di antara pepohonan, seperti suara angin namun ada sesuatu yang aneh di dalamnya, seakan ada kata-kata yang berusaha menjangkau mereka.
“Apa ini… mantra dari Malakar?” Eira berbisik penuh curiga. “Suara ini seperti memanggil, menyesatkan kita ke arahnya.”
Arlen menghela napas, berusaha menenangkan diri meski hatinya mulai diliputi keraguan. “Kita tidak boleh terpancing. Fokus pada tujuan kita… Kembali ke Joran. Dia satu-satunya yang bisa membantu kita sekarang.”
Namun, langkah mereka kembali terhenti saat kabut tipis muncul di depan mereka, membentuk bayangan samar yang menghalangi jalan. Bayangan itu tampak seperti seorang pria tua dengan mata yang menatap penuh dendam.
“Kalian pikir bisa mengalahkan Malakar hanya dengan Relik Cahaya?” suara itu bergema, rendah namun berwibawa. “Relik-relik kalian hanya sebagian dari apa yang kalian butuhkan.”
Eira mencoba melawan ketakutan yang mulai menyelimuti dirinya. “Siapa kau?”
Bayangan itu tersenyum, dengan senyum yang anehnya menimbulkan perasaan dingin di hati mereka. “Aku adalah penjaga rahasia Relik Gelap. Jika ingin bertahan, kalian harus tahu lebih banyak… tentang kegelapan yang telah lama kalian abaikan.”
Tanpa sempat bertanya lebih lanjut, bayangan itu menghilang, meninggalkan mereka dengan sebuah pertanyaan baru yang menggantung di udara: Apa rahasia lain yang tersembunyi di balik Relik Cahaya… dan bagaimana cara menghadapi Malakar tanpa mengenal sisi gelapnya?