NovelToon NovelToon
Married By Accident

Married By Accident

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:8k
Nilai: 5
Nama Author: Coffeeandwine

Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.

Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.

Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

The Call That Broke the Silence

Tak seperti hari-hari sebelumnya, Jae Hyun datang terlambat ke kantor untuk pertama kalinya. Langkahnya terdengar berat di sepanjang koridor, sementara tatapan tajam dan ekspresi dinginnya membuat siapa saja yang berpapasan dengannya memilih untuk segera berlalu tanpa menyapa. Pakaian rapi dan jas yang melekat pada tubuhnya mungkin masih sempurna seperti biasanya, tetapi matanya menyiratkan sebuah kegelisahan yang sulit disembunyikan.

Di balik wajah yang tampak tenang, pikiran Jae Hyun terus berkecamuk. Rasa bersalah, cemas, dan bingung saling berebut tempat di benaknya. Pikirannya kembali melayang ke peristiwa semalam, kepada Riin, kepada apa yang telah terjadi di apartemennya. Setiap detail malam itu terulang seperti adegan dalam film, membuat dadanya terasa sesak. Ia tahu apa yang terjadi tidak akan bisa dihapus, dan itu membuatnya bertanya-tanya, bagaimana selanjutnya ia harus melangkah? Satu kesalahan, satu keputusan, telah mengubah seluruh dinamika antara dirinya dan Riin, dan rasa takut akan konsekuensi dari tindakan itu tak henti-hentinya menghantui pikirannya.

Setibanya di depan ruang kerjanya, Jae Hyun menemukan Ah Ri berdiri di sana dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya menyiratkan kelegaan sekaligus kekhawatiran. "Akhirnya kau datang," ujar Ah Ri, nadanya sedikit tergesa namun penuh rasa lega. Ia segera mengikuti bosnya masuk ke dalam ruangan. "Tidak biasanya kau datang terlambat. Hampir saja aku membatalkan meeting pagi ini."

Jae Hyun melirik jam tangannya sejenak, kemudian berkata dengan nada datar, "Masih ada waktu. Meeting tetap berjalan sesuai jadwal. Tapi sebelumnya, proses izin cuti untuk Riin lebih dulu." Suaranya terdengar dingin, tak memberi ruang untuk perdebatan. Namun, di dalam hatinya, permintaan itu terasa seperti tameng, cara untuk menghindari kenyataan yang sebenarnya ingin ia lupakan walau hanya sejenak.

Ah Ri yang sedang mencatat perintah itu tiba-tiba berhenti. Alisnya berkerut, mencoba mencerna maksud dari ucapan Jae Hyun. "Tunggu dulu, apa barusan kau menyebut Riin? Aku tidak salah dengar, kan?"

"Tidak." Jae Hyun menjawab cepat, nada suaranya jelas mengisyaratkan ia tidak ingin membahas lebih jauh. "Jangan banyak bertanya dan lakukan saja sesuai perintahku."

Namun, Ah Ri tidak menyerah begitu saja. Matanya memandang tajam Jae Hyun, sorotnya menuntut jawaban. "Tidak bisa! Ini tentang temanku, bahkan dia sudah seperti adikku sendiri. Aku perlu penjelasan darimu. Apa ini ada hubungannya dengan keterlambatanmu hari ini?"

Jae Hyun terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah ia harus berbicara jujur. Pada akhirnya, ia menghela napas panjang sebelum menjawab. "Dia ada di apartemenku sejak semalam."

"Apa?!" Ah Ri spontan menutup mulut dengan kedua tangannya, matanya melebar penuh keterkejutan. "Ja... jangan bilang telah terjadi sesuatu..." Nada suaranya menurun, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan rasa paniknya. Bayangan tentang apa yang mungkin telah terjadi antara kedua sahabatnya itu membuat kepalanya dipenuhi spekulasi.

Jae Hyun menatap Ah Ri, mencoba tetap tenang meski dadanya bergemuruh. Ia mengangguk perlahan, mengakui apa yang telah terjadi. Reaksi Ah Ri jelas terlihat. Ia menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mencerna situasi ini, tetapi tak ada kata-kata yang bisa sepenuhnya mewakili pikirannya saat itu.

"Kau serius? Lalu bagaimana? Maksudku... apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" tanyanya dengan suara yang lebih pelan namun penuh tekanan. Kekhawatiran di matanya bercampur dengan rasa penasaran yang mendesak.

Jae Hyun menatap kosong ke luar jendela. "Tentu saja aku akan bertanggung jawab." Ucapannya singkat, tetapi penuh dengan tekad. Ia tahu, tanggung jawab bukan hanya kata-kata belaka, tetapi keputusan besar yang akan mengubah hidup mereka selamanya.

Ah Ri menghela napas panjang, mengamati ekspresi wajah Jae Hyun yang tegas namun penuh beban. "Dia pasti ketakutan sekali, kan? Kau tahu... kau mendapatkan sesuatu yang sangat berharga, miliknya," ujar Ah Ri dengan suara yang lebih lembut namun sarat emosi. Ia membayangkan perasaan Riin yang pastinya penuh ketakutan dan kebingungan.

"Sudahlah," potong Jae Hyun. "Biar hal itu menjadi urusan kami. Sekarang kita fokus saja pada rapat. Aku harus segera pulang setelah ini."

Ah Ri menatap Jae Hyun sekali lagi, mencoba membaca pikirannya. Ia tahu bahwa Jae Hyun adalah pria yang selalu bertanggung jawab, tetapi situasi ini jauh lebih rumit dari yang bisa ia bayangkan. Dengan berat hati, ia mengangguk dan keluar dari ruangan, meninggalkan Jae Hyun sendirian dengan pikirannya yang semakin kacau.

Ruang kerja Jae Hyun yang biasanya terasa hangat dan penuh energi kini seolah-olah berubah dingin dan sunyi. Sinar matahari yang masuk melalui jendela besar tidak mampu mengusir bayang-bayang kekhawatiran yang menggelayuti dirinya. Ia tahu, pertemuannya dengan Riin setelah ini akan menjadi momen yang paling sulit dalam hidupnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain kecuali menghadapinya.

***

Di ruang rapat gedung penerbitan, Jae Hyun duduk di ujung meja panjang dengan layar proyektor menyala di depannya. Beberapa pegawai, masing-masing dengan setumpuk dokumen dan laptop di depan mereka, sibuk mempresentasikan laporan penjualan buku bulan lalu. Grafik-grafik berwarna cerah tampil di layar, tetapi perhatian Jae Hyun terpecah. Matanya memang terpaku pada layar, namun pikirannya melayang jauh dari ruang rapat itu. Masalah pribadinya menyelinap ke dalam pikirannya, mengaburkan fokusnya.

“Sajangnim, bagaimana menurut Anda?” tanya salah seorang staf, suaranya menggema di ruangan yang penuh harapan. Namun, sebelum Jae Hyun sempat memberikan jawaban yang jelas, ponselnya yang tergeletak di atas meja berdering. Nada deringnya memecah kesunyian, membuat semua kepala menoleh.

Nama “Riin” muncul di layar ponsel. Tanpa ragu, Jae Hyun mengangkat tangan, memberikan isyarat agar semua orang menunggu sejenak, lalu menjawab panggilan itu. “Halo, apa ada masalah?” tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya, menyiratkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.

Di seberang telepon, suara seorang gadis terdengar. “Tidak, aku hanya ingin meminta izin meminjam pakaianmu yang lain.” Nada Riin terdengar santai, meski ada sedikit ragu yang terselip.

Jae Hyun menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Pilih saja salah satu di lemariku.” Jawaban singkat itu tak hanya membuat para pegawai di ruang rapat saling bertukar pandang, tetapi juga memicu bisik-bisik samar. Suara seorang gadis di telepon cukup jelas terdengar, meski hanya seperti gumaman dari kejauhan.

Riin melanjutkan, “Baiklah. Lalu... soal tempat tidurmu...” Suaranya melemah, seperti seseorang yang sedang mencari cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang rumit.

Tanpa menunggu Riin menyelesaikan kalimatnya, Jae Hyun menjawab, “Soal itu biar aku yang bereskan nanti. Aku bisa mencuci seprainya, jadi kau tak perlu khawatir.” Ucapan ini membuat beberapa orang di ruangan terkejut. Ah Ri, salah satu staf senior, yang duduk di dekat pintu, nyaris tak mampu menahan senyumannya. Ia menundukkan kepala, berpura-pura sibuk dengan catatannya, tetapi sorot matanya penuh arti.

“Jangan pergi ke mana-mana. Aku akan segera pulang setelah rapat selesai,” kata Jae Hyun sebelum menutup telepon. Suasana di ruang rapat menjadi canggung ketika ia meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Saat mendongakkan kepala, ia mendapati semua mata tertuju padanya. Beberapa terlihat bingung, yang lain mencoba menahan tawa kecil.

‘Ah, sial,’ gumamnya dalam hati, menyadari bahwa ia baru saja mengungkapkan sesuatu yang seharusnya tetap pribadi. “Ada apa? Kenapa kalian menatapku seperti itu? Apa kalian tidak pernah punya urusan pribadi?” tanyanya, nada suaranya agak tajam, berusaha mengembalikan otoritasnya di ruangan.

Semua orang segera menggeleng dan kembali fokus pada dokumen di depan mereka. Beberapa mencoba mengalihkan perhatian dengan mencatat sesuatu yang sebenarnya tak penting.

“Baiklah, aku rasa cukup untuk presentasinya,” kata Jae Hyun, suaranya terdengar tegas. “Untuk sampul buku, pilih dua terbaik dari setiap buku, lalu lakukan polling terhadap para pembaca. Selain kita bisa lebih mengetahui selera mereka, itu juga merupakan promosi awal yang efektif.”

Semua kepala mengangguk serempak. “Jika tidak ada hal lain, rapat selesai. Kalian bisa kembali ke pekerjaan masing-masing,” tambahnya sambil berdiri.

Ah Ri segera mengikuti Jae Hyun yang melangkah cepat keluar ruangan. Di lorong, dengan senyum kecil masih tersisa di wajahnya, Ah Ri akhirnya berkomentar, “Sajangnim, Anda tahu, mereka semua pasti penasaran siapa gadis itu.”

Jae Hyun melirik sekilas, lalu mendengus pelan. “Bukan urusan mereka.”

Ah Ri tertawa kecil. “Tapi Anda membuat mereka semakin penasaran dengan cara Anda merespons tadi.”

Jae Hyun berhenti sejenak di depan lift, membenarkan dasinya yang sedikit miring. “Biarkan saja. Mereka punya pekerjaan lain yang lebih penting daripada mengurus urusanku.” Namun, dalam hati, ia tahu bahwa urusan pribadinya tak mungkin sepenuhnya tersembunyi dari perhatian orang-orang di sekitarnya.

Ketika pintu lift terbuka, Jae Hyun masuk dengan langkah tegas. Namun, ada keraguan samar yang menyelinap di balik wajah seriusnya. Suasana hatinya bercampur aduk — khawatir tentang Riin, kesal karena ia meresponnya di ruang rapat, tetapi juga sedikit lega karena percakapan tadi berjalan dengan baik.

***

1
Rita Syahrudin
Lumayan
Coffeeandwine: /Smile/
total 1 replies
ami
ok top
Coffeeandwine: Terima kasih utk apresiasinya
total 1 replies
Kyurincho
Recommended
Coffeeandwine
Bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!