Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Romansa yang terputus
Malam itu, kampus terlihat lebih lengang dari biasanya. Lampu taman bersinar redup, menciptakan suasana yang menenangkan. Bayu dan Rara berjalan pelan menuju sebuah bangku taman yang terletak di sudut tersembunyi. Angin malam bertiup lembut, membawa aroma bunga mawar yang baru saja mekar di taman kampus.
"Jadi, gimana menurut lo soal diskusi tadi pagi?" tanya Bayu sambil menyandarkan punggungnya ke bangku.
Rara tersenyum kecil. "Gue rasa lo keren banget. Jawaban lo tuh bukan cuma ngasih perspektif baru, tapi juga bikin kita mikir ulang tentang hidup kita."
Bayu menatap ke arah langit, mencari kata-kata yang tepat. "Mungkin itu karena gue sendiri masih belajar, Ra. Gue cuma nyoba buat nyari arti hidup gue lewat apa yang gue baca, tapi ternyata... kadang jawaban itu ada di sekitar gue."
Rara mengerutkan kening. "Di sekitar lo? Maksud lo apa?"
Bayu menundukkan kepala, lalu menatap Rara dengan mata yang sedikit ragu. Namun, ia memberanikan diri. "Gue rasa gue udah terlalu lama fokus sama teori, sama buku, sama hal-hal abstrak. Tapi lo... lo ngajarin gue gimana caranya ngeliat dunia yang nyata."
Wajah Rara memerah mendengar kata-kata itu. Ia berusaha menyembunyikan rasa gugupnya dengan tertawa kecil. "Bay, lo ngomong serius, kan? Bukan cuma pakai kutipan filsuf lagi?"
Bayu tersenyum lemah. "Kali ini nggak, Ra. Ini murni dari gue."
Rara merasa jantungnya berdegup kencang. Ia jarang melihat Bayu berbicara dengan nada sejujur ini. Biasanya, setiap kalimat Bayu dipenuhi dengan filsafat yang sulit dipahami, tetapi kali ini... semuanya terasa berbeda.
"Apa itu artinya lo mulai ngeliat gue bukan cuma sebagai teman diskusi?" tanya Rara, mencoba menggali lebih dalam.
Bayu terdiam sejenak. Ia mengingat kata-kata Søren Kierkegaard: ‘Keberanian terbesar adalah melangkah ke ketidakpastian dengan sepenuh hati.’
"Ra," kata Bayu pelan, "gue nggak tau gimana caranya ngomong ini tanpa keliatan bodoh. Tapi lo... lo selalu ada di saat gue butuh seseorang. Gue rasa gue nggak cuma ngeliat lo sebagai teman lagi."
Mata Rara melebar. Hatinya berdebar keras, tetapi sebelum ia sempat merespon, suara langkah kaki dan tawa terdengar mendekat.
"Duh, romantis banget ini, ya!" seru suara Dimas.
Bayu langsung memutar kepala, dan benar saja, di belakang mereka ada Dimas, Adit, dan Riko yang berdiri dengan senyum lebar. Masing-masing membawa camilan dan minuman kaleng seolah sedang piknik.
"Lo ngapain di sini, Dim?" tanya Bayu dengan nada kesal.
Adit menimpali, "Woi, Bay, lo nggak ngajak kita nongkrong bareng? Gimana sih, nggak solid banget."
"Solid apaan? Gue lagi ngobrol sama Rara," jawab Bayu cepat.
"Ngobrol, katanya," cibir Riko sambil tertawa. "Kayaknya lebih dari ngobrol, deh. Nih, Ra, Bayu udah ngeluarin jurus mautnya belum? Biasanya dia pakai Plato buat nyatain perasaan."
Rara menahan tawa sambil menutupi wajah dengan tangan. Sementara Bayu hanya bisa menghela napas panjang.
"Dimas, Adit, Riko, gue serius kali ini. Lo nggak liat gue lagi ngobrol penting?" tanya Bayu.
"Ngobrol penting?" Dimas mengangkat alis. "Apa coba, ngomongin Socrates lagi? Atau ngomongin cinta menurut Nietzsche?"
Adit tertawa. "Eh, gue tau nih. Mungkin dia bilang, ‘Cinta adalah kehendak untuk hidup, yang tak bisa dijelaskan dengan logika.’"
Riko ikut menimpali, "Atau dia bilang, ‘Cinta itu seperti kopi—pahit, tapi bikin candu.’"
Bayu menatap mereka dengan wajah frustrasi, tapi akhirnya ia menyerah. "Oke, oke, lo semua menang. Gue nyerah."
Rara, yang sejak tadi hanya mendengarkan, akhirnya angkat bicara. "Udah, Dim, Adit, Riko, kasih Bayu kesempatan dong. Lo semua tau dia nggak biasa ngomong kayak gini."
Dimas pura-pura terkejut. "Wah, lo bela dia, Ra? Jangan-jangan lo juga ada rasa sama Bayu?"
Wajah Rara langsung memerah, tetapi ia mencoba mengendalikan dirinya. "Yaudah lah, gue balik dulu. Lo semua ganggu banget!"
Rara bangkit dari tempat duduknya, tetapi sebelum pergi, ia melirik Bayu. "Gue tunggu pembicaraan kita selesai nanti, Bay. Jangan kabur."
Setelah Rara pergi, Bayu menatap teman-temannya dengan tatapan penuh penyesalan. "Lo semua bener-bener nggak ada kerjaan, ya."
"Eh, Bay, kita tuh cuma bantu lo biar nggak terlalu serius," ujar Dimas sambil menepuk pundak Bayu.
"Iya, Bay. Kita nggak mau lo jadi kayak filsuf yang mati kesepian karena nggak pernah nyatain perasaan," tambah Adit.
Riko tersenyum jahil. "Lagipula, kalau lo sama Rara jadian, kita kan tetep dapet bagian cerita serunya, kan?"
Bayu hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum lelah. Meskipun kesal, ia tahu bahwa mereka bertiga hanya mencoba menghiburnya. Namun, di dalam hatinya, ia bertekad untuk melanjutkan pembicaraan dengan Rara di lain waktu—tentu saja, tanpa gangguan.
Saat Bayu berjalan pulang, ia merenungkan apa yang baru saja terjadi. Gangguan teman-temannya mungkin membuat momen itu gagal, tetapi ia merasa bahwa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
Ia mengingat kata-kata Aristoteles: “Kebahagiaan adalah hasil dari tindakan, bukan hanya niat.”
Bayu tahu bahwa ia harus bertindak lebih berani jika ingin mengungkapkan perasaannya pada Rara. Dan malam itu, di bawah langit berbintang, ia memutuskan bahwa ia akan mencoba lagi, tak peduli seberapa sulitnya.