Layaknya matahari dan bulan yang saling bertemu disaat pergantian petang dan malam, namun tidak pernah saling berdampingan indah di langit angkasa, seperti itulah kita, dekat, saling mengenal, tapi tidak pernah ditakdirkan untuk bersama.
Aku akan selalu mencintaimu layaknya bulan yang selalu menemani bintang di langit malam. Diantara ribuan bintang di langit malam, mungkin aku tidak akan pernah terlihat olehmu, karena terhalau oleh gemerlapnya cahaya bintang yang indah nan memikat hati itu.
Aku memiliki seorang kekasih saat ini, dia sangat baik padaku, dan kita berencana untuk menikah, tetapi mengapa hatiku terasa pilu mendengar kabar kepergianmu lagi.
Bertahun-tahun lamanya aku menunggu kedatanganmu, namun hubungan kita yang dulu sedekat bulan dan bintang di langit malam, justru menjadi se-asing bulan dan matahari.
Kisah kita bahkan harus usai, sebelum sempat dimulai, hanya karena jarak yang memisahkan kita selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Roshni Bright, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Kaki Selaras Dengan Hati
Aisyah memakai kalung yang Ji-hyeon berikan padanya, dan kembali menatap kalung itu.
Aisyah kembali membuat puisi, namun kali ini, hanya di lubuk hatinya saja.
“Mencintaimu itu sama seperti perahu nelayan yang berusaha untuk melawan ombak di lautan yang bisa kapan saja datang menerjang. Aku harus mendayung sekuat tenaga untuk bisa sampai di dermaga yang tidak tahu di mana letaknya.”
“Kamu layaknya nelayan yang membuat jebakan berupa jaring di lautan, sedangkan aku layaknya ikan yang terperangkap di dalam jebakan jaring yang Kamu buat itu. Aku terjebak diantara perasaanku sendiri. Aku tidak tahu mengapa, tapi itulah yang aku rasakan.”
“Apa Kamu tahu? Jika selama ini aku mencintaimu. Hm.. Ku rasa tidak! Jika Kamu mengetahuinya, mengapa Kamu harus pergi meninggalkanku di sini seorang diri? Aku terus bertanya-tanya, mengapa semua ini terjadi pada Kita? Aku ingin kisah Kita abadi, iya, memang abadi, tapi di dalam hati dan pikiranku, tanpa adanya Kamu di sampingku.”
“Kita saling menatap langit yang sama, namun dengan banyaknya perubahan diantara Kita.”
“Kita dekat, tapi jauh. Apa Kamu mengerti akan hal itu? Kita tinggal di satu planet yang sama, menghirup udara yang sama, merasakan panasnya matahari yang sama, dinginnya hujan yang sama, dan menggunakan sumber mata air yang sama, namun raga Kita saling berjauhan ...”
“... Entah hanya aku yang menunggumu pulang, atau memang Kamu juga sedang menungguku untuk kembali. Semua itu hanya takdir yang tahu, karena sekeras apapun Kita berusaha untuk mempertahankan hubungan, sekeras itu juga takdir memisahkan jika masa kita bersama telah berakhir.”
“Aku berusaha untuk menikmati masa-masa baru Kita dengan asing yang terus melekat memisahkan jarak diantara Kita.”
“Aku tahu, tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali kematian, tapi mengapa, di takdir yang singkat ini, harus ada kata “asing” diantara Kita? ...”
“... Tidak bisakah kata “asing” itu menjauh dari Kita? Aku lelah! Setidaknya jika memang harus berpisah, aku ingin kata “pisah” darimu, bukan pergi begitu saja yang membuatku terus bertanya-tanya “letak kesalahan ku ada di mana?” pertanyaan itu selalu menghantuiku.”
“Berpisah karena perselingkuhan memang menyakitkan. Berpisah secara baik-baik juga tidak kalah menyakitkan, tapi pernahkah Kalian dipisahkan begitu saja oleh takdir tanpa adanya kepastian diantara hubungan Kalian? ...”
“... Aku tidak tahu, rahasia takdir apa yang sedang Allah persiapkan untukku, tapi terima kasih, sudah pernah menjadi bagian di dalamnya, walaupun pada akhirnya Kita harus asing juga.”
“Aku tahu, setiap hubungan pasti ada masanya, sama seperti lampu bohlam yang ada masanya menyala - redup - lalu mati ...”
“... Ada yang dipisahkan karena maut setelah ikatan suci pernikahan, ada yang dipisahkan sebelum menikah, ada yang dipisahkan karena perselingkuhan, dan berbagai macam cara takdir untuk mengakhiri masa hubungan seseorang ...”
“... Setiap orang pasti diuji oleh masa itu, namun tidak semua orang sanggup bertahan melewati masa itu, dan Kita salah satunya yang harus terpisah, karena sama-sama tidak bisa melawan masa itu ...”
“... Bukan masanya yang berakhir, tapi perjuangan untuk tetap saling bersama itulah yang telah berakhir. Bahkan setelah kematian pun, sepasang suami-isteri akan dipersatukan kembali di surga ...”
“... Semua yang terikat di dalam jiwa, pasti tidak akan pernah bisa terpisahkan. Tapi mengapa jiwa Kita terpisah? Hingga asing dengan mudahnya memisahkan Kita.”
“Astaghfirullahaladzim, tidak baik jika terus-menerus memikirkan seseorang yang belum halal bagi Kita, itu sama saja dengan Kita berzina, tapi jujur saja, aku mencintainya ...”
“... Ya Allah, maafkan Aisyah, jika Aisyah salah, Aisyah tahu, kalau ini salah, tapi Aisyah tidak pernah bisa membohongi hati Aisyah sendiri, jika Aisyah merindukannya. Ya Allah, Aisyah harus apa? Aisyah tidak tahu harus berbuat apa, tolong bantu Aisyah Ya Allah,” pinta Aisyah menatap ke langit-langit kamar.
Aisyah yang kesal pun melempar kalung yang Ji-hyeon berikan, namun setelah kalung itu terjatuh, Aisyah langsung mengambilnya dengan raut wajah panik, karena takut kalungnya akan rusak dibanting.
“Alhamdulillah, untung kalungnya gak kenapa-kenapa,” ucap Aisyah yang nampak panik.
Aisyah memeluk dan mencium kalungnya, lalu memakainya kembali. Aisyah yang merasa frustasi ditinggal Ji-hyeon kembali pun memutuskan untuk mencari udara segar di luar rumah.
Aisyah yang berjalan sembari menatap ponselnya pun terhenti, tatkala Ia menyadari, jika langkah kakinya membawanya ke Taman tempat dulu Ia sering bermain sepeda dengan Ji-hyeon.
“Bahkan tanpa aku melihatnya, kaki ku menuntun ku untuk kembali ke masa laluku,” ucap Aisyah yang nampak bersedih.
Aisyah membeli es krim di penjual yang sama saat dulu Ia membelinya bersama dengan Ji-hyeon.
“Bang, coklat strawberry 1 ya,” pinta Aisyah pada penjual es krim.
“Eh Neng Aisyah, udah gede aja sekarang, temannya mana yang cowok itu? Biasanya beli coklat strawberry berdua sama Dia dulu,” tanya penjual es krim.
“Iya Bang, “DULU,” sekarang udah enggak,” jawab Aisyah.
“Putus ya Neng?”
“Putus atau tidaknya saya dengan Ji-hyeon itu bukan urusan Bapak! Sudah, cepat ambilkan saja es krim saya!” pinta Aisyah ketus.
“Ii-iya Neng, maaf, nih es-nya!” ucap penjual memberikan es krim Aisyah.
“Makasih!” Aisyah mengambil es krim-nya dan meletakkan uangnya diatas box penutup es, lalu pergi melanjutkan perjalanannya.
Aisyah melihat sepasang anak kecil yang tengah bermain ayunan. Anak kecil laki-laki yang mendorongnya dari belakang, dan tawa gembira terpancar dari wajah keduanya. Melihat hal itu, sontak mengingatkanya kembali pada Ji-hyeon.
“Daripada Kamu marah-marah terus, naik ayunan aja yuk!” ajak Ji-hyeon menarik tangannya.
Aisyah naik di ayunan, sedangkan Ji-hyeon mendorongnya, keduanya terlihat sangat bahagia, walaupun terkesan sepele, tapi membuat suasana hati Mereka bahagia.
“Dulu, aku pernah berada di posisi itu, aku yang naik ayunan, Ji-hyeon yang dorong ayunannya dari belakang, memang sepele, namun berkesan dihatiku,” Aisyah tersenyum berlinang airmata melihat sepasang anak kecil yang tengah asik bermain ayunan itu.
“Mengapa selalu ada saja hal-hal kecil yang mengingatkanku pada Ji-hyeon? Antara kebetulan saja, atau aku terlalu merindukannya, dan menginginkannya untuk kembali lagi padaku, sehingga setiap hal yang aku temui membuatku terus teringat padanya,” Aisyah memejamkan dan mengatur nafasnya yang terasa sesak, karena terus teringat oleh Ji-hyeon.
Aisyah melanjutkan perjalanan dengan memakan es krim yang tadi Ia beli, namun baru beberapa langkah berjalan, langkahnya terhenti dan teringat perkataan Ji-hyeon.
“Kalau makan itu duduk, jangan sambil jalan, gak boleh makan sambil jalan,” perkataan Ji-hyeon kembali berdengung di telinganya dan membuat Aisyah akhirnya duduk di bangku terdekat untuk menghabiskan es krim-nya.