"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Baru di Utara
Dengan bantuan Ki Arya Wedana, Rangga dan kelompoknya mempelajari lebih banyak tentang inti dari Tapak Angin Kendan. Petunjuk baru di gulungan membawa mereka lebih jauh ke utara, menuju dataran tinggi bersalju. Di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh ancaman tak terduga yang memaksa Rangga menggunakan kemampuan barunya untuk menyelamatkan kelompoknya.
Pagi itu, lembah yang sebelumnya dipenuhi ketegangan kini tampak tenang. Rangga duduk bersila di dekat altar batu, memejamkan mata sambil mencoba memahami irama angin yang mengalir di sekitarnya. Ki Arya Wedana berdiri tak jauh darinya, mengamati dengan mata tajam penuh pengalaman.
“Angin bukan hanya sesuatu yang kau kendalikan,” kata Ki Arya dengan suara tenang. “Ia adalah temanmu. Kau harus belajar mendengarkan, bukan memaksa.”
Rangga menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Dalam keheningan itu, ia merasakan sesuatu—hembusan lembut yang seolah membawa pesan. Ia membuka matanya perlahan, dan seberkas angin kecil berputar di sekelilingnya.
“Bagus,” kata Ki Arya sambil tersenyum tipis. “Kau mulai mengerti.”
“Ini lebih sulit dari yang aku kira,” jawab Rangga, mengusap keningnya yang berkeringat.
“Tentu saja,” sahut Ki Arya. “Ilmu ini bukan hanya soal kekuatan fisik. Kau harus belajar menguasai dirimu sendiri sebelum kau bisa menguasai angin.”
Ki Jayeng dan Larasati mendekat, membawa beberapa kantong makanan kecil yang mereka kumpulkan dari perjalanan. “Kita harus segera bergerak,” kata Ki Jayeng. “Petunjuk berikutnya membawa kita ke dataran tinggi di utara. Perjalanan ini akan jauh lebih berat.”
“Dataran tinggi?” Larasati mengerutkan kening. “Apa di sana lebih berbahaya daripada tempat ini?”
Ki Arya mengangguk. “Bukan hanya cuaca yang harus kalian khawatirkan. Tempat itu juga dikenal sebagai wilayah terakhir sebelum memasuki perbatasan kerajaan musuh. Banyak mata yang mengawasi.”
Perjalanan menuju utara dimulai dengan melewati medan berbatu yang curam. Angin dingin mulai menusuk kulit mereka, dan kabut tipis menyelimuti jalur yang mereka tempuh. Ki Arya memimpin di depan, tongkat kayunya mengetuk tanah sebagai panduan.
“Ki,” panggil Larasati, menggigil di balik jubahnya. “Bagaimana mungkin penjaga tinggal di tempat seperti ini?”
“Para penjaga sengaja memilih tempat yang sulit dijangkau,” jawab Ki Arya tanpa menoleh. “Semakin jauh dari jangkauan manusia biasa, semakin aman ilmu ini.”
Rangga, yang berjalan di belakang Ki Arya, memperhatikan sekelilingnya dengan seksama. Ada perasaan aneh yang membuat bulu kuduknya meremang, seolah-olah mereka sedang diawasi.
“Kita tidak sendirian,” gumam Rangga, membuat Ki Jayeng menoleh dengan cepat.
“Kau merasakan sesuatu?” tanya Ki Jayeng.
Rangga mengangguk. “Seperti ada yang mengikuti kita.”
Kecurigaan Rangga terbukti ketika mereka tiba di sebuah dataran terbuka yang dikelilingi batu-batu besar. Dari balik salah satu batu, sekelompok pria muncul, dipimpin oleh seorang wanita dengan pakaian hitam yang mencolok. Di tangannya, ia memegang pedang ramping dengan bilah yang memantulkan sinar matahari.
“Selamat datang di wilayah kami,” kata wanita itu dengan senyum dingin. “Sayangnya, perjalanan kalian harus berakhir di sini.”
“Kau siapa?” tanya Rangga dengan tegas, menggenggam tongkat kayunya.
“Namaku tidak penting,” jawab wanita itu. “Yang penting adalah gulungan itu. Serahkan, atau kalian semua akan mati.”
Rangga melangkah maju, berdiri di depan kelompoknya. “Kalau begitu, kau harus mencoba mengambilnya.”
Wanita itu tertawa kecil. “Berani sekali. Baiklah, aku suka anak muda yang penuh semangat.”
Dengan isyarat tangan, wanita itu memerintahkan anak buahnya untuk menyerang.
Pertarungan dimulai dengan cepat. Anak buah wanita itu menyerang dari berbagai arah, memaksa Rangga, Larasati, dan Ki Jayeng untuk berpencar. Ki Arya tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan dengan tenang sambil sesekali mengayunkan tongkatnya untuk melumpuhkan musuh yang terlalu dekat.
Rangga menghadapi dua pria bersenjata sekaligus, mencoba mengingat pelajaran dari Ki Arya. Ia membiarkan tubuhnya bergerak mengikuti aliran angin, menghindari setiap serangan dengan lincah. Dengan satu gerakan cepat, ia memutar tongkatnya, melumpuhkan salah satu pria dengan pukulan ke perut.
“Bagus, Rangga!” seru Ki Jayeng sambil menangkis serangan musuh lainnya.
Namun, wanita berpakaian hitam itu tiba-tiba melompat ke arah Rangga, menyerang dengan pedangnya yang berkilauan. Rangga hampir tidak sempat menghindar, tetapi pusaran angin kecil yang ia ciptakan berhasil menangkis serangan itu.
“Kau punya bakat,” kata wanita itu sambil tersenyum. “Tapi bakat saja tidak cukup untuk mengalahkanku.”
Pertarungan mereka menjadi semakin sengit. Wanita itu tampaknya jauh lebih berpengalaman, setiap gerakannya penuh perhitungan. Namun, Rangga tidak menyerah. Ia mencoba memanfaatkan setiap celah yang ada, menciptakan pusaran angin yang lebih besar untuk mengganggu keseimbangan lawannya.
Sementara itu, Larasati berusaha melindungi dirinya sendiri dengan melempar batu ke arah musuh yang terlalu dekat. Meskipun takut, ia berhasil melumpuhkan satu pria dengan pukulan tepat ke kepala.
“Aku juga bisa membantu!” serunya sambil tersenyum tipis.
Ki Arya, yang memperhatikan dari kejauhan, mengangguk dengan puas. “Dia mulai memahami,” gumamnya.
Akhirnya, dengan satu serangan cepat, Rangga berhasil memukul pedang wanita itu hingga terlepas dari tangannya. Ia mengarahkan tongkatnya ke leher wanita itu, matanya menyala dengan tekad.
“Pergi,” kata Rangga dengan suara dingin. “Dan jangan pernah kembali.”
Wanita itu menatapnya dengan ekspresi bingung, tetapi kemudian tersenyum. “Kau lebih kuat dari yang kukira. Tapi ini belum selesai.”
Ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mundur, meninggalkan medan pertempuran dengan langkah tenang.
Setelah suasana tenang kembali, Ki Arya mendekati Rangga. “Kau telah membuktikan dirimu sekali lagi. Tapi perjalanan ini masih jauh dari selesai.”
“Apa yang akan kita hadapi berikutnya, Ki?” tanya Rangga.
Ki Arya menunjuk ke arah pegunungan bersalju di kejauhan. “Penjaga berikutnya ada di sana. Dan kau harus lebih siap daripada sekarang.”
Rangga mengangguk, menggenggam tongkatnya dengan erat. Dengan semangat baru, kelompok itu melanjutkan perjalanan mereka menuju dataran tinggi bersalju, menyadari bahwa bahaya yang lebih besar sedang menanti.
Rangga dan kelompoknya berhasil melewati ancaman baru dan menemukan petunjuk untuk perjalanan berikutnya. Namun, dataran tinggi yang bersalju membawa tantangan yang lebih besar.
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya