Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh
Ramon langsung menatap ayahnya dengan penuh perhatian.
"Ya, Pa," jawab Ramon dengan semangat. Dia menyukai suasana hangat di keluarganya dan selalu senang melihat ayah tirinya antusias. "Aku langsung menghubungi Abraham sekarang juga."
Tono tersenyum bangga melihat Ramon yang begitu bersemangat. "Terima kasih, Nak. Papa senang kamu bisa ikut membantu." Tono mengelus rambut Ramon dengan lembut, menunjukkan kasih sayang yang jelas antara keduanya.
Ramon pun segera beranjak sambil mengangkat ponselnya untuk menghubungi Abraham, sang kakak sulung, memastikan kehadirannya di acara makan malam keluarga yang telah diatur dengan cermat oleh orangtuanya.
***
Abraham membuka pintu kamar Firda tanpa mengetuk, langkahnya penuh wibawa, seperti biasa, menunjukkan otoritas yang tak bisa diganggu gugat di mansion ini. Firda yang sedang duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar jendela, terkejut melihat kedatangannya. Namun, ia tak beranjak dari posisinya, malah dengan sengaja mengalihkan pandangannya.
Abraham mendekat ke meja nakas di sisi tempat tidur, meletakkan sebuah buku tebal yang tampak baru, sebuah jurnal kosong. Dia tetap berdiri, tidak menunjukkan tanda-tanda ingin duduk.
"Kalau kamu punya banyak waktu untuk memikirkan cara kabur," katanya dengan suara rendah dan tenang, "lebih baik gunakan waktumu untuk sesuatu yang lebih bermanfaat. Tulis apa pun di buku ini. Entah keluhanmu atau impianmu. Terserah."
Firda menunduk, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tidak ada kemauan untuk berbicara atau menanggapi Abraham. Wajahnya yang cantik itu dipenuhi dengan kebisuan.
Melihat keterdiaman Firda, Abraham membuka mulut lagi, suaranya tegas, hampir tanpa emosi. "Jangan pikirkan tentang kabur lagi, Firda," katanya dengan serius. "Aku akan mengurungmu di sini sampai kapan pun. Dan aku sama sekali tidak peduli dengan apa yang kamu pikirkan tentangku."
Setelahnya Abraham pergi begitu saja meninggalkan Firda kembali sendirian di tempat ini. Begitu pintu kamar ditutup, Firda tidak mampu lagi menahan air matanya.
Tangisnya pecah.
Air mata itu mengalir deras, mencucuri pipinya yang memerah. Firda menggigit bibir bawahnya dengan keras, berusaha menahan isakan yang semakin membuncah. Semua perasaan frustasi, kebingungan, dan keputusasaan bercampur menjadi satu.
Firda selalu bermimpi untuk menjadi seorang guru taman kanak-kanak, berinteraksi dengan anak-anak, mengajarkan mereka hal-hal yang bisa mengembangkan dunia mereka yang penuh keajaiban dan ketulusan. Setiap kali dia melihat anak-anak bermain, Firda merasa semangatnya kembali bangkit, seolah hidup ini penuh warna dan harapan. Tetapi semua itu sekarang terasa begitu jauh.
Firda tidak ingin menjadi tawanan di mansion pribadi Abraham. Dia tidak ingin masa depannya hanya terkurung dalam dinding-dinding besar ini. Masih ada mimpi yang ingin dia raih.
Sementara itu, di sisi lain Abraham baru saja keluar dari kamar Firda. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah cepat mendekat. Ia menoleh, mendapati Arkan datang menghampirinya. Wajah Arkan tampak serius.
"Tuan, Ramon menelpon. Katanya penting," kata Arkan seraya menyodorkan ponsel di tangannya yang sudah terhubung.
Abraham mendengus kecil, menerima ponsel itu tanpa banyak kata. Ia menempelkan ponsel ke telinganya. "Ada apa?" suaranya datar, namun dingin.
Di ujung sana, suara Ramon terdengar ceria, mencoba memecah keheningan. "Mas, Papa minta kamu datang ke acara makan malam keluarga besok malam," katanya tanpa basa-basi.
Alis Abraham terangkat. Nada bicaranya berubah sinis. "Apa lagi kali ini?"
"Ada gadis yang mau dikenalkan Mama. Katanya, calon istrimu," jawab Ramon ringan, seolah ini hanya lelucon.
Wajah Abraham langsung berubah dingin. Sorot matanya tajam, penuh ketidaksetujuan. "Calon istri? Siapa yang memberi mereka hak untuk memilihkan istri untukku?"
"Jangan marah ke aku dong, Mas. Aku cuma penyampai pesan," sahut Ramon. "Papa bilang kalau Mas nggak datang, itu artinya Mas setuju dengan perjodohan ini. Kalau Mas tetap ngeyel, Papa akan langsung sebar undangan pernikahan dengan gadis pilihan Mama."
Sontak rahang Abraham mengeras, dan genggaman tangannya pada ponsel semakin kuat. Meski tak ada kata yang keluar dari mulutnya, atmosfer dingin dan otoritas Abraham terasa begitu pekat, bahkan melalui telepon.
"Sudah, ya, Mas. Itu aja yang mau aku sampaikan. Aku tutup dulu teleponnya," ujar Ramon di seberang sana buru-buru hendak menutup panggilan merasakan aura tak enak dari Kakak sulungnya itu. Ia takut menjadi pelampiasan kemarahan Abraham yang tidak senang diatur-atur.
Abraham menyerahkan kembali ponsel kepada Arkan, yang segera pamit dengan sopan. Begitu sosok asisten pribadinya menghilang dari pandangan, Abraham bersandar di pintu kamar Firda dengan rahang yang mengeras.
Perjodohan? Apa mereka pikir dia boneka yang bisa digerakkan sesuka hati? Pikirannya mendidih. Tangan kanannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Sintia, wanita itu, memang selalu mencari celah untuk mencampuri hidupnya. Seolah-olah statusnya sebagai ibu tiri memberinya hak penuh untuk mendikte segala hal, bahkan menyangkut kehidupan pribadinya. Dan sekarang, wanita itu nekat mengambil keputusan sebesar ini tanpa persetujuannya?
Rasa muak memenuhi dadanya, bercampur dengan kemarahan yang sulit ia kendalikan. Tidak ada seorang pun, bahkan Sintia, yang berhak mendikte hidupnya. Apalagi menyangkut hal sepenting pernikahan.
Mengendalikan napasnya yang mulai memburu, Abraham meluruskan tubuhnya. Ia tidak akan membiarkan perjodohan ini terjadi. Dia sendiri yang akan menghancurkan rencana mereka, apa pun caranya.
Abraham membuka kamar Firda kembali tanpa mengetuk. Pandangannya langsung tertuju pada Firda, yang duduk di tepi ranjang dalam keadaan menangis. Air matanya berderaian mengalir di pipi gadis itu, membuat Abraham sedikit terkejut.
Buru-buru gadis itu mengusapnya begitu menyadari kehadiran Abraham.
"Kenapa datang lagi?" suara Firda terdengar gemetar, mencoba terdengar tegas meski nadanya jelas memendam kemarahan. "Masih kurang puas membuatku seperti ini?!" Firda menambahkan, kali ini dengan suara yang lebih lantang, sembari menunduk untuk menyembunyikan air matanya.
Abraham berdiri tegak di dekat pintu, pandangannya dingin dan nyaris tak berekspresi. Dia tak menjawab pertanyaan Firda, hanya berjalan mendekat dengan langkah lambat dan tenang, seperti seorang pemangsa yang mengepung buruannya. Firda merasakan dadanya semakin sesak, tapi ia memaksa dirinya tetap menatap pria itu dengan keberanian yang tersisa.
Firda menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. "Apa masih belum puas mengurungku seperti ini? Atau mungkin kamu punya ide lain untuk menyiksaku?" ucapnya tajam, meskipun suaranya terdengar sedikit bergetar karena ketakutan yang menguasai seluruh jiwanya saat menghadapi pria berkuasa di hadapannya ini. Namun, Firda berusaha melawan ketakutannya dengan nyalinya yang tersisa.
Abraham tidak menggubris. Dia berhenti tepat di hadapan Firda, menunduk sedikit sehingga tatapannya yang tajam bisa langsung menembus mata gadis itu.
"Aku ingin kamu menjadi calon istriku," ucapnya lugas tanpa sedikit pun keraguan.
Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar Firda. Matanya membelalak tak percaya. "Apa?!" Seru Firda dengan suara nyaris tercekat. "Aku... aku nggak mau!"