Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Keesokan paginya, suasana sekolah kembali terasa tegang. Di lorong-lorong, bisikan-bisikan masih terdengar, membahas kejadian kemarin di aula. Nama Cici dan Steven menjadi bahan pembicaraan, tetapi tidak ada yang berani menyebutkannya dengan suara keras, apalagi di dekat Cici.
Di sebuah ruangan kosong di belakang gedung sekolah, Cici berdiri dengan wajah penuh amarah. Di depannya, Imel dan Dina berdiri canggung, menunduk seperti anak kecil yang dimarahi ibunya.
"Aku tidak percaya Steven berani melakukan ini!" Cici berbicara dengan nada tajam, tangannya mengepal kuat. "Dia pikir siapa dia? Ketua OSIS? Itu bukan alasan untuk mempermalukan aku di depan semua orang!"
"Cici, mungkin dia cuma mau sok pahlawan," sahut Imel, mencoba menenangkan temannya. Namun, nada suaranya terdengar gemetar.
"Dia tidak akan berhenti di sini," lanjut Dina dengan nada khawatir. "Aku dengar dia sedang berusaha mencari bukti. Kalau Nadia bicara..."
Cici memutar matanya, lalu menatap tajam ke arah Dina. "Nadia tidak akan bicara. Dia terlalu pengecut. Tapi kalau dia mulai melawan, aku yang akan memastikan dia menyesal."
Imel dan Dina saling pandang, terlihat ragu. Namun, mereka tahu bahwa tidak ada yang bisa menghentikan Cici ketika ia sudah mengambil keputusan.
Cici menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Dengar. Kita harus bermain lebih cerdas. Steven mungkin berani, tapi dia tidak punya bukti. Dan tanpa bukti, kepala sekolah tidak bisa apa-apa."
"Tapi, kalau Steven terus memprovokasi Nadia, bisa saja dia mulai buka suara," kata Imel, suaranya penuh kekhawatiran.
Cici tersenyum dingin. "Kalau begitu, kita pastikan Nadia tetap diam. Lagipula, aku masih punya cara untuk membuat Steven sibuk dengan masalahnya sendiri."
Di tempat lain, Steven duduk di ruang OSIS, memikirkan strategi selanjutnya. Buku catatan kecil di depannya penuh dengan catatan tentang perilaku Cici, Imel, dan Dina. Namun, ia tahu, semua itu belum cukup untuk dijadikan bukti kuat.
Pintu ruang OSIS tiba-tiba terbuka, dan Nadia berdiri di sana. Matanya sedikit sembab, tetapi ada sorot keberanian yang mulai terlihat.
"Steven, aku ingin bicara," kata Nadia dengan suara pelan.
Steven segera berdiri. "Nadia, masuklah. Aku senang kamu datang."
Nadia melangkah masuk dan duduk di kursi di depan Steven. Tangannya bermain-main dengan tali tasnya, tanda bahwa ia masih gugup. Namun, ia memberanikan diri untuk berbicara.
"Aku... Aku ingin membantu," ucapnya, meski suaranya bergetar.
Steven menatapnya dengan penuh perhatian. "Nadia, aku tahu ini sulit untukmu. Tapi aku butuh kamu untuk jujur. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang Cici, Imel, dan Dina lakukan padamu?"
Nadia menghela napas panjang. "Mereka... Mereka sering mencengkram rambut ku dan membawa ku ke kamar mandi, mereka juga pernah menempelkan permen karet ke mataku dan seperti yang kau liat waktu itu rambut ku digunting di depan kelas.
Steven mencatat semuanya dengan serius. "Itu sudah cukup sebagai langkah awal. Tapi, Nadia, aku butuh lebih dari ini. Kalau kamu siap, aku ingin kamu bersedia berbicara di depan kepala sekolah."
Nadia terdiam, wajahnya penuh kebimbangan. Ia teringat ancaman Cici, tetapi ia juga teringat kata-kata Steven: "Jangan biarkan pelaku merasa menang karena kalian diam."
"Aku akan coba," jawabnya akhirnya, meski dengan suara pelan.
Steven tersenyum kecil. "Kamu sudah mengambil langkah besar, Nadia. Aku akan melindungimu."
semangat