Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Awal Baru
Elyana duduk di meja kerjanya, tangan kanannya memutar-mutar pena yang tergeletak di samping tumpukan dokumen. Pikirannya terombang-ambing di antara keputusasaan dan harapan. Sejak percakapan mereka di ruang kerja beberapa malam lalu, Davin semakin menjaga jarak, seperti dinding dingin yang sulit ditembus. Tiada kata-kata manis atau senyuman hangat; hanya sikapnya yang terus-menerus terfokus pada pekerjaan, seolah-olah Elyana adalah angin yang tak pernah dihiraukan.
Ia tahu Davin bukan orang yang mudah diubah. Pria itu sudah terbiasa dengan tembok emosi yang tinggi, dan bahkan saat mereka berbicara, suara Davin yang dalam dan penuh ketegangan tetap tidak menunjukkan perubahan. Namun, Elyana tak ingin menyerah. Ia ingin membuktikan bahwa di balik ketegangan dan keheningan itu, ada kemungkinan untuk mereka berdua.
Suatu pagi, Elyana memutuskan untuk membuat langkah pertama. Ia membawa secangkir kopi hangat ke ruang kerja Davin, mencoba menyemangati hari-harinya yang membosankan. Ketika ia membuka pintu, Davin sedang duduk di balik meja besar, mata hitamnya fokus pada layar laptop. Tidak ada ekspresi di wajahnya, hanya kebisuan yang menekan.
Elyana berdiri di ambang pintu, menatapnya sejenak sebelum mengeluarkan suara lembut, “Aku membawa kopi. Mungkin ini bisa membantu.”
Davin hanya meliriknya tanpa mengalihkan pandangan dari layar. “Terima kasih, tetapi aku tidak perlu itu,” jawabnya singkat, dengan nada yang tidak menyiratkan rasa terima kasih. Ia tetap seperti itu, terkunci dalam dunia yang hanya dia yang tahu.
Elyana memaksakan senyum yang terasa sangat palsu. Ia meletakkan cangkir kopi di meja di dekatnya dan mengambil langkah mundur. “Baiklah, kalau begitu. Aku hanya ingin kamu tahu aku di sini jika kamu butuh sesuatu.”
Davin tetap diam, tidak menjawab, tidak menatap. Bahkan saat Elyana berpaling untuk meninggalkan ruangan, ia tahu bahwa pria itu sudah kembali tenggelam dalam rutinitasnya yang keras dan tidak peduli. Meskipun hatinya merasa hancur, Elyana bertekad untuk tidak menyerah begitu saja.
Hari-hari berlalu, dan Elyana semakin merasakan perbedaan antara apa yang ia inginkan dan kenyataan yang ada. Ia mulai berusaha mendekat dengan caranya sendiri. Setiap pagi, ia mencoba membuat sarapan di dapur, berharap bahwa Davin akan datang dan duduk bersamanya, walau hanya sebentar. Setiap kali, pria itu hanya muncul sesaat, mengambil makanannya dengan ekspresi netral, lalu pergi tanpa sepatah kata pun.
Suatu malam, ketika mereka duduk di ruang tamu dalam kesunyian, Elyana beranikan diri untuk membuka pembicaraan. “Davin, aku ingin tahu... bagaimana perasaanmu tentang pernikahan ini? Apa kamu merasa seperti ini hanya formalitas?”
Davin menatapnya dengan mata yang tajam, seolah mencoba membaca pikirannya. “Itu tidak penting,” katanya dengan nada datar, suaranya tidak menunjukkan emosi. “Apa yang penting adalah kita menjalani hari-hari ini tanpa gangguan.”
Elyana merasakan sakit di dadanya. Ia tahu, setiap pertanyaannya ditanggapi dengan dingin, seperti pertanyaan yang tak layak dijawab. Tapi ia tidak ingin berhenti. “Aku hanya ingin kita berbicara. Aku ingin tahu apa yang bisa membuat ini lebih baik,” ujarnya, mencoba mempertahankan kepercayaan dirinya di tengah kekosongan yang melingkupi mereka.
Davin menghela napas, menatap ke arah langit-langit seolah mencari jawaban. “Kita sudah berbicara. Apa yang perlu dibicarakan lagi?” jawabnya, suaranya mengandung kelelahan. Ia bangkit dan meninggalkan ruang tamu, menyisakan Elyana yang masih duduk dengan rasa kecewa yang mendalam.
Elyana menatap ke ruang kosong di depannya. Ia tahu Davin bukan orang yang mudah dijangkau, tetapi ada secercah harapan di dalam dirinya. Ia ingin percaya bahwa di balik sikap dinginnya, ada seseorang yang mungkin masih bisa berubah. Dan meskipun setiap usahanya seakan dibanting oleh dinding yang sama sekali tidak berperasaan, Elyana tahu satu hal: ia tidak akan berhenti berusaha.
Dengan langkah kaki yang berat, Elyana mengangkat pandangannya ke langit malam, berbisik pada dirinya sendiri. “Aku tidak akan menyerah, Davin. Tidak sampai aku tahu apa yang sesungguhnya ada di dalam dirimu.”
Namun, sementara ia berjuang untuk mendekat, Davin tetap seperti patung, terperangkap dalam kebisuan dan ketegangan yang ia ciptakan sendiri. Dan malam itu, Elyana tahu bahwa perjalanannya masih jauh, penuh dengan rintangan yang akan menguji seberapa kuat tekadnya.
Hari-hari berlalu, dan Elyana merasa seperti berada di persimpangan yang membingungkan. Davin masih tetap seperti pria yang tidak mudah diubah. Di kantor, suasana antara mereka penuh dengan keheningan yang tak nyaman, seakan-akan kata-kata tak lagi penting di antara mereka. Elyana mencoba berbagai cara untuk menarik perhatian Davin—mengajaknya berbicara, menawarkan bantuan, bahkan sekadar berbagi senyum, tapi semua upayanya ditanggapi dengan sikap acuh tak acuh.
Namun, meskipun hatinya terasa lelah, Elyana menolak untuk menyerah. Setiap malam, sebelum tidur, ia merenung dan mencari kekuatan dalam dirinya. Ia tahu bahwa jika ia ingin membuat perubahan, ia harus lebih dari sekadar usaha sekali-dua kali. Perubahan ini membutuhkan waktu, dan mungkin itu adalah hal yang paling sulit baginya—bersabar menghadapi Davin yang tidak pernah menunjukkan emosi.
Suatu pagi, Elyana memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda. Ia tahu bahwa Davin sangat menghargai kesendirian dan ruang pribadinya, jadi alih-alih langsung mendekatinya, ia memutuskan untuk membuat kejutan kecil di ruang kerjanya. Dengan bantuan asisten kantor, Elyana mengatur agar bunga-bunga segar dan sebotol teh berkualitas tinggi diletakkan di meja kerja Davin. Tidak ada catatan atau pesan, hanya hadiah yang sederhana.
Ketika Davin masuk ke ruang kerjanya dan melihat bunga-bunga itu, ekspresi wajahnya berubah sejenak, meskipun hanya sekelebat. Ia menatap bunga itu dengan kebingungan, lalu memindahkan pandangannya ke arah meja, berusaha mencari tahu siapa yang memberikannya. Namun, ia tidak berkata apa-apa, hanya menghela napas kecil dan duduk di kursinya. Elyana menyaksikan dari balik jendela kaca, jantungnya berdebar. Meskipun Davin tidak mengucapkan terima kasih atau menunjukkan tanda-tanda apresiasi, ada sesuatu di matanya yang mengatakan bahwa ia memperhatikannya.
Hari-hari berikutnya, Elyana terus membuat langkah-langkah kecil. Ia mulai menulis catatan pendek di kertas kecil dan menyelipkannya di tas Davin—pesan-pesan singkat seperti, "Semoga harimu menyenangkan," atau "Jangan lupa makan siang." Setiap kali, Davin membaca catatan itu dengan ekspresi datar, tapi Elyana bisa merasakan perubahan kecil yang mulai muncul di antara mereka.
Suatu malam, setelah seharian sibuk di kantor, Elyana menemukan Davin duduk di ruang tamu, memandangi jendela besar yang menghadap ke langit malam. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari sikapnya—ada keheningan yang lebih dalam, tetapi juga semacam penerimaan. Elyana mengambil napas dalam-dalam dan memutuskan untuk berbicara.
“Davin, aku tahu kita belum bisa berubah sepenuhnya, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini. Aku ingin kita menemukan cara untuk memahami satu sama lain,” kata Elyana, suaranya lembut namun penuh tekad.
Davin menoleh, mata gelapnya menatapnya untuk pertama kalinya dalam waktu lama, dan Elyana bisa melihat kilatan kelelahan di balik pandangannya. “Elyana, aku tidak tahu apakah ini bisa berubah begitu saja,” jawabnya, suaranya lebih lembut dari biasanya, namun masih mengandung keraguan.
Elyana maju selangkah, mendekat. “Aku tidak meminta perubahan yang cepat, Davin. Tapi aku ingin kita mencobanya, langkah demi langkah.”
Davin terdiam, seolah-olah kata-kata Elyana menggugah sesuatu di dalam dirinya yang telah lama terkunci. “Aku tidak tahu bagaimana melakukannya,” ucapnya akhirnya, suara itu hampir terdengar seperti bisikan.
“Tidak apa-apa,” balas Elyana dengan senyum lembut. “Kita bisa belajar bersama. Aku hanya ingin kita mencoba.”
Di tengah keheningan yang lama, ada sesuatu yang berubah. Mungkin itu hanya sebuah awal, sebuah harapan yang lembut, tetapi Elyana tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih baik. Meskipun Davin masih jauh dari menjadi sosok yang hangat dan terbuka, ia bisa merasakan bahwa ada sedikit celah dalam dinding yang telah lama menghalangi mereka. Itu sudah cukup baginya, setidaknya untuk saat ini.
Davin mengalihkan pandangannya kembali ke luar jendela, tetapi kali ini, ada sebuah keraguan yang berbeda, seolah-olah untuk pertama kalinya ia mempertimbangkan kemungkinan untuk membuka hati.
Elyana tahu perjalanannya masih panjang, tapi di malam itu, ada secercah harapan yang tumbuh di dalam dirinya. Ia tidak sendirian dalam perjuangannya. Dan meskipun Davin masih terbungkus dalam keheningan dan ketegangan, Elyana merasa bahwa setidaknya, untuk pertama kalinya, langkah kecil itu telah diambil.
...****************...