NovelToon NovelToon
Please! Don'T Be My Boyfriend

Please! Don'T Be My Boyfriend

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Cintapertama / Cintamanis / Teen Angst / Cinta pada Pandangan Pertama / Idola sekolah
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Adzalziaah

"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.

"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.

"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.

"Kita berdua?"

Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.

Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?

Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!

[update setiap hari 1-2 bab/hari]

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 | MOS (1)

Satu Bulan yang Lalu

“Selamat datang di acara orientasi siswa baru! Mari kita sambut murid dengan nilai tertinggi pada tes masuk sekolah tahun ini!” Moderator berteriak, suaranya menggema di aula yang penuh semangat, memecah keheningan pagi itu.

Seluruh perhatian langsung tertuju pada seorang cowok yang tengah melangkah percaya diri melewati kerumunan murid. Pakaian seragamnya rapi, rambutnya tertata rapi, dan senyum manis menghiasi wajahnya. Sorakan dan tepuk tangan yang menggema memberi tanda bahwa dia adalah pusat perhatian hari itu.

Atmosfer di aula terasa penuh dengan energi, seperti listrik yang menyambar di udara. Beberapa murid tampak terpesona, ada yang tersenyum lebar melihat sosoknya, sementara yang lain hanya mengamati dengan tatapan curiga.

Semua mata tertuju pada satu orang. Senyumnya yang cerah dan tatapan matanya yang percaya diri membuatnya terlihat sempurna.

“Terima kasih semuanya! Nama saya Davendra Ryan, tapi kalian bisa panggil saya Ryan. Saya sangat senang bisa mendapatkan nilai tertinggi, dan saya harap ini bisa menjadi motivasi bagi kalian semua untuk belajar lebih baik lagi!” katanya, suaranya ramah dan mengalir begitu natural, menambah pesona yang sudah dimilikinya.

Senyumnya itu benar-benar bisa membuat orang merasa seperti berada di dunia yang penuh kebahagiaan. Entah mengapa, meskipun aku tidak mengenalnya, aku merasa sedikit terpesona olehnya.

Di sampingku, seorang cewek yang tampaknya tidak bisa menahan diri mengeluarkan komentar.

“Huh, dasar! Nilainya cuma selisih dua angka dariku!” dia mengeluh, penuh semangat, meskipun sedikit kesal. “Aku harus bisa lebih tinggi dari dia!”

Aku menoleh dan melihatnya menatapku, seolah ingin berbagi rasa kesalnya.

“Eh, maaf ya! Aku terlalu berisik,” katanya cepat, seolah baru menyadari bahwa suaranya terdengar cukup keras. “Namaku Nara. Kamu siapa?”

“Aku ... Aura,” jawabku singkat, berusaha menjaga jarak.

Aku bukan tipe orang yang mudah bergaul, dan kehadirannya yang terlalu bersemangat agak membuatku risi. Aku lebih suka diam dan menikmati suasana tanpa terlalu banyak berbicara.

“Oh, Aura. Nama yang bagus! Aku belum kenal banyak orang di sekolah ini. Acara orientasi kita seru juga, ya?” Nara terus bertanya, tanpa rasa canggung sedikit pun.

“Iya,” balasku dengan nada datar, mencoba untuk tetap terlihat ramah meskipun dalam hati aku hanya ingin acara ini segera selesai.

Aku merasa sedikit terjebak dalam percakapan yang tidak pernah aku minta, tetapi mungkin ini adalah cara hidup di sekolah baru. Aku harus mencoba untuk bersikap ramah meskipun dalam hati aku merasa seperti ingin lari sejauh mungkin.

“Ngomong-ngomong, kamu di kelompok berapa?” tanyanya lagi, semangatnya tampak tak pudar.

Aku sedikit ragu. Sebenarnya, aku tidak terlalu tertarik untuk berbicara, tetapi entah kenapa aku merasa Nara adalah satu-satunya orang yang mau berbicara padaku.

“Aku kelompok 6,” jawabku pelan, berusaha menghindari pembicaraan lebih lanjut.

Mata Nara berbinar. “Pas banget, aku juga kelompok 6!” ucapnya, seolah menemukan teman sejatinya di tengah lautan orang.

Aku mendengar kegembiraan dalam suaranya, meskipun aku tidak merasa se-antusias itu, aku tidak bisa menahan sedikit senyum di bibirku. Ternyata, Nara cukup menyenangkan untuk dihadapi, meskipun terkadang terlalu banyak bicara.

...»»——⍟——««...

Setelah acara sambutan selesai, kami semua diminta untuk berkumpul di lapangan. Kerumunan bergerak menuju area yang lebih luas, suara tawa dan obrolan memenuhi udara.

Nara tetap di sampingku, terus bercerita tanpa henti, membuatku hampir tidak bisa fokus. Sesekali, dia menatapku untuk melihat apakah aku mendengarkan, terpaksa aku hanya bisa mengangguk atau memberikan respon seadanya.

“Eh, Aura. Kita harus berkumpul di sana!” Nara menunjuk ke arah bendera yang bergambar angka 6.

Aku hanya bisa mengikuti langkahnya yang sudah berlari menuju bendera itu. Di sana, sekelompok murid telah berkumpul, dan suasana mereka tampak ceria. Beberapa di antaranya tampaknya sudah saling mengenal, sedangkan yang lainnya hanya berdiri diam, menunggu.

“Selamat bergabung di kelompok 6!” sapa seorang cewek dengan senyum lebar, menyambut kedatangan kami.

“Iya, terima kasih!” jawab Nara dengan gembira, melambaikan tangan ke arah teman-teman barunya.

Aku hanya mengangguk kecil, mencoba untuk tidak menarik perhatian. Namun, saat aku melangkah lebih dekat, cewek itu menatapku tajam.

“Hei, coba lihat. Ada aura jelek di kelompok kita,” katanya dengan nada mengejek yang jelas terdengar oleh semua orang di sekitar kami.

Aku hanya bisa merasakan darahku berdesir di bawah kulit, dan rasa tidak nyaman mulai menjalar di dalam diriku. Aku terus menyembunyikan wajahku dengan menunduk, berharap kehadiranku bisa tidak terlihat di antara mereka.

“Kita bertemu lagi ya, Aura!” Cewek itu mendatangiku dengan langkah angkuh. “Lain kali, kalau mau berangkat sekolah, jangan lupa mandi. Baumu seperti tempat sampah berjalan. Ha ha ha ...”

Dia tertawa terbahak-bahak bersama anggota kelompok lainnya, membuat suasana di sekitar kami semakin tegang. Aku hanya bisa tertunduk malu, merasakan pipiku memanas.

Kata-katanya menusukku, mengingatkan pada masa-masa sulitku dulu, masa-masa di mana aku sering dihina olehnya. Rasanya seperti dia membuka luka lama yang sudah kututup rapat.

Nara, yang awalnya bersemangat, kini tampak kesal. Matanya menyala dengan amarah, dan dia langsung berdiri lebih dekat denganku.

“Hey, jangan bicara seperti itu! Kamu nggak berhak ngomong gitu,” ujarnya, berusaha membela aku.

“Ah, santai saja, Nara. Ini hanya lelucon, iya kan, Ra?” balas cewek itu, masih dengan senyuman sinis yang menunjukkan bahwa dia merasa menang. “Lagi pula, siapa sih yang mau berteman dengan dia?”

Aku mengenal cewek ini, Isabella. Dia adalah teman satu SMP-ku yang terkenal dengan sikapnya yang kejam. Sifat buruknya tak pernah berubah. Sejak dulu, dia selalu merasa lebih unggul dari yang lain, selalu merasa berhak mengejek orang lain dan merundung siapa saja yang lebih lemah darinya.

“Aura, lihat itu! Ryan datang ke sini ...” Nara berbisik, aku tanpa sadar menoleh ke arah yang dia tunjuk.

Semua mata kami langsung tertuju pada Ryan yang melangkah mendekati kelompok kami. Pemandangannya seperti dalam sebuah film. Dengan senyuman cerah di wajahnya dan tatapan yang hangat, Ryan tampak seperti sosok yang sempurna.

“Hai semua, ini anggota kelompok 6, kan?” tanyanya, suaranya sopan dan ramah, mencairkan ketegangan yang sempat muncul.

Isabella segera menjawab dengan nada manis yang terlihat dipaksakan. “Iya. Selamat bergabung, Ryan.”

Ryan duduk di antara kami, bergabung dalam lingkaran kecil yang sudah terbentuk. Nara, dengan semangatnya yang menggebu, mengambil inisiatif untuk memulai diskusi.

“Jadi, kita semua sudah berkumpul di sini. Anggota kelompok kita ada 8 orang, 4 cewek dan 4 cowok. Siapa yang mau menjadi ketua kelompok?” Nara bertanya, mengarahkan perhatian kepada semua orang.

“Bagaimana kalau Ryan?” usul Isabella, senyumnya menyeringai seolah ada maksud tersembunyi di baliknya.

Aku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan usulannya. Namun, tak ada yang mengatakan apa-apa. Sepertinya, semua orang sudah sepakat, bahkan aku. Aku hanya mengangguk pelan.

“Boleh, aku setuju. Bagaimana dengan yang lain?” Nara meminta persetujuan dari anggota kelompok yang lain.

Satu per satu dari kami menyetujuinya, termasuk aku. Sepertinya, tidak ada pilihan lain. Aku merasa seolah-olah aku hanyalah salah satu bagian dari kelompok yang tidak ada artinya.

“Oke, udah sepakat, ya? Jadi, Ryan, sebagai ketua, kamu harus menemui kakak-kakak OSIS di sana untuk menerima tugas kelompok,” kata Isabella dengan nada seolah memerintah.

“Baik! Aku ke sana sekarang juga.” Ryan menjawab dengan penuh semangat, seolah tidak merasa canggung sedikit pun.

Dia lalu mengajak salah satu anggota cowok untuk menemaninya menemui anak OSIS yang akan membimbing kami.

...»»——⍟——««...

1
Cevineine
Semangat thorr, mampir2 yaa😁
Zanahhan226: Halo..
Aku membuat sebuah karya berjudul "TRUST ME" di MangaToon, mohon dukungannya ya!
total 1 replies
Anonymous
akhirnya yang ditunggu2
ADZAL ZIAH: iya ❤
total 1 replies
diann
kenapa novelnya selalu dimulai dari penolakan?
ADZAL ZIAH: he he he 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!