"Cuma karna I-Phone, kamu sampai rela jual diri.?" Kalimat julid itu keluar dari mulut Xander dengan tatapan mengejek.
Serra memutar malas bola matanya. "Dengar ya Dok, teman Serra banyak yang menyerahkan keperawanannya secara cuma-cuma ke pacar mereka, tanpa imbalan. Masih mending Serra, di tukar sampa I-Phone mahal.!" Serunya membela diri.
Tawa Xander tidak bisa di tahan. Dia benar-benar di buat tertawa oleh remaja berusia 17 tahun setelah bertahun-tahun mengubur tawanya untuk orang lain, kecuali orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Serra turun dari pangkuan Xander dengan wajah lesu dan segera memakai dressnya lagi. Pupus sudah harapannya untuk memiliki ponsel mahal keluaran terbaru. Dia harus mencari sugar daddy dimana lagi yang bisa memberinya I-Phone.
"Gagal dong punya I-Phone 15." Ujar Serra yang hampir menangis. Teman-teman pasti akan semakin membully karna cuma dia yang belum punya I-Phone terbaru.
"Saya bersedia kasih kamu I-Phone, tapi bantu saya sampai sembuh." Suara pelan itu membuat semangat Serra bangkit lagi.
"Deal.!! Saya setuju Dok.!" Serunya sambil mengulurkan tangan dan mengajak Xander berjabat tangan. Pria itu mengabaikan sebentar, lalu menerima jabat tangan Serra.
Senyum di wajah Serra tidak luntur selama Xander menghentikan mobilnya di pusat perbelanjaan terbesar dan membawa Serra ke official store ponsel ternama itu.
"Serra mau yang warna hitam Dok." Pintanya. Xander mengangguk dan meminta pada pelayan untuk mengambilkan ponsel sesuai keinginan Serra.
Pria yang memakai masker itu menyerahkan black card pada kasir untuk membayar ponsel itu.
"Aaaa,, makasih Dok." Serra reflek memeluk tubuh kekar Xander setelah menerima, paper bag darinya. Sedangkan ponselnya langsung di serahkan pada Serra karna sudah di setting dan di masukan SIMcard lama milik Serra.
"Aku antar kamu pulang." Suara Xander terdengar datar. Serra mengikuti langkah Xander yang sudah jalan lebih dulu.
"Serra beneran boleh pulang sekarang Dok.? Terus prakteknya kapan.?" Serra menunjukkan tatapan antusias, membuat Xander mengetuk keningnya.
"iihh, sakit tau Dok.!" Protes Serra sambil mengusap keningnya.
"Kamu udah nggak sabar.? Lagian untuk apa buru-buru, kamu tau sendiri saya nggak bisa bangun." Ujar Xander kemudian melajukan mobilnya meninggalkan basement mall.
Benar juga, Xander sama sekali tidak bangun meski Serra sudah mempertemukan alat tempur mereka saat di basement club tadi. Benar-benar tidak ada reaksi apapun, meski ukurannya besar, tapi dalam keadaan layu. Padahal Serra sempat membayangkan benda itu akan menjadi sangat besar jika sudah hidup.
"Yahh,, tapi aku ijin sama tante mau menginap di rumah temen. Masa tiba-tiba pulang lagi." Serra menekuk wajahnya. "Ikut saka Dokter boleh nggak.? Mumpung besok hari minggu, aku nggak sekolah." Serra memohon. Dia menunjukkan puppy eyesnya agar Xander iba.
Xander hanya menghela nafas dan tidak mengatakan apapun. Mobil sportnya membelah jalanan Ibu Kota yang lumayan padat di malam minggu.
Serra tampak tenang karna dia yakin akan dibawa Xander ke tempat tinggalnya. Remaja itu bersenandung sembari memainkan ponsel barunya. Dia mengirim chat pada teman sebangkunya untuk memberi tau bahwa dia sudah mendapatkan I-Phone impiannya.
Xander diam-diam melirik Serra, memperhatikan tingkah remaja itu. Diluar sana banyak remaja yang lebih parah dari Serra, Xander tentu tau hal itu. Bahkan sangat jarang gadis seusia Serra bertahan dengan kesuciannya di tengah-tengah pergaulan yang semakin bebas ini.
"Kamu nggak sayang sama kesucian kamu.?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Xander. Dia juga memiliki Kakak perempuan, jadi menyayangkan keputusan konyol Serra untuk menukar kesuciannya dengan ponsel.
Serra menoleh dan diam sejenak. "Sayang sih sebenernya, tapi punya I-Phone keluaran terbaru lebih menggiurkan. Aku kesal di hina terus karna masih pakai I-Phone jadul." Jawabnya jujur.
Di kelas Serra sangat memandang remeh murid-murid yang tidak memiliki ponsel terbaru. Dan akan memuji murid yang memiliki ponsel keluaran terbaru, tidak peduli bagaimana murid tersebut mendapatkan ponsel itu. Mereka tidak akan tanya karna sudah menjadi rahasia umum jika sebagian besar siswi akan menjadi sugar baby untuk memiliki ponsel mahal.
"Dok, Serra boleh tanya nggak.?" Remaja berambut panjang itu miring ke arah Xander, menatap dari samping pria yang sedang mengemudi itu.
Xander menjawab dengan anggukan kecil yang artinya mengijinkan Serra bertanya padanya.
"Sejak kapan Dokter, maaf nggak bisa bangun.?" Serra bertanya hati-hati. Di tatapannya Xander yang sempat melirik tajam padanya.
"Maaf Dok, kalau Serra lancang. Serra cuma pengen tau. Nggak di jawab juga nggak apa-apa." Ucapnya tak enak hati, takut menyinggung Xander. Serra akhirnya menghadap ke jendela dan menikmati perjalanan malam itu dari dalam lamborghini. Xander juga diam saja, tidak ada tanda-tanda akan menjawab pertanyaan Serra.
...*****...
Serra mirip seperti anak ayam yang sedang mengekor induknya. Tinggi Xander yang mencapai 185 cm membuat Serra terlihat sangat mungil di dekatnya. Padahal untuk ukuran wanita asia yang memiliki tinggi 162 cm tidak dikategorikan pendek.
"Woaahh gila,, mewah banget apartemennya Dok." Serra berdecak kagum ketika Xander membuka pintu apartemennya. Serra sudah menduga interior di dalam apartemen Xander pasti sangat mewah, gedung apartemen ini saja sangat megah dan terkenal dengan harganya yang selangit. Apartemen ini sudah pasti di huni oleh orang-orang kaya.
Xander memandang lucu ekspresi takjub Serra yang sedang mengedarkan pandangan ke seluruh sudut apartemen. Dia menutup pintu setelah Serra duduk di sofa.
Xander ikut duduk di sofa lain. "Kamu tinggal dimana.?" Jika di perhatikan dengan seksama, Serra tidak seperti warga Jakarta.
"Di pinggiran kota Dok, Serra ikut Om sama Tante. Sejak kecil di Bandung, tinggal sama nenek. Tapi semenjak nenek meninggal, Serra di ajak Om sama Tante ke Jakarta." Serra menjawab sambil memainkan ponsel barunya.
"Orang tua kamu dimana.?" Tanya Xander penasaran. Sebab Serra tidak menyebutkan kedua orang tuanya.
Serra mengedikkan bahu tanda tidak tau. "Serra nggak pernah tau siapa orang tua Serra. Nenek, Om dan Tante juga nggak pernah ngasih tau." Jawabnya santai. Jemari Serra malah sibuk bergerak di atas layar ponselnya dengan mata yang berbinar, senyumnya juga tampak merekah. Tidak ada sedikitpun kesedihan di wajah remaja 17 tahun itu, padahal dia baru mengatakan asal usulnya yang tidak jelas. Xander saja sampai merasa iba padanya.
"Dok, ada minuman dingin nggak.? Serra haus." Remaja 17 tahun itu begitu santai dan tampak nyaman berada di dekat Xander, sampai tidak ada kata canggung saat meminta minum. Percakapan Serra dengan Xander juga seperti orang yang sudah lama kenal. Padahal mereka baru bertemu 2 jam lalu.
"Ambil saja di dapur. Saya ke kamar dulu." Xander beranjak, Serra mengekorinya.
"Nanti Serra tidur di kamar Dokter kan.?" Tanyanya sambil mendongak, menatap punggung Xander yang berjalan di depannya. Dokter spesialis itu menoleh, bola matanya semakin menyipit menatap Serra.
"Katanya Dokter pengen sembuh, Serra siap bantu mulai malam ini. Bagaimana.?" Serra dengan genitnya mengedipkan mata.
"Ck.! Saya ragu kamu masih pera-wan." Cibirnya, mengingat Serra tampak agresif padanya.
"Sumpah demi apapun Dok, Serra masih pera-wan. Paling main-main sendiri kalau lagi nonton, tapi nggak pernah begituan sama siapapun. Nanti Dokter buktiin sendiri aja kalau udah sembuh." Cerocos Serra membela diri. Dia jelas tidak terima di bilang sudah tidak pera-wan. Ciuman saja belum pernah.
Mata Xander melotot mendengar jawaban Serra yang terlalu jujur. "Main-main gimana maksud kamu.?" Pancing Xander. Mendengar kejujuran Serra sepertinya menenangkan.
"Nggak usap pura-pura nggak tau Dok. Masa harus Serra ceritain disini. Malu lah,," Serra kemudian mendahului Xander dan menyelonong ke dapur seolah dapur itu miliknya.
Xander terkekeh. "Kamu tadi telan-jang pegang punya saya nggak ada malu-malunya." Selorohnya.
"Itu kan beda, karna ada duitnya jadi Serra nggak malu." Jawab Serra yang sudah mengambil minuman kaleng dingin dari kulkas.
Xander tidak menggoda lagi, dia pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri karna tadi baru pulang dari rumah sakit.
Serba salah.
Anna kasihan juga karena Zayn nya cuek, tapi ya gimana.. kan cinta ga bisa dipaksakan. Tapi kita ga tau juga sih perasaan Zayn ke Anna sebenarnya gimana, soalnya tadi waktu Aron narik pergelangan tangan Anna, Zayn tiba² termenung. Entah apa maksudnya.