Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecewa
Sepanjang malam, Yaya tidak bisa tidur. Ia terus saja memikirkan sang suami yang tak kunjung kembali ataupun memberi kabar. Yaya jadi ikut khawatir. Takut terjadi sesuatu pada gadis kecil itu. Apalagi mengingat dirinya yang dulu pernah mengalami penyakit yang membuatnya tidak bisa bersekolah seperti anak-anak lainnya.
Pagi menjelang, tapi Andrian tak kunjung kembali. Padahal ini sudah masuk jam sarapan. Karena masih suasana pesta, mereka harus berkumpul di restoran yang sudah dipesankan Danang sebelumnya.
Yaya bingung. Apa yang akan ia katakan bila orang tuanya menayangkan keberadaan Andrian. Tidak mungkin 'kan ia katakan kalau Andrian pergi meninggalkannya di malam pertama karena anak sahabatnya yang tiba-tiba panas tinggi?
Yaya menghembuskan nafas resah. Ia keluar dari dalam lift dan berjalan menuju restoran dengan perasaan yang campur aduk. Saat di depan pintu restoran, ia berpapasan dengan kedua orang tuanya yang ternyata juga baru datang.
"Yaya, Rian mana?" tanya Dina saat melihat Yaya berjalan seorang diri.
"Ah, Mas Rian-nya ... "
"Pagi, Ma, pagi, Pa. Maaf, tadi aku nggak sengaja ketemu teman di sana. Jadi minta Yaya duluan aja."
Tiba-tiba saja Andrian sudah berdiri di samping Yaya. Yaya sontak saja terkejut. Ia menoleh dan menatap wajah Andrian yang menatapnya dengan senyum merekah.
"Oh, Mama pikir kamu tadi kemana. Ya udah, yuk kita ke dalam. Kayaknya orang tuamu juga sudah di dalam," ujar Dina lembut.
"Iya, Ma," jawab Yaya.
"Ayo, Sayang," ujar Andrian sambil menggandeng tangan Yaya masuk ke dalam restoran.
Di dalam restoran ternyata memang kedua orang tua Andrian sudah datang. Juga adik Andrian dan suami serta seorang anaknya.
"Jadi setelah ini kalian akan tinggal dimana?" tanya Danang setelah selesai sarapan. Mereka masih duduk di sana sambil bercengkerama.
"Em, kami belum sempat membahasnya, Pa," jawab Andrian. "Bagaimana, Sayang?"
"Kita tinggal di rumah mama papa dulu beberapa hari bagaimana? Setelah itu rumah mama papamu, baru deh pindah ke apartemen mu, Mas. Gimana?" ujar Yaya. Ia memang sudah tahu kalau Andrian memiliki sebuah apartemen minimalis.
"Tapi apartemenku kecil lho. Cuma ada satu kamar aja, kamu nggak papa?" tanya Andrian.
"Aku nggak papa. Yang penting kita tinggal bersama."
"Ya udah. Terserah kamu aja."
"Bagaimana dengan rencana bulan madu kalian?" tanya Danang lagi.
"Rencananya kami akan bulan madu Minggu depan, Pa. Lusa aku ada pertemuan penting jadi nggak bisa nggak ngantor. Aku sudah membahasnya dengan Yaya."
"Memangnya kalian mau kemana?" timpal Nurlela.
"Ke Bali, Ma." Yaya yang menjawab.
"Wah, enak banget kalian! Yan, kamu selama ini belum pernah lho ajak Mama jalan-jalan. Mama ikut ya?" celetuk Nurlela.
Sontak saja mata Dina, Danang, dan Yaya membulat. Mereka ini ingin pergi bulan madu, kok ibu Andrian ingin ikut juga?
"Kenapa? Nggak boleh? Ingat lho, surga itu ada di bawah telapak kaki ibu. Membahagiakan ibu itu penting dan kamu belum pernah membawa Mama jalan-jalan. Masa' Mama yang udah melahirkan dan membesarkan kamu kalah sama perempuan yang baru jadi istri kamu ini." Nurlela memasang wajah sendu.
Yaya ingin menolak, tapi khawatir disebut menantu durhaka. Padahal ia baru saja menjadi istri Andrian. Ia harap Andrian menolak permintaan mamanya itu. Bukannya melarang, tapi belum saatnya. Nanti Yaya akan menjadwalkan kapan mereka akan pergi jalan-jalan bersama. Tapi bukan sekarang.
"Ya udah, Mama ikut aja. Nanti aku pesankan tiketnya," jawab Andrian yang mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya pada Yaya terlebih dahulu. Jelas saja Yaya kecewa. Namun tak mungkin ia mengungkapkannya terang-terangan.
"Aku mau juga lho, Kak. Aku sama Mas Hasta, dan Riko juga mau ikut, boleh 'kan?"
"Ya udah. Nggak papa." Lagi-lagi Andrian mengambil keputusan sendiri. Dan yang lebih membuat Yaya tak habis pikir saat ibu mertuanya mengatakan akan mengajak Marissa dan Tania juga, Andrian langsung setuju saja.
"Biar seru perginya rame-rame. Benar 'kan, Sayang?" ujar Andrian setelah mengambil keputusan sendiri tanpa memikirkan perasaan Yaya sama sekali. Yaya yang tidak mungkin menolak hanya bisa mengangguk pasrah.
Danang dan Dina yang melihat itu jelas saja ikut kecewa. Bulan madu seperti apa itu? Sekeluarga ikut serta. Namun mereka sama seperti Yaya, tak mampu berkomentar apa-apa. Mereka tak mau orang tua Andrian sampai memperlakukan Yaya tak baik karena mereka yang melarang. Danang dan Dina hanya bisa menatap iba pada anak perempuan mereka satu-satunya itu. Mereka hanya bisa berharap Yaya tetap bisa menikmati bulan madunya dengan gembira nanti.
Yaya dan Andrian sudah kembali ke kamar mereka. Di dalam kamar, Yaya pun mulai mengeluarkan unek-uneknya mengenai keikutsertaan keluarga Andrian dalam bulan madu mereka.
"Mas, apa nggak sebaiknya mama dan kakak kamu jangan ikut kita dulu? Ini bulan madu lho, bukannya jalan-jalan biasa. Kan kita bisa tuh nanti atur jadwal jalan-jalan bareng. Yang penting, nggak sekarang," ujar Yaya sembari melepas jilbab instannya dan meletakkannya di pegangan sofa. Ia duduk di sana, di samping sang suami.
"Nanti atau sekarang sama aja sih, Yang. Nggak papa lah. Lagipula jadwal cuti aku udah full tahun ini. Kalau ditunda, kapan lagi coba. Baru bisa cuti lagi tahun depan," ujar Andrian sambil memainkan ponselnya.
"Mas, kita ini bulan madu lho. Masa' bulan madu bawa keluarga. Mama papa aku aja nggak ikut kok."
"Kalau kamu mau ajak Mama papa kamu ya silahkan. Tapi beli tiket sendiri," jawab Andrian acuh tak acuh.
"Mas, yang aku permasalahin itu bukan orang tua aku ikut atau nggak. Aku ingin tuh bulan madu kita tuh berakhir berkesan. Mana mama pake ngajak Mbak Marissa juga. Ini tuh sebenernya bulan madu atau apa sih?" ujar Yaya pelan, namun tersirat kekesalan di dalamnya.
Andrian menoleh. Ia menatap Yaya tak suka. "Kamu tuh sebenernya kenapa? Kamu nggak suka aku ajak keluarga aku? Iya? Kamu kok baru sehari jadi istri udah cerewet banget sih? Dulu nggak kayak gini. Atau jangan-jangan ini sifat asli kamu?" tuding Andrian.
"Aku bukannya bermaksud cerewet, Mas. Tapi aku tuh pingin bulan madu berdua aja sama kamu. Aku mau menikmati bulan madu kita berdua aja." Yaya mencoba menjelaskan.
"Apa kamu takut orang tuaku mengganggu? Mereka keluarga aku lho. Marissa juga sahabat aku. Keluarga aku sudah dekat banget sama dia. Jadi apa masalahnya? Udah. Kamu nggak perlu khawatir, mereka nggak akan ganggu bulan madu kita kok. Bahagia itu dibagi-bagi. Apa salahnya kita ikut berbagi kebahagiaan sama keluarga aku. Udah, jangan terlalu dipikirin. Semua tetap akan berjalan sesuai rencana kok."
"Tapi Mas ... "
Tiba-tiba Andrian mengangkat tangan, menggestur agar Yaya tidak melanjutkan perdebatan. Ia juga menunjukkan ponselnya yang ternyata ada panggilan video dari Marissa. Yaya ingin mencegah Andrian mengangkat panggilan video itu, tapi ia sudah lebih dulu mengangkat panggilan itu.
"Halo Cha eh Sa ... "
"Halo, Yan, maaf ganggu. Nih, Tania merengek mau bicara sama kamu. Dia nggak mau makan kalau nggak dibolehin bicara sama kamu dulu," adu Marissa.
"Nggak papa kok. Tania-nya mana? Nanti aku bicara sama dia."
"Sebentar!" Marissa lantas memberikan ponselnya pada Tania yang sedang berbaring di ranjang. Tania yang melihat Andrian pun langsung memanggil namanya.
"Om Iyan."
"Ada apa, Sayang? Kata Mama kamu nggak mau makan ya? Kok gitu sih?" ucap Andrian lembut mengabaikan keberadaan Yaya yang sedang menatap nanar dirinya.
"Om Iyan cih puyang nggak omong yagi. Ninggalin Tania. Tania 'kan mau makan cama Om Iyan."
Andrian terkekeh. "Maaf. Om ada kerjaan jadi pulang dulu. Tania makan dulu ya. Nanti Om kesana lagi kok."
"Nggak mau. Mau makan sama Om," ujar bocah perempuan itu.
"Makam dulu ya, Sayang. Nanti Om kesana lagi kok. Tapi nanti. Nggak sekarang. Makan ya!"
"Nggak mau. Maunya makan sama Om Yan." Tania mencebikkan bibirnya membuat Andrian terkekeh.
"Oke, oke. Nanti Om ke sana. Tania tunggu ya."
"Yeay." Tania bersorak girang. Setelah itu, panggilan pun ditutup. Andrian pun mengambil kembali kunci mobil yang tadi diletakkannya di atas meja. Saat ia hendak beranjak menuju pintu, Yaya pun segera menghadangnya.
"Mas, kamu mau pergi lagi?"
"Ah, Yaya. I-iya. Kamu sudah dengar tadi 'kan, Tania nggak mau makan kalau aku nggak datang."
"Mas, bisa nggak sih sekali aja kamu nggak ladeni permintaan Tania ataupun Mbak Marissa? Kita itu baru menikah lho, tapi dari semalam Mas lebih mementingkan Tania. Mas bahkan tega ninggalin aku di malam pertama kita. Mas mikir nggak sih, Mas tuh tega banget sama aku," ucap Yaya dengan sorot mata kecewa.
Andrian menghembuskan nafas pelan. Ia mendekati Yaya dan mengusap pipinya.
"Maaf. Mas janji, nggak akan lama. Tunggu Mas ya."
Cup ...
Andrian mencium pipi Yaya kemudian pergi begitu saja meninggalkan Yaya yang mematung dengan mata berkaca-kaca.
"Baru satu hari, baru satu hari menikah dan kau sudah dua kali membuatku kecewa, Mas," gumamnya seraya menghapus bulir yang hampir saja jatuh dari sudut matanya.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...