Sinopsis
Caca, adik ipar Dina, merasa sangat benci terhadap kakak iparnya dan berusaha menghancurkan rumah tangga Dina dengan memperkenalkan temannya, Laras.
Hanya karena Caca tidak bisa meminta uang lagi kepada kakaknya sendiri bernama Bayu.
Caca berharap hubungan Bayu dan Laras bisa menggoyahkan pernikahan Dina. Namun, Dina mengetahui niat jahat Caca dan memutuskan untuk balas dendam. Dengan kecerdikan dan keberanian, Dina mengungkap rahasia gelap Caca, menunjukkan bahwa kebencian dan pengkhianatan hanya membawa kehancuran. Dia juga tak segan memberikan madu untuk Caca agar bisa merasakan apa yang dirasakan Dina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 TERASINGKAN
Setiap kali Mertuaku membandingkan aku dengan Belinda, rasanya seperti ada api yang membakar hatiku. Mereka selalu saja memuji Belinda, entah itu karena kemampuannya memasak, berbicara dengan lancar, atau cara dia mengurus segala hal seolah-olah dia sudah bertahun-tahun berumah tangga. Padahal, Belinda belum menikah! Tapi kenyataannya, aku yang sudah berkeluarga merasa dipandang sebelah mata.
Mertuaku tersenyum pada Belinda "Caca, kamu lihat kan? Belinda ini benar-benar bisa mengurus semuanya, bahkan lebih baik dari kamu. Kalau saja kamu bisa seperti dia, rumah tangga akan lebih menyenangkan."
Aku menahan napas mendengar perkataan itu. Rasanya jantungku hampir berhenti sejenak. Mertua malah membandingkan aku dengan perempuan yang baru beberapa kali datang ke rumah kami! Aku tahu bahwa aku tidak sempurna, tapi aku sudah melakukan yang terbaik.
Kenapa mereka selalu membandingkan aku dengan orang lain? Aku sudah berusaha, tapi kenapa mereka tidak pernah puas?
Belinda, dengan senyum puas, hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Aku bisa merasakan betapa bangganya dia karena mendapatkan pujian itu. Dan itu, membuat aku semakin tertekan.
"Ah, terima kasih. Tapi sebenarnya, aku juga belajar banyak dari Caca. Dia kan sudah berumah tangga, jadi pasti lebih tahu banyak hal,"
ujarnya
Aku hanya tersenyum tipis, berusaha untuk tidak menunjukkan betapa sakitnya kata-kata itu. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu? Seakan-akan aku cuma diam saja di rumah tanpa berbuat apa-apa. Padahal, aku sudah berusaha keras menjaga rumah tangga ini, meskipun tak pernah ada yang menghargainya.
Aku harus bertahan. Tapi kenapa rasanya semua ini semakin berat?
Mertuaku terus saja mengobrol dengan Belinda, seolah aku tidak ada di sana. Setiap kali mereka berbicara, aku merasa semakin terasingkan. Belinda memang pandai memainkan peranannya. Dia tahu bagaimana menarik perhatian mertuaku, dan aku tahu dia melakukannya dengan sengaja.
Aku mencoba untuk tetap tenang, meskipun hatiku mulai terisi amarah dan kekecewaan. Kenapa aku selalu dianggap kurang? Kenapa selalu ada yang lebih baik dari aku di mata orang-orang ini?
"Belinda, kamu memang hebat. Tapi, kita semua punya cara kita sendiri untuk menjalani kehidupan," kataku sambil menahan gejolak api di dada ini. Aku begitu muak melihat sikapnya.
Aku mencoba berbicara dengan nada tenang, meskipun di dalam hatiku penuh dengan rasa sakit. Belinda hanya tersenyum, seperti biasa, tanpa menyadari betapa dalamnya kata-katanya menyakitkan.
Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus berbuat sesuatu untuk mendapatkan kembali perhatian dan penghargaannya. Tetapi, dengan kondisi seperti ini, rasanya semakin sulit untuk mempertahankan apa yang telah kubangun.
Aku bisa merasakan tatapan tajam dari Mbak Dina yang menyorotiku dengan senyuman penuh kemenangan. Dia tahu betul bagaimana aku merasa terpojok dan tidak berdaya. Sambil melihat ke arah Belinda yang semakin akrab dengan Mertuaku, aku bisa merasakan hawa dingin yang meresap dalam diriku. Dina tahu bagaimana cara memainkan peranannya. Dia berhasil menciptakan suasana yang sangat tak nyaman, seolah aku tidak ada di sini.
Dia benar-benar berhasil membuat aku merasa seperti orang asing di rumah sendiri. Aku harus hati-hati.
Aku mengalihkan pandanganku, berusaha untuk tidak melihat senyuman sinis Dina, namun percuma. Dia melangkah mendekat ke arahku dengan langkah santai, seperti sedang menonton pertunjukan yang sangat menghibur.
"Caca, kenapa terlihat tegang? Apa kamu merasa terancam dengan kedekatanku dan Belinda?"
senyum mbak Dina penuh dengan kemenangan.
Aku bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi dalam nada suaranya. Dia ingin aku merasa terpojok, dan ternyata dia sudah mendapatkan tujuannya. Membuat aku merasa seperti ini, membuatnya puas.
"Tidak, aku hanya merasa kehadiran Belinda terlalu... mendominasi."
"Oh, tentu. Belinda memang bisa melakukan segala hal dengan sempurna. Tapi siapa yang bisa menandingi keahliannya? Kamu pasti paham maksudku, kan? Kadang aku merasa sayang jika kamu tidak bisa mengikuti langkahnya."
Aku mencoba menahan rasa panas yang muncul dalam dada. Dina tahu bagaimana cara menggiring percakapan agar aku merasa kecil dan tidak berharga. Setiap kata yang keluar dari mulutnya semakin menambah rasa sakit yang aku rasakan.
"Aku tahu. Tapi aku juga punya cara dan kehidupanku sendiri."
"Oh, aku tahu. Kamu punya cara, Caca. Tapi, apakah itu cara yang benar? Kadang, aku merasa kalau kamu terlalu sibuk dengan dunia luar, kamu jadi lupa akan rumah tanggamu sendiri. Tapi tak apa, mungkin kamu lebih cocok dengan cara hidup seperti ini, ya?"
Setiap kalimat mbak Dina bagaikan pisau yang menusuk, mengiris hatiku dengan sangat dalam. Aku mencoba tetap tenang, tapi sebenarnya aku sudah tidak tahan lagi.
"Aku tidak ingin terlibat dalam permainanmu, Dina. Aku tahu kamu punya rencana, tapi aku tidak akan mudah terperangkap."
"Oh, Caca... kamu selalu berpikir begitu, kan? Tapi aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Jangan sampai kamu kehilangan lebih banyak. Ingat, aku tahu semua tentangmu."
Aku merasa tenggorokanku tercekat. Apa lagi yang ingin dia katakan? Aku tahu kalau dia mengancamku dengan masa laluku, tetapi kali ini aku tidak bisa lagi membiarkan dia menguasai pikiranku. Aku harus melakukan sesuatu.
"Jangan terlalu sombong, Mbak. Aku bukanlah orang yang mudah dihancurkan."
"Kita lihat saja nanti, Caca. Jangan terlalu percaya diri."
Dengan langkah mantap, Dina pergi begitu saja, meninggalkan aku dengan perasaan yang semakin kacau. Di luar sana, Belinda masih terus berada di sisi mertuaku, semakin erat dalam cengkeramannya. Aku tahu, Dina akan terus memainkan permainannya. Tapi kali ini, aku harus menemukan cara untuk melawan dan bertahan.
Malam itu, suasana rumah terasa sangat sunyi. Semua orang sudah pergi tidur, atau setidaknya, itulah yang kupikirkan. Aku sedang duduk di ruang tamu, mencoba untuk menenangkan pikiranku yang berantakan. Namun, tiba-tiba aku mendengar suara Mertuaku dan Suamiku yang sedang berbicara di dapur. Karena tak ada suara lain, aku merasa sangat penasaran dengan percakapan mereka. Tanpa berpikir panjang, aku perlahan mendekat dan mendekam di balik tembok, mencoba untuk menguping percakapan mereka.
Suara Suamiku terdengar jelas dari balik tembok, dan aku bisa mendengar setiap kata yang diucapkannya.
"Aku rasa Belinda sekarang sudah semakin dekat dengan keluarga kita, ya. Mama juga mulai lebih memperhatikannya."
"Ya, Belinda memang sangat pandai. Dia bisa mengurus semuanya, bahkan bisa membuat rumah ini terasa lebih hidup. Tapi ada sesuatu yang perlu kamu tahu, Danu."
Aku merasa jantungku mulai berdebar. Aku tidak bisa menebak apa yang akan dikatakan selanjutnya, tetapi perasaan buruk sudah menyelimuti diriku. Aku berusaha menahan napasku, berharap mereka tidak mendengar aku yang menguping.
"Apa itu, Bu?"
"Sebenarnya, Belinda adalah mantan pacarmu, bukan? Waktu kalian kuliah dulu."
Aku terdiam sejenak, rasa terkejut langsung menghantamku. Belinda... mantan pacar suamiku? Aku tidak bisa mempercayai apa yang baru saja aku dengar. Kenapa baru sekarang aku mendengar ini? Apa artinya semua ini?
bantu ngga.
mudah2an mereka bertiga dpt balesanya
blm sadar jga y,ngga minta maaf Ama Dina.
tuh mantan suami Dina kpn dapet karmanya.
kadang kasian Ama Caca, tp kenapa dia ngga mikir y gimana perasaan Dina. yg skg dia alami.
apa Caca ngga sadar ini ulahnya.
makin merasa terzolimi padahal dia sendiri pelakunya