Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bangku taman
Sudah beberapa minggu sejak Joko dan Vina memutuskan untuk mengakui perasaan mereka satu sama lain. Mereka kini resmi menjadi pasangan, meskipun masih ada banyak hal yang harus mereka hadapi. Hubungan yang dimulai dengan banyak debat filsafat dan fisika kini mulai terasa lebih serius. Namun, ada satu masalah yang terus mengganggu Joko—keraguan dalam dirinya sendiri.
Pada suatu sore yang cerah, mereka duduk di taman kampus setelah kelas berakhir. Vina tampak tersenyum lebar, tetapi Joko merasa seolah ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
"Jok, lo kenapa sih? Gue liat lo agak beda akhir-akhir ini," tanya Vina, sambil menatap Joko yang sibuk dengan ponselnya, meski jelas terlihat ada sedikit kecemasan di wajahnya.
Joko menatap Vina dengan sedikit terkejut. "Ah, nggak apa-apa. Cuma capek aja, Vin."
Vina melipat tangannya, menyandarkan punggungnya pada kursi taman. "Capek? Capek fisik atau capek hati?"
Joko terdiam sejenak. Dia tahu Vina cukup peka untuk menangkap perasaan yang tersembunyi. Namun, dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan apa yang sedang dirasakannya. "Ya... agak capek mikirin banyak hal."
Vina melirik Joko dengan tatapan penuh perhatian. "Mikirin gue?" katanya sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana.
Joko menggelengkan kepala, meski senyum tipis tetap terukir di bibirnya. "Nggak juga. Mikirin... banyak hal yang kayak nggak sesuai ekspektasi gue aja."
Vina menyandarkan kepalanya pada bahu Joko, merasakan ketegangan yang masih terasa. "Kita baru aja mulai, Jok. Nggak semua bisa sempurna. Kadang kita juga harus belajar bareng-bareng, kan?"
Joko menghela napas panjang, mencoba mencerna kata-kata Vina. "Iya, tapi kadang gue mikir... apa gue udah cukup buat lo? Gue bukan orang yang sempurna, Vin. Lo tahu kan, gue bukan orang yang punya banyak hal. Bahkan gue sering nggak peka, nggak tahu apa yang lo butuhin."
Vina mendongak, menatap Joko dengan tatapan serius. "Jok, lo nggak perlu jadi sempurna buat gue. Gue cuma butuh lo jadi diri lo sendiri. Dan soal lo nggak peka, ya itu nggak masalah. Kita kan bisa saling belajar."
Joko tertawa kecil, meski ada sedikit kelegaan yang terasa. "Lo bener-bener percaya sama gue, ya?"
Vina mengangguk, senyum lembut tersungging di bibirnya. "Iya. Gue percaya sama kita."
Tapi, meskipun kata-kata Vina terdengar menenangkan, Joko masih merasa ada ketidakpastian yang mengganjal. Dia ingin menjadi sosok yang lebih baik untuk Vina, tapi bagaimana jika dia tidak bisa memenuhi harapan yang tidak pernah diungkapkan?
Vina merasa ada yang berbeda pada Joko, dan dia tahu betul bahwa hubungan mereka masih berada di ujung perubahan. Mereka sudah resmi berpasangan, tetapi dinamika hubungan mereka tetap berubah seiring waktu. Ada rasa cemas yang belum bisa dihilangkan begitu saja, baik oleh Joko maupun oleh Vina.
Setelah beberapa saat dalam diam, Vina akhirnya berbicara. "Jok, lo ingat nggak waktu kita pertama kali ketemu? Kita berantem mulu kan?"
Joko tertawa kecil. "Iya, inget banget. Lo banyak banget ngomong soal fisika, gue malah sibuk jawab pake filosofi. Gila aja sih."
Vina tersenyum, menatap Joko dengan tatapan hangat. "Nah, sekarang kita udah bareng. Gue belajar banyak tentang filsafat, dan lo mungkin mulai ngerti kenapa fisika itu seru."
Joko mengangguk, melihat betapa jauh perjalanan mereka berdua. "Iya, sih. Gue mulai ngerti sedikit-sedikit. Mungkin kita nggak akan pernah sepenuhnya sama, tapi kita bisa belajar dari perbedaan itu."
Vina melanjutkan, "Dan gue rasa, nggak perlu sempurna kok, Jok. Kita cuma butuh waktu dan usaha buat ngejalanin ini, dan tentu saja... saling percaya."
Joko menghela napas lega. Meskipun keraguan masih ada, dia merasa lebih tenang. "Ya, semoga aja kita bisa terus saling percaya, Vin."
Mereka duduk bersama dalam keheningan, menikmati kedamaian yang baru saja tercipta. Meskipun hubungan mereka tidak berjalan mulus tanpa masalah, mereka tahu bahwa saling mendukung dan belajar dari kesalahan adalah kunci untuk terus maju.