Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Menghadapi Takdir
Matahari baru saja terbit, menyebarkan cahaya keemasan yang lembut di atas pepohonan hutan. Elarya dan Kael berdiri di atas bukit kecil, memandang ke arah dunia yang terbentang di depan mereka. Udara pagi yang segar menyapu wajah mereka, membawa harapan baru setelah malam yang penuh dengan perasaan dan janji-janji.
Namun, meskipun dunia terlihat damai, mereka tahu kenyataannya tidaklah demikian. Kegelapan yang mereka hadapi belum berakhir. Bahkan, pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai.
Elarya menghela napas, matanya menyusuri cakrawala yang jauh. Pikirannya kembali pada ancaman yang masih mengintai—kekuatan gelap yang terus berkembang. Segel cahaya dalam dirinya sudah terbukti kuat, namun ia tahu bahwa kekuatan itu tidak akan cukup jika ia tidak belajar mengendalikannya sepenuhnya.
Kael berdiri di sampingnya, menatap pemandangan yang sama. Ada kesunyian di antara mereka, namun bukan kesunyian yang menakutkan. Ini adalah keheningan yang penuh pemahaman, kedekatan yang tercipta melalui pengalaman dan perasaan yang telah mereka bagi.
“Ada sesuatu yang menggangguku,” Elarya akhirnya berkata, memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi ada kecemasan yang tersembunyi di balik kata-katanya. “Segel cahaya ini, Kael... aku merasa seperti hanya permukaan dari sesuatu yang jauh lebih besar. Seperti ada sesuatu yang lebih kuat di dalam diriku, dan aku takut jika aku tidak bisa mengendalikannya.”
Kael menoleh padanya, matanya penuh perhatian. “Elarya, kamu sudah menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Kamu telah mengalahkan kegelapan yang mengintai, dan itu hanya permulaan. Kau lebih kuat dari yang kamu kira.”
Elarya menatap Kael, tetapi ada keraguan di matanya. “Tapi aku tidak tahu sejauh mana aku bisa bertahan. Aku merasa seolah-olah aku mulai kehilangan kendali. Ketika cahaya itu mengalir, aku merasa sangat kuat, tetapi juga sangat kosong. Aku takut jika aku tidak bisa mengendalikan kekuatan ini, akan ada yang hilang dalam diriku.”
Kael menggenggam tangan Elarya dengan lembut, menenangkan kegelisahannya. “Aku akan selalu ada di sini untukmu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama. Kau tidak akan pernah sendirian.”
Elarya menatap tangan Kael yang menggenggamnya, dan untuk sesaat, ia merasa tenang. Kehadiran Kael di sisinya memberikan kekuatan yang tak terkatakan. Di tengah semua kekhawatiran dan ancaman yang datang, ia tahu bahwa ia tidak akan melewati ini sendirian. Bersama Kael, ia merasa sedikit lebih kuat.
“Terima kasih, Kael,” Elarya berbisik, senyum lembut muncul di bibirnya. “Aku tahu aku bisa mengandalkanmu.”
Kael membalas senyumnya, dan untuk sejenak, dunia sekitar mereka seakan menghilang. Semua beban yang mereka pikul terasa sedikit lebih ringan, hanya ada mereka berdua dalam keheningan yang penuh pemahaman.
Namun, perasaan damai itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba, angin berhembus kencang, membawa suara langkah-langkah berat menuju mereka. Elarya dan Kael saling menatap, tahu bahwa ancaman yang mereka hadapi belum selesai.
Dari balik pohon, muncul sosok yang tampak asing. Sosok tinggi dengan pakaian hitam yang robek-robek, kulitnya pucat dan matanya seperti berlian hitam yang tajam menatap mereka. Pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi energi yang dipancarkannya terasa mencekam.
"Siapa kau?" Elarya akhirnya bertanya, suaranya tenang meskipun ada rasa waspada yang mendalam.
Pria itu tersenyum sinis, tetapi ada kekuatan gelap yang melingkupi dirinya. “Aku adalah pengikut kegelapan. Aku datang untuk menuntut apa yang menjadi milik kami. Segel cahaya yang ada pada dirimu, Elarya. Kekuatanmu akan membawa dunia ini ke dalam kegelapan yang lebih dalam.”
Kael melangkah maju, berdiri tegak di samping Elarya. “Kami tidak akan membiarkanmu membawa kegelapan ini. Jika kau datang untuk bertarung, maka kami akan melawan.”
Pria itu tertawa, suara gelaknya terdengar seperti bisikan angin malam yang dingin. “Kau bisa mencoba, Kael. Tetapi segel cahaya itu milikku sekarang. Dan aku akan menggunakannya untuk menghancurkanmu.”
Elarya merasa kekuatan cahaya di dalam dirinya bangkit, terasa seperti api yang perlahan menyala. Cahaya itu, yang selalu dia bawa, kini terasa berbeda. Lebih kuat. Lebih menguasai dirinya. Namun, ia juga merasakan perasaan yang lain—perasaan yang gelap. Sebuah dorongan untuk mengendalikan kekuatan itu dengan cara yang lebih kuat, lebih menakutkan. Sesuatu yang berada di ujung kesadarannya, menunggu untuk dibebaskan.
Kael melihat ekspresi Elarya dan menyadari apa yang sedang terjadi. “Elarya, jangan biarkan kegelapan itu menguasaimu! Kau lebih kuat dari itu!”
Namun, Elarya hanya bisa menatap pria yang berdiri di depan mereka, matanya penuh keraguan dan tekad. Ia tahu bahwa ini adalah ujian terbesar dalam hidupnya—bukan hanya untuk mengalahkan musuh, tetapi juga untuk mengendalikan cahaya yang ada di dalam dirinya. Cahaya yang tidak hanya bisa menyelamatkan, tetapi juga menghancurkan.
"Kael," Elarya berbisik, suaranya hampir hilang di dalam angin yang berhembus kencang, "aku tidak yakin aku bisa mengendalikan ini. Tapi aku harus mencoba."
Kael menatapnya, mata mereka bertemu dengan penuh pengertian. "Aku akan selalu ada di sini, Elarya. Apa pun yang terjadi, aku akan melindungimu."
Dengan tekad yang baru, Elarya mengangkat tangannya, memanggil cahaya dalam dirinya. Cahaya itu mulai memancar, menyalakan udara sekitar mereka, membentuk pola yang bersinar terang. Tetapi saat itu juga, gelap mulai mengalir, mencoba untuk menelan cahaya itu.
Pertarungan antara terang dan gelap dimulai. Elarya merasa tubuhnya terkoyak di tengah kekuatan yang saling bertarung dalam dirinya. Apakah dia bisa mengendalikan kekuatan cahaya ini, atau akankah ia terjatuh ke dalam kegelapan yang akan menghancurkannya?
Elarya merasakan getaran kuat dari dalam dirinya, kekuatan cahaya yang mengalir semakin deras, bertemu dengan kekuatan gelap yang datang dari pria misterius itu. Dalam pertempuran batin yang terjadi di dalam dirinya, cahaya dan kegelapan berputar seperti dua dunia yang saling tarik-menarik. Setiap dorongan dari cahaya menuntut agar ia menaklukkan kegelapan, sementara bayangan kegelapan itu berusaha merasuki pikirannya, menggoda untuk membiarkan amarah dan ketakutan menguasai dirinya.
Kael berdiri tegak di sampingnya, matanya tajam dan penuh kewaspadaan. “Elarya, jangan biarkan dirimu terjerat!” serunya, berusaha memberi kekuatan pada Elarya yang tengah bergulat dengan kekuatan yang begitu besar di dalam dirinya.
Elarya menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan itu. Rasa takut dan ragu mulai membanjiri pikirannya, namun ia tahu, jika ia tidak bisa mengendalikan kekuatan cahaya itu, maka ia akan membiarkan kegelapan merusak semuanya.
"Kael," bisiknya, suara itu hampir tenggelam oleh deru angin yang bertiup kencang, "aku tak bisa melakukannya sendiri..."
Kael melangkah maju, memegang bahunya dengan lembut, memberi kepastian yang hanya bisa diberikan oleh seseorang yang sangat ia percayai. “Kita hadapi ini bersama-sama. Kau bukan sendirian, Elarya. Ingat, kita sudah saling memilih untuk berjalan bersama, tidak peduli seberapa gelapnya jalan yang ada di depan.”
Kata-kata itu, yang penuh dengan kepastian dan rasa cinta, menjalar ke dalam hatinya, memberikan kekuatan baru yang membuat cahaya di dalam dirinya kembali bersinar dengan terang. Elarya menutup matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan memusatkan pikirannya.
Di luar dirinya, pria bertubuh tinggi itu tidak mengendurkan tekanan kegelapan yang dia kirimkan. Dia mulai mendekat, menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian. "Kau pikir bisa melawanku dengan kekuatan yang lemah ini?" katanya, suaranya dingin dan menantang.
Namun, Elarya tidak terpengaruh oleh kata-katanya. Ia tahu bahwa pertarungan ini bukan hanya fisik, tapi lebih kepada hati dan kepercayaan. Cahaya itu tidak hanya miliknya—itu adalah milik mereka berdua. Dengan Kael di sisinya, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya.
Mata Elarya terbuka perlahan, dan dari dalam hatinya, cahaya itu menyembur keluar, membentuk lingkaran energi yang memancar terang. Cahaya itu melingkupi dirinya dan Kael, menghalau kegelapan yang semakin mendekat.
Pria misterius itu mundur sedikit, terkejut oleh kekuatan yang belum pernah ia duga. “Tidak mungkin!” teriaknya, suara penuh kemarahan. “Kau tidak bisa menguasai kekuatan itu!”
Namun, Elarya sudah tidak lagi ragu. Dia merasa cahaya dalam dirinya tidak hanya melawan kegelapan, tetapi juga melindunginya, menguatkannya. Ia menggenggam tangan Kael lebih erat, merasakan keberadaannya yang memberi kekuatan tambahan. “Aku tidak akan menyerah,” Elarya berkata dengan penuh keyakinan, suara itu tegas dan jelas.
Dengan satu gerakan, Elarya memancarkan cahaya itu dalam bentuk gelombang energi yang mengarah langsung ke pria tersebut. Energi itu menembus udara dengan kecepatan luar biasa, melawan gelap yang ia coba wujudkan.
Pria itu berteriak keras, tubuhnya terlempar mundur, namun cahaya itu tidak berhenti, terus merangkulnya, menyelimuti tubuhnya dengan kekuatan yang lebih besar, mengikatnya dalam energi yang lebih kuat. Semakin lama, kegelapan itu tampak semakin surut, berusaha bertahan namun tak mampu melawan cemerlangnya cahaya yang mengelilinginya.
“Aku… tidak bisa… kalah...” pria itu berbisik, namun tubuhnya semakin melemah. "Kau… terlalu kuat untukku."
Dengan satu teriakan terakhir, sosok itu akhirnya terjatuh, kekuatan gelapnya terserap habis oleh cahaya yang memancar dari Elarya. Tubuhnya mulai menghilang, seperti debu yang ditiup angin, meninggalkan hanya keheningan yang menyelimuti sekeliling mereka.
Elarya terengah-engah, merasakan kelelahan setelah pertempuran batin yang panjang. Cahaya di sekitarnya perlahan meredup, kembali ke dalam dirinya. Namun, ada perasaan yang berbeda dalam dirinya sekarang—perasaan kekuatan yang lebih seimbang, lebih terkendali.
Kael mendekat dan meraih tangannya, menatapnya dengan tatapan penuh kagum. “Elarya, kau luar biasa.”
Elarya menundukkan kepalanya, merasakan perasaan canggung namun hangat. “Aku hanya melakukannya karena aku tidak ingin kehilangan apapun. Karena aku tidak ingin kehilangan kita.”
Kael tersenyum, dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan. “Kita tidak akan pernah terpisah, Elarya. Kamu sudah membuktikan itu.”
Elarya merasakan hatinya menghangat, meskipun tubuhnya masih merasa lelah. “Terima kasih, Kael. Aku… aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku tahu kita akan menghadapi apapun itu bersama.”
Mereka berdua berdiri di tengah hutan yang kini terasa lebih tenang, dunia di sekitar mereka kembali damai, seolah menandakan bahwa ancaman untuk sementara telah berlalu. Namun, Elarya tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Kegelapan masih mengintai, dan segel cahaya yang ada dalam dirinya hanya akan menguji mereka lebih keras lagi.
Tapi dengan Kael di sisinya, Elarya merasa siap untuk apapun yang akan datang. Cahaya itu bukan hanya miliknya. Itu adalah milik mereka—dua hati yang saling mempercayai dan akan terus bersatu, meski dunia ini penuh dengan kegelapan dan cobaan yang tak terhitung.
Elarya menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan degupan jantung yang masih berpacu cepat. Walau ancaman itu telah berlalu, perasaan kelelahan dan kekhawatiran masih membayangi dirinya. Cahaya yang baru saja dia lepaskan begitu kuat, begitu menakjubkan, namun ia tahu bahwa itu hanya awal dari sesuatu yang lebih besar. Lebih berbahaya.
Kael berdiri di sampingnya, memberikan sedikit ruang agar Elarya bisa meresapi apa yang baru saja terjadi. Di wajahnya, tersirat kebanggaan yang samar, namun ada keprihatinan yang mendalam di matanya. Ia tahu, meskipun Elarya telah mengalahkan musuh mereka kali ini, kekuatan yang ada dalam dirinya masih belum sepenuhnya terkendali.
“Kau melakukannya, Elarya,” kata Kael pelan, menatapnya dengan penuh rasa hormat. “Aku... aku bangga padamu.”
Elarya hanya tersenyum lemah. Rasa bangga itu tidak dapat menutupi keraguan yang ada di hatinya. “Tapi aku masih merasa... tidak sepenuhnya terkendali, Kael. Segel ini... Aku takut suatu saat, kekuatan ini akan menguasai aku. Apa yang akan terjadi jika aku kehilangan kendali?”
Kael mengulurkan tangan, memegang bahunya dengan lembut. “Kekuatan itu bukan sesuatu yang harus kau takuti, Elarya. Itu bagian dari dirimu. Dan aku tahu, meskipun terkadang kita tidak bisa mengendalikan semua yang ada dalam diri kita, kita bisa memilih untuk menghadapinya bersama.”
Elarya menatap Kael, merasakan kedalaman kata-katanya. Ia tahu Kael benar. Mungkin segel cahaya itu adalah bagian dari dirinya yang lebih besar, sesuatu yang tidak bisa ia hindari. Namun, yang terpenting adalah bagaimana ia memilih untuk menghadapinya—dan ia tahu, dengan Kael di sampingnya, ia tidak akan pernah sendirian.
Namun, meski ada kenyamanan dalam kata-kata Kael, bayang-bayang kekuatan gelap yang datang sebelumnya masih menggantung di atas mereka. Musuh yang datang bukan hanya satu. Elarya tahu bahwa apa yang mereka hadapi saat ini hanyalah ujian awal dari takdir yang lebih besar. Takdir yang akan menguji bukan hanya kekuatan mereka, tetapi juga hubungan mereka.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah hutan yang gelap. Elarya dan Kael saling berpandangan, waspada. Mereka tidak sendirian. Seorang pria muncul dari balik pepohonan, kali ini berbeda dari sosok yang tadi. Pria ini lebih muda, wajahnya lebih ramah meskipun ada aura misterius yang menyelimuti dirinya. Dia mengenakan jubah perak yang tampak berkilauan meski dalam gelapnya malam, dan matanya berwarna biru kehijauan yang tajam, seperti mata laut yang dalam.
“Jangan khawatir,” kata pria itu dengan suara tenang, “aku bukan musuhmu.”
Kael melangkah maju, matanya tajam. “Siapa kau?”
Pria itu tersenyum, namun senyum itu tidak sepenuhnya meyakinkan. “Nama saya Lysander,” katanya dengan suara yang tenang namun penuh makna. “Aku datang untuk memberitahumu bahwa perjalananmu baru saja dimulai, Elarya.”
Elarya merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata pria itu. "Perjalanan kami sudah cukup berat. Apa maksudmu dengan 'baru saja dimulai'?"
Lysander melangkah mendekat, dan Elarya bisa merasakan energi yang kuat di dalam dirinya. Tidak seperti pria sebelumnya, yang mengendalikan kegelapan, Lysander memancarkan aura yang lebih misterius namun penuh kebijaksanaan. “Kekuatan yang kamu miliki, Elarya, bukan hanya tentang kekuatan pribadi atau sekadar segel cahaya. Itu adalah kunci untuk sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang akan menentukan nasib dunia ini.”
“Nasib dunia?” Kael bertanya, suaranya penuh dengan skeptisisme. “Apa maksudmu?”
Lysander menatap mereka berdua, matanya memancarkan keseriusan. “Ada perang besar yang akan datang, perang antara terang dan gelap. Dan hanya mereka yang memiliki kekuatan seperti Elarya yang dapat memimpin. Tapi kekuatan itu harus dikendalikan dengan bijak. Jika tidak, akan ada kehancuran yang tak terbayangkan.”
Elarya merasakan kekhawatiran merayapi hatinya. “Aku tidak mengerti. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku bisa mengendalikan kekuatan ini?”
Lysander mengangguk, wajahnya serius. “Itulah yang harus kau pelajari, Elarya. Kamu harus mencari tempat yang terlupakan, tempat di mana segel cahaya ini pertama kali tercipta. Di sana, kamu akan menemukan jawaban yang akan mengarahkanmu pada takdirmu. Tanpa itu, kau tidak akan pernah bisa mengendalikan kekuatanmu.”
Kael menatap Lysander dengan tajam. “Jika ini adalah perjalanan yang harus diambil Elarya, aku akan ikut bersamanya. Tidak ada yang bisa menghalangi kami.”
Lysander tersenyum, dan dalam senyum itu ada pemahaman yang dalam. “Itulah yang aku harapkan. Karena, meskipun Elarya memiliki kekuatan yang luar biasa, dia tidak akan bisa menghadapinya sendiri. Kau berdua saling melengkapi. Itulah kekuatan sebenarnya.”
Elarya merasa perasaan hangat mengalir di dalam hatinya mendengar kata-kata itu. Selama ini, dia merasa sendiri, terjebak dalam kekuatannya yang tidak sepenuhnya ia pahami. Namun sekarang, dengan Kael di sisinya dan petunjuk dari Lysander, ia merasa ada harapan. Perjalanan mereka belum berakhir, tetapi bersama-sama mereka akan menemukan jalan.
“Kami akan pergi,” Elarya berkata, matanya penuh tekad. “Kami akan mencari tempat itu. Kami akan menemukan cara untuk mengendalikan segel ini.”
Lysander mengangguk, senyumnya kembali mengembang. “Aku tahu kalian akan melakukannya. Ingat, waktu kalian terbatas. Kegelapan semakin dekat.”
Dengan itu, Lysander berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan mereka dengan kata-kata yang penuh arti. Elarya dan Kael saling berpandang, menyadari bahwa mereka sedang berada di ujung sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan dan bahaya. Namun, di mata mereka, ada keyakinan yang baru tumbuh—bahwa apapun yang mereka hadapi, mereka akan menghadapinya bersama.
Elarya menggenggam tangan Kael, merasakan kekuatan dalam genggaman itu. “Kita akan melakukannya, Kael,” katanya dengan suara penuh tekad.
Kael menatapnya, senyum lembut tersungging di bibirnya. “Bersama. Kita akan menghadapinya bersama.”
Dengan langkah pasti, mereka mulai meninggalkan tempat itu, menuju perjalanan yang akan menentukan nasib mereka dan dunia. Dunia yang masih penuh misteri, penuh dengan kegelapan yang mengintai, dan cahaya yang harus mereka pelihara.