Mengisahkan Tentang Perselingkuhan antara mertua dan menantu. Semoga cerita ini menghibur pembaca setiaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gita Arumy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Maaf Maya Dan Arman
Permintaan Maaf Maya dan Arman
Setelah berhari-hari penuh keheningan dan ketegangan yang menggantung di udara, akhirnya Nisa mendapatkan kesempatan untuk berhadapan langsung dengan Arman. Ia tahu ini adalah pertemuan yang tak terhindarkan, meskipun hatinya masih penuh dengan rasa marah, kecewa, dan kebingungan. Tetapi, entah kenapa, meskipun semua perasaan itu menggerogoti dirinya, Nisa merasa bahwa ini adalah langkah yang perlu ia ambil untuk mencari penutupan.
Suatu sore yang cerah, Nisa mendapati dirinya duduk di ruang makan bersama Maya dan Arman. Tidak ada lagi percakapan hangat seperti dulu, tidak ada lagi canda tawa yang biasa menghiasi suasana di rumah mereka. Sekarang, yang ada hanya kesedihan, kebisuan, dan perasaan yang berat seperti batu.
Maya duduk di satu sisi meja, tangan terlipat di depan dada, wajahnya tampak penuh penyesalan. Sementara Arman, yang duduk di sebelah Maya, terlihat cemas dan gelisah. Matanya berkedip-kedip, jelas sekali ia merasa tak nyaman dengan situasi ini. Namun, keduanya tahu bahwa tidak ada lagi jalan untuk menghindari percakapan yang satu ini.
Nisa menatap mereka dengan tatapan yang sulit diungkapkan. Suara hatinya berbisik untuk melepaskan semua amarah yang sudah mengendap begitu lama, tetapi ia tahu bahwa ini adalah saat untuk mendengar permintaan maaf mereka—saat di mana mereka harus mengakui kesalahan mereka.
"Mama... Arman," suara Nisa pelan, namun setiap kata terasa begitu berat. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku tidak tahu harus percaya apa lagi. Tapi aku ingin kalian tahu, aku tidak bisa begitu saja melupakan apa yang telah kalian lakukan. Aku merasa seperti dunia ini telah menipuku."
Maya menundukkan kepala, tidak mampu menatap mata putrinya. "Nisa, aku tahu aku telah mengkhianatimu. Aku tahu ini semua tidak akan mudah untuk diperbaiki, dan aku tidak tahu bagaimana cara mengembalikan kepercayaan yang telah hilang," kata Maya, suaranya serak penuh penyesalan. "Aku telah melukai hatimu, dan itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku minta maaf, Nisa. Dari lubuk hati yang paling dalam, aku sangat menyesal."
Arman yang selama ini hanya diam, akhirnya membuka mulut. Suaranya terdengar berat, seperti ada beban yang berat menahan kata-katanya. "Aku juga... aku juga minta maaf, Nisa," katanya, tatapannya jatuh ke meja, tidak berani melihat langsung ke mata Nisa. "Apa yang terjadi itu bukanlah keputusan yang mudah untuk aku buat, dan aku tahu aku telah menghancurkan segalanya. Aku sangat menyesal. Aku tahu aku telah mengkhianatimu, dan aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi tolong, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Maya menoleh pada Arman, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, mereka saling bertukar pandang—sebuah pandangan yang penuh penyesalan dan kesedihan. "Kami berdua sudah tahu bahwa apa yang kami lakukan itu salah. Tidak ada alasan yang cukup untuk membenarkan perbuatan kami. Kami tahu kami telah menyakitimu, dan itu adalah kesalahan yang tidak bisa kami perbaiki begitu saja."
Nisa memejamkan mata, menahan air mata yang hampir menetes. Semua kata-kata mereka seakan-akan tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang terpendam. Bagaimana bisa seseorang yang begitu ia cintai, begitu ia percayai, bisa melakukan hal yang begitu menghancurkan?
"Tapi kenapa? Kenapa kalian tidak bisa memberitahuku lebih awal?" tanya Nisa dengan suara yang hampir tak terdengar. "Kenapa tidak ada yang mengingatkan aku? Kenapa tidak ada yang berbicara dengan aku sebelum semua ini terjadi? Aku merasa seperti aku tidak pernah benar-benar tahu siapa kalian. Mama, Arman... kalian adalah orang-orang yang selalu aku anggap tak tergantikan dalam hidupku. Tapi sekarang, semuanya terasa kosong."
Maya dan Arman terdiam. Mereka tahu bahwa kata-kata mereka tidak akan cukup untuk menyembuhkan luka di hati Nisa, dan mereka tidak berharap bisa menghapus kenangan pahit itu dalam sekejap. Namun, mereka ingin Nisa tahu bahwa mereka sangat menyesal dan siap menerima konsekuensi dari tindakan mereka.
"Setidaknya kami ingin kamu tahu, Nisa, bahwa kami benar-benar menyesal," kata Maya dengan suara yang lebih tenang namun penuh penyesalan. "Apa yang terjadi itu bukanlah sesuatu yang pernah kami inginkan. Kami melukai kamu, dan itu adalah kesalahan terbesar kami."
Arman mengangguk, merasa tidak berdaya. "Aku berharap aku bisa mengubah semuanya, tapi aku tahu itu tidak mungkin. Aku hanya ingin meminta maaf dari hati yang paling dalam. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk mendapatkan kepercayaanmu lagi, tapi aku akan berusaha semampuku."
Nisa menatap mereka dengan mata yang penuh emosi. Keinginannya untuk berteriak dan melepaskan semua amarah itu begitu kuat, tetapi di sisi lain, ia merasa bahwa keduanya—Maya dan Arman—telah mengakui kesalahan mereka. Mereka sedang berusaha. Mungkin, itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia pegang saat ini.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan kalian, atau jika kita bisa kembali seperti dulu," kata Nisa pelan, suaranya pecah karena emosi yang membeludak. "Tapi aku ingin percaya bahwa ini bisa menjadi awal dari perubahan. Aku tidak tahu seberapa lama aku akan membutuhkan waktu untuk sembuh, tapi aku berharap kita bisa menemukan jalan keluar bersama."
Maya mendekat dan memeluk Nisa dengan hati-hati, seperti sedang memeluk seseorang yang sangat rapuh. "Aku tahu, Nisa. Aku akan menunggumu, berapa pun lama waktu yang kamu butuhkan. Aku akan berusaha memperbaiki semuanya, dan aku berharap kita bisa mulai membangun kembali kepercayaan itu, sedikit demi sedikit."
Arman hanya bisa berdiri di sisi mereka, merasa hampa dan tak tahu harus berkata apa lagi. Semua yang ia lakukan telah menyakiti orang yang paling ia cintai, dan meskipun ia merasa tak ada yang bisa membenarkan tindakannya, ia tahu bahwa ini adalah permulaan dari upaya mereka untuk memperbaiki segalanya.
Nisa hanya diam, merasakan kehangatan pelukan ibunya, tetapi hatinya masih penuh dengan luka. Namun, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasakan sedikit harapan. Mungkin, tidak ada kata-kata yang bisa menghapus semua rasa sakit, tetapi mungkin, dengan waktu, mereka bisa mulai memperbaiki apa yang telah rusak.
"Terima kasih, Mama... Arman," kata Nisa pelan, meskipun ada keraguan yang masih tersisa di matanya. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku akan mencoba. Untuk kita."
Dan meskipun perasaan itu masih sangat rumit dan penuh dengan kebingungan, Nisa tahu bahwa ini adalah langkah pertama. Langkah menuju penyembuhan, langkah menuju pemahaman, dan mungkin, langkah menuju penutupan bagi luka yang telah menggores hatinya begitu dalam.