Zeona Ancala berusaha membebaskan Kakaknya dari jeratan dunia hina. Sekuat tenaga dia melakukan segala cara, namun tidak semudah membalikan telapak tangan.
Karena si pemilik tempat bordir bukanlah wanita sembarangan. Dia punya bekingan yang kuat. Yang akhirnya membuat Zeona putus asa.
Di tengah rasa putus asanya, Zeona tak sengaja bertemu dengan CEO kaya raya dan punya kekuasaan yang tidak disangka.
"Saya bersedia membantumu membebaskan Kakakmu dari rumah bordir milik Miss Helena, tapi bantuan saya tidaklah gratis, Zeona Ancala. Ada harga yang harus kamu bayar," ujar Anjelo Raizel Holand seraya melemparkan smirk pada Zeona.
Zeona menelan ludah kasar, " M-maksud T-Tuan ... Saya harus membayarnya?"
"No!" Anjelo menggelengkan kepalanya. "Saya tidak butuh uang kamu!" Anjelo merunduk. Mensejajarkan kepalanya tepat di telinga Zeona.
Seketika tubuh Zeona menegang, mendengar apa yang dibisikan Anjelo kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Mentari pagi menyapa. Menerpa hangat wajah Zeona. Senyum tak henti terlukis dari bibir mungilnya. Hidupnya tak pernah setenang ini. Sang kakak yang dulu selalu ia khawatirkan, kini sudah tinggal lagi bersama dirinya.
Saat ini Zalina masih tertidur pulas, setelah salat subuh tadi tidur kembali. Sedangkan Zeona sedang menjemur pakaian di rooftop kontrakan. Sembari menikmati hangatnya cahaya matahari dan pemandangan atap-atap bangunan yang berjejer di tepian ibukota ini.
Ponsel di saku celana bergetar. Zeona merogohnya dengan gerakan pelan. "Alden?" Zeona menempelkan benda pipih itu ke telinga.
[Halo Al?]
[Zeo, kamu ke mana aja dua hari ini nggak ada ngabarin aku? Mentang-mentang udah lulus sekolah. Tega deh lupain teman sebangkumu ini. Sombong!] Di seberang sana, Alden mengerucutkan bibir.
Kekehan geli terdengar. Menyapa gendang telinga Alden Prawira. [Aduh, maaf banget, Al. Dua hari kebelakang aku bener-bener sibuk banget. Sampai nggak sempat pegang hp, maaf banget ya, Pangeran Alden.]
[Iya deh aku maafin. Tapi hari ini bisa nggak kita ketemu?]
[Jam berapa, Al?]
[Sekarang aja. Bisa?]
[Bisa. Bisa. Di mana?]
Di seberang sana, Alden tertawa bahagia sambil mengangkat tinjunya ke udara lalu menariknya ke perut. [Di Cafe Solaria yang ada di dekat sekolah.]
[Ok!]
Percakapan di balik telepon itu berakhir karena kesepakatan sudah di dapat. Zeona lekas turun dari rooftop kontrakan.
Sementara Alden, pemuda yang satu tahun lebih muda dari Zeona itu sedang bersorak-sorak di dalam kamarnya. Saking bahagia karena bisa bertemu dengan gadis yang ia cinta.
"Siap-siap dulu ah!" Melompat-lompat macam katak perilaku Alden pagi ini. Jutaan kupu-kupu seolah beterbangan di dalam perutnya dan berhasil menggelitik perut sampai tembus ke jantung. Menjadikan tertawa-tawa sendiri. Dengan jantung yang seperti dangdutan.
"I found a love for me ...
Oh, darling, just dive right in and follow my lead
Well, I found a girl, beautiful and sweet
Oh, I never ..."
Sepanjang bersiap, Alden terus menyanyikan lagu Perfect milik penyanyi luar negeri, Ed Sheran.
Jatuh cinta membuat hari-harinya berbunga-bunga. Meski dia belum berani menyatakan cintanya pada Zeona. Karena dia tahu jika gadis pujaannya tak ingin berpacaran.
Ingatan terlempar pada percakapannya saat di sekolah dulu.
"Zeo, kenapa kamu tadi nolak Si Gio? Padahal dia adalah salah satu cowok yang digandrungi loh sama murid-murid cewek di sekolah ini."
"Aku nggak mau pacaran, Al. Maunya sih langsung nikah."
"Berarti kalau ada cowok lain yang nembak kamu lagi, kamu tetep aja nggak akan nerima dia?"
Zeona menjawab cepat, "Enggak! Karena lelaki yang benar-benar mencintaiku, dia pasti akan langsung melamarku, bukan malah mengajakku berpacaran!"
Obrolan itu cukup menjadi pengingat bahwa percuma dia menyatakan cinta pada Zeona karena gadis itu tak akan mau berpacaran dengannya. Jadi, Alden sudah memutuskan untuk melamar Zeona saat nanti sudah lulus kuliah. Kemudian akan langsung menikahinya.
Hoodie hitam merk Balencia** dan celana jeans sewarna menjadi outfit pilihan Alden saat ini. Rambutnya yang ditata rapi dengan potongan undercut semakin menambah ketampanannya. Dia menyambar kunci mobil barunya yang dihadiahkan orang tuanya saat ulang tahun beberapa waktu yang lalu.
"Alden, mau ke mana kamu?!"
"Eh, Mbak. Tumben ke sini? Aku mau pergi. Mau ketemu sama temen." Alden melemparkan tanya dahulu, barulah dia menjawab pertanyaan Vivian.
"Mbak lagi bete di rumah. Mami mana?"
"Mami ada di kamarnya. Aku berangkat dulu ya? Bye Kak Vivi!" Alden melambaikan tangan setelah cipika-cipiki dengan Vivian.
"Ti-hati!"
"Ya!"
Setelah kepergian Alden, Vivian pun pergi ke kamar Maminya.
Marina sama terkejutnya dengan Alden mendapati putri sulungnya berkunjung ke rumah tanpa mengabari dahulu. "Tumben datang ke sini nggak nelepon dulu? Kamu lagi berantem ya, sama Anjel?" todong Marina.
Vivian memutar bola matanya lalu duduk di sofa di samping Marina. "Iya, Mi. Aku lagi bete sama Anjel. Aku 'kan kemarin minta modal buat bikin usaha baru, tapi dia nggak ngasih. Malah nyuruh aku buat minta ke Papi. Bayangkan Mi, sekesal apa aku saat ini. Mana semalem dia nggak p--" Vivian langsung menggigit ujung lidahnya. Tersadar hampir saja keceplosan. Selama ini, baik kedua orang tuanya ataupun Ibunya Anjelo, tak tahu jika dirinya dan Anjelo jarang pulang ke rumah.
"Nggak apa?" Alis badai Marina mencureng.
"Ng-nggak peduliin aku yang lagi marah. Dia nggak ngebujuk aku Mi. Malah didiemin gitu aja!" Jantung Vivian darderdor tak karuan. Takut jika Mamanya tidak percaya dan curiga. "Aku 'kan jadi jengkel!" lanjutnya meyakinkan.
"Sabar Vi, memangnya kamu minta modal berapa sama Anjel?" Jantung Vivian kembali tenang karena Maminya percaya pada kebohongannya.
Dia pun lekas menjawab pertanyaan Marina. "Nggak banyak kok, Mi, cuma dua milyar."
Pukulan kencang mendarat di paha Vivian dan pelakunya adalah Marina. "Kenapa Mami mukul aku?!" Vivian menggeram kaget.
"Ya karena kamu keterlaluan. Pantesan suamimu tidak memberikan modal. Kamu mintanya nggak kira-kira. Dua milyar itu bukan uang sedikit Vivi, memangnya kamu mau buka usaha apa lagi? Nggak capek apa buka usaha terus, tapi ujung-ujungnya nggak ada yang bertahan lama. Bangkrut terus! Mami aja yang lihatnya capek!" Omelan ala ibu-ibu mulai mengangkasa. "Daripada untuk modal usaha, mending uang segitu kita pake belanja! Hura-hura Vivi. Kita jalan-jalan ke luar negeri. Udah lama banget Mami nggak healing." Dari yang awalnya mengomeli, kini berubah menjadi mencurahkan isi hati.
"Kalau Mami mau healing, ya healing aja kali. Apa susahnya sih?" Vivian menyahuti curahan hati ibunya.
"Susah Vi, kamu kayak nggak tahu aja kalau sekarang perusahaan kita sedang mengalami kendala keuangan. Boro-boro untuk jalan-jalan, untuk bayar cicilan ke bank saja Papi kamu sampai menjual sebagian saham yang kita punya ke mertua kamu!"
Bola mata Vivian melebar, dia sampai menegakkan badan saking kagetnya. "Kapan Papi menjual saham?! Kenapa nggak diomongin dulu sama aku sih? Terus sekarang sebagian saham perusahan kita jadi milik Mama Indi, begitu?!" Kekagetan terlukis jelas di wajah cantik Vivian.
Marina meringis sembari menganggukkan kepala. "Seminggu yang lalu Vi, saat kamu pergi ke Thailand untuk menghadiri event fashion show di sana. Tujuh puluh persen saham kita menjadi milik Mama mertua kamu!"
"Ya Tuhan ..." Vivian mendesah panjang. "Terus nanti aku dan Alden kebagian apa dong Mi? Masa nggak kebagian harta warisan sih. Perusahaan yang selalu jadi kebanggaan kita ... sekarang malah jadi miliknya Mama Indi," keluh Vivian memijit pelipis.
"Maka dari itu Vi, kamu cepetan punya anak dari Anjel! Supaya semua harta mertua dan suamimu jatuh ke anak kamu dan perusahaan kita bisa kembali lagi ke tangan kita!"
Vivian mengacak rambutnya kasar, "Nggak segampang itu Mi, aku dan Anjel--"
"Kalian kenapa?!" Marina memotong ucapan Vivian dan memicingkan mata penuh curiga.
Makasih udah baca😊