Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 29
“Mbak, kita cari bakso setelah ini?” tanya Wijaya begitu mereka keluar dari toko bahan kue, Sukma mengangguk. Sebenarnya bakso itu adalah titipan ibu mertuanya, wanita itu punya bakso langganan di kota yang dulu selalu menjadi favorit beliau bersama sang suami.
Sukma tersenyum menyadari betapa besar cinta ibu mertuanya itu kepada bapak mertua, dan ia pun ingin melakukan hal sama. Terlepas dari kesalahan masa lalu Bagas, Sukma sudah bisa berdamai dengan kenyataan.
“Nadira belum selesai juga kah?” ucapnya sambil memindahkan beberapa kantong plastik menjadi satu wadah. “Oh iya Jaya, gimana kata kyai?”
“Kyai Usman orangnya memang sangat pengertian, saat aku mulai cerita problem Nadira, beliau melarang kita memaksa anak ini. Biarlah Mbak, aku yakin nanti Nadira pasti mau mengaji lagi,” ucap Wijaya percaya diri.
“Yah, semoga saja, Jaya. Anak ini benar-benar bikin malu, aku yakin alasan dia enggan mengaji bukan karena ayahnya, sepertinya dia lagi bertengkar dengan Rendra.”
“Rendra?”
“Ya, mereka berdua aneh. Eh, tunggu… bukannya itu Rendra ya?” Sukma menunjuk toko sebelah, ia melihat Rendra sedang berbincang dengan seseorang yang tak terlihat, sebab lawan bicaranya berada di balik rak buku.
“Kita kesana Mbak?”
“Ya udah ayo,” jawab Sukma. Keduanya lantas menyeberangi jalan menuju toko buku, dari jarak dekat barulah Sukma sadar dengan siapa pemuda itu berbincang.
“Nadira!” panggilnya.
“Ah, Ibu.” Nadira berjalan mendekat, begitu pun Rendra yang mengikutinya.
“Assalamualaikum Kang Jaya, bu Sukma,” sapa Rendra sopan. Dua orang dewasa itu pun menjawab salam Rendra, dan bertanya sedang apa dia disini. Rendra menjelaskan sesuai apa yang dikatakannya pada Nadira tadi.
Setelah itu Dafa datang mendekat, lelaki itu bersalaman dengan Jaya dan menyapa Ibu Sukma. Mereka terlibat perbincangan sejenak, sebelum akhirnya Dafa mengajak Rendra segera kembali ke pesantren.
Sukma sempat menawarkan tumpangan, tapi sayang Rendra menolak. Ia bersikeras akan naik angkot seperti biasa. Sementara itu Nadira hanya diam, sejak ibu dan pak leknya datang gadis itu tak lagi berbicara. Pada akhirnya mereka pun berpisah di depan toko.
***
Kabut cukup tebal menyelimuti pagi di desa, gerimis semalaman penuh mungkin penyebabnya. Nadira mengenakan jaket tebal yang baru dibelikan nenek untuknya, sepertinya bumi memang sudah tua, baru saja memasuki bulan Juni musim hujan telah tiba.
Sukma sibuk mengemas beberapa kue buatannya ke dalam kotak, lantas memasukkannya ke dalam mobil. Ibu dan anak itu berencana mengunjungi makam Bagas, ya… suami Sukma itu dimakamkan di pesantren lamanya atas permintaan mendiang semasa hidupnya.
“Ibu, beneran Ibu nggak mau ikut? Ibu nggak kangen sama Mas Bagas?” tanya Sukma pada mertuanya. Wanita sepuh itu tersenyum samar, garis keriput di pipinya ikut tertarik bersama bibirnya yang mengembang.
“Mana ada seorang ibu yang tidak merindukan putranya yang telah pergi mendahuluinya, tapi ibu merasa kurang enak badan, Sukma. Kamu pergi saja sama Nadira, nanti kalau sowan Kyai Sholih tolong sampaikan salam Ibu ya.”
Sukma meraih tangan ibu mertuanya, sejak kemarin tepatnya wanita itu mengeluh kurang enak badan, meski Wijaya sudah membawanya pergi urut dan minum obat warung tapi sepertinya belum juga reda.
“Baiklah, nanti kalau ibu belum enakan juga minta antar Jaya ke bidan ya.”
“Iya.”
“Dira pergi dulu ya Nek.” Nadira sungkem pada neneknya, lantas beralih pada pak lek yang setia menunggu di depan rumah. Sukma mengucap salam dan keduanya segera naik mobil dan berangkat menuju kota tempat tinggalnya dulu.
.
Nadira tersenyum senang kala mobil melaju di jalan raya dekat rumah lamanya, kenangan saat ia naik motor bersama teman-temannya berkelebat dalam pikiran. Sukma melirik putrinya yang tampak sumringah, ia tahu gadis itu pasti sangat rindu kota kelahirannya ini.
“Kita langsung ke makam ya,” ajak ibunya.
“Iya Bu, memangnya mau kemana lagi? ke rumah lama? nggak mungkin kan, orang sudah dijual. Ke rumah om, eh salah dia bukan omku, mana ada om nipu kayak gitu,” ucapnya datar. Namun menusuk ulu hati Sukma.
“Maaf ya Nak.”
Nadira reflek menatap ibunya yang masih fokus di balik kemudi, sungguh ia hanya kesal saja setiap kali teringat orang yang merebut usaha ayahnya itu, bukan ingin menyalahkan ibunya seperti dulu. Tinggal di desa dan melewati suka duka bersama membuatnya bisa berpikir lebih dewasa, semua sudah takdir sang kuasa.
“Kenapa minta maaf?”
“Karena ibu kan bisnis ayah dirampas, dan kita terlunta-lunta.” Sukma membawa mobil berbelok di sebuah halaman masjid, lalu memarkir kendaraan roda empat itu tepat di samping kiri bangunan megah itu.
Nadira menghadap ke arah sang ibu, meraih tangan ibunya yang hendak membuka seat belt.
“Ibu, kata siapa kita terlunta-lunta, hidup kita sangat bahagia bersama nenek dan pak lek. Gangguan setan, itu hanya sedikit rintangan. Toh, sekarang kita sudah bisa melewatinya kan? Maaf ya Bu, kalau dulu Nadira nyalahin ibu, saat itu Nadira belum dewasa. Nadira nggak ngerti bagaimana sulitnya mengelola bisnis ayah untuk ibu yang tidak memiliki pengalaman.
Tapi, Allah sudah ganti semuanya dengan toko roti, bukankah pelanggan ibu makin banyak. Sebentar lagi Nadira pasti bisa kuliah kan?”
Mata Sukma berkaca-kaca, hatinya terenyuh mendengar kalimat terakhir putrinya. Ada perasaan bersalah membiarkan Nadira menunda impiannya untuk menuntut ilmu di kampus impian, tak sadar Sukma meneteskan air mata. Nadira yang dikenalnya dulu menjelma menjadi gadis yang lebih bijak, ingin rasanya ia memperlihatkan semua ini pada mendiang Bagas.
“Sudah, ayo kita turun. Ayah pasti sudah tunggu kita kan Bu?” ucap Nadira, Sukma mengangguk dan keduanya bergegas turun dari mobil.
Tujuan pertama adalah pemakaman khusus milik pesantren yang terletak tepat di samping masjid ar-rayyan, di makam itu juga para alumni dan para kyai dikebumikan. Makam yang tidak terlalu besar, tapi terlihat rapi dan terawat. Bagas dulu adalah kesayangan kyai, jadi lelaki itu mendapat izin dimakamkan di sana.
Sukma dan Nadira duduk di samping makam yang posisinya berada paling ujung, mereka berdua mengucap salam dan menyapa Bagas, lantas mulai membaca surat yasin dan tahlil. Tak lupa mendoakan almarhum agar diberi terang kuburnya.
Nadira sedikit bercerita bagaimana hidup mereka selama ini pada sang ayah, ia juga mengusap dan mencium nisan ayahnya, saat itu air matanya terus bercucuran tanpa henti. Rasa kecewa kemarin seolah menguap begitu saja, rindu mengalahkan segalanya.
Sukma tersenyum, berusaha menenangkan sang putri yang sesenggukan. Ia lantas mengajak Nadira segera keluar dari pemakaman, dan segera sowan kyai Sholih sebelum hari semakin sore.
Keduanya kini berjalan beriringan di belakang masjid, letak pesantren tepat di samping keduanya. Tapi ndalem kyai Sholih ada disisi kiri masjid. Nadira terus bertanya tentang pesantren ibunya itu, bagaimana ibu menjalani hari-harinya dan betah di sana.
“Ibu kan nggak punya orang tua, jadi ya betah aja disini. Kyai Sholih sama bu nyai sudah anggap ibu seperti putrinya sendiri,” ucap Sukma mengenang masa-masa itu. Nadira mengangguk mengerti. “Kenapa? kamu mau mondok disini?”
“Nggak, ngapain. Nadira kan punya ibu dan nenek,” jawabnya enteng. Sukma terkekeh mendengar alasan yang dibuat putrinya itu.
“Sukma…”
.
Tbc