Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
"Di mana, ya, buku itu? Apa aku lupa menaruhnya?"
Alih-alih bingung menentukan pakaian apa yang cocok dikenakannya untuk acara penerimaan mahasiswa baru, Aline malah sibuk mencari buku catatannya.
Kalau tidak salah, tadi malam Aline menyimpan buku tulis itu di bawah bantalnya. Tetapi entah bagaimana buku itu mendadak raib. Aline sudah mencarinya ke mana-mana; mulai dari toilet, lemari baju, kolong meja, bahkan di tempat sampah di sudut kamarnya. Buku itu masih belum ditemukan juga.
Aline termenung lama. Sekarang sudah pukul enam lebih lima belas menit. Dua jam lagi upacara penerimaan mahasiswa baru akan dimulai. Aline tidak ingin kalau ia sampai terlambat ke kampus. Walau bagaimanapun Aline sudah bertekad untuk belajar lebih disiplin dari sebelumnya. Aline tidak ingin jika ia mendapatkan hukuman dan kesan buruk dari teman-teman, senior, dosen dan semuanya, hanya karena ia terlambat di hari pertamanya masuk kampus. Memberikan kesan pertama itu kan penting, masa belum apa-apa sudah telat dan dapat hukuman?
Walau sedikit kesal karena buku catatannya hilang, Aline mencoba untuk menenangkan diri.
Aku harus memprioritaskan kuliahku.
Aline segera berdiri, tangannya kini sibuk memilih-milih pita yang akan ia pakai hari ini. Aline sudah mencoba beberapa gaun dan akhirnya pilihannya jatuh pada sebuah rok overall bergaya retro yang dipadupadankan dengan kaos striped berleher tinggi. Ia berkacak pinggang, memiringkan kepala, lalu berputar membelakangi cermin.
"Tidak begitu jelek. Okelah, sepertinya hari ini aku harus mengubah gaya rambutku juga. Mungkin mengikat rambut ke belakang akan cocok dengan setelan bajuku ini." Aline bergumam sembari meraih sebuah pita merah panjang. Ia mulai menyisir rambutnya ke belakang dan mengikatkan pita di atasnya. Sebagai sentuhan terakhir pada penampilannya, Aline membubuhkan sedikit bedak tabur di wajahnya sebelum ia beranjak dari meja rias.
Jarak kampus dan asrama Dr. Gita sebenarnya masih terbilang dekat. Lebih kurangnya dua puluh lima kilo meter, atau setara dengan empat puluh tiga menit jika menggunakan bus kota. Akan tetapi, karena ini adalah hari pertamanya, Aline merasa begitu cemas dan takut kalau-kalau ia benar-benar terlambat pagi ini.
Dari asrama Dr. Gita, Aline hanya perlu berjalan kaki sekitar sepuluh menit menuju halte bus, belum kalau ia harus menunggu bus atau terjebak dalam drama kemacetan di jalanan Jakarta. Bukankah lebih baik berangkat pagi-pagi daripada kesiangan?
Sudah hampir terlambat. Kurasa aku terlalu lama menatap cermin.
Aline buru-buru menyambar tas gendongnya, menyampirkannya di bahu, lalu pergi keluar kamar. Ia mempercepat langkah begitu melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul 06:30.
"Gawat, gawat!" gerutu Aline, setengah berlari menuruni anak tangga.
Entah mengapa, pagi ini cuaca sedikit mendung. Padahal ini masih awal Juli. Selama ini, ramalan cuaca di ponsel dan surat kabar yang dibaca Aline tidak pernah meleset. Seharusnya sih, hari ini cuacanya cerah. Tetapi yang terjadi kali ini ... Semua benar-benar di luar jangkauan Aline. Awan-awan hitam mulai membentuk gumpalan di atas kepala Aline. Aline sedikit gusar. Bagaimana kalau hari ini hujan? Aline sungguh cemas. Ia sama sekali tidak membawa jas maupun payung untuk persiapan. Tidak mungkin juga Aline kembali ke kamarnya di lantai tiga.
Pelan, Aline membuang napas. "Aku harap semua ini bukanlah pertanda alam. Semoga tidak ada kejadian buruk yang akan menimpa aku nanti."
"Baru mau berangkat, Lin?!"
Sebuah suara di depan pekarangan membuat Aline kaget. Aline menghentikan langkahnya. Ia menengok ke asal suara, dan mendapati seorang wanita berpenampilan elegan dan dewasa sedang melambaikan tangannya pada Aline. Wanita itu duduk di dekat air mancur. Di tangannya terdapat sebotol air mineral yang tinggal setengah saja.
Amat saru—Aline menyipitkan mata, mencoba mengenali postur tubuh wanita yang terbungkus sweater hoodie dan celana training tersebut. Aline menundukkan kepalanya. Sepatu putih berlambangkan centang hitam yang dipakai wanita itu benar-benar memudahkan Aline untuk segera mengenalinya.
Tidak salah lagi. Itu Dr. Gita! Sekejap saja wajah Aline langsung berseri-seri. Aline lantas menghampiri Dr. Gita, yang sepertinya baru selesai melakukan olahraga pagi.
"Dokter ada di sini? Nggak ke Rumah sakit?"
"Enggak, Lin. Ini, kan, hari senin."
"Oh, benar juga. Maaf aku hampir lupa kalau hari ini Dr. Gita off dari rumah sakit."
"Iya, nggak apa-apa, Lin. Saya bisa maklum, kok. Kamu itu kan kawula muda yang kebanyakan lupa." Canda Dr. Gita.
Aline mengerucutkan bibirnya. "Dr. Gita jangan meledek, dong. Begini-begini juga umur aku 'kan bakal genap menjadi dua puluh enam tahun."
"Hmm... pantas saja kamu jadi sering lupa," Dr. Gita terkikik.
"Eh, apa? Sebentar, dua puluh enam? Tahun ini?" Dr. Gita tiba-tiba saja melirik Aline, matanya seolah tak percaya.
Dr. Gita memandangi Aline dengan sungguh-sungguh. "Kamu bercanda, ya, Lin?"
"Aku serius, kok, Dok. Bukannya Dokter juga sudah tahu, ya? Kita 'kan sering konsultasi." Aline membuka tasnya, mengeluarkan kartu identitas; KTP dan kartu keanggotaan asrama dari dalam dompet, lalu menunjukkan semua itu pada Dr. Gita.
"Benar juga. Sewaktu Margin membawamu ke sini, usiamu itu sudah dua puluh tahun, ya. Duh, sepertinya saya mulai ketularan lupa, nih." Dr. Gita menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal.
"Bagaimana, sih? Menjadi seorang Dokter itu enggak boleh lupa. Bahaya, tahu!" tukas Aline.
Entah bagaimana itu seperti sebuah serangan telak yang terlontar dari mulut Aline.
"Ya, mau bagaimana lagi? Harap maklum saja, Lin. Pasien saya itu kan membeludak. Kadang-kadang, kalau saya tidak mengecek identitas mereka satu per satu, bagaimana bisa saya mengingat semua usia mereka. Dokter kan juga manusia, Lin.”
"Terus..."
Aline menghela napas dan terdiam sejenak.
"Terus apa?"
Aline menggaruk kepalanya. "Itu ... Nggak jadi, deh."
"Loh, kenapa?"
Aline tersipu malu. "A, Anu ... Emm... Apa menurut Dokter, aku masih pantas buat kuliah atau enggak, sih?"
Mendadak saja pertanyaan Aline melenceng dari pembicaraan mereka.
Dr. Gita mengerutkan keningnya. Sorot matanya yang tajam mengamati tubuh Aline yang kurus, memperhatikan gerakan-gerakan tangan Aline yang tidak mau diam memainkan jari-jemarinya itu.
"Kamu masih belum siap menghadapi dunia di luar sana, Lin?" tanya Dr. Gita.
Aline menggeleng pelan. "Aku cuma minder saja, Dok. Aku mengambil program satu tahun di kampus. Tetapi saat daftar ulang, sepertinya aku salah mencentang pilihan. Aku bukannya masuk ke kelas khusus malah masuk ke kelas umum. Padahal aku ingin berada di kelas khusus program desain yang pertemuannya cuma seminggu tiga kali."
"Semua kelas kan sama saja, Lin. Apa yang menjadi masalahnya?"
"Dokter nggak tahu, sih. Orang-orang yang ada dan tergabung di kelas umum itu kan, kebanyakannya mahasiswa baru yang masih Fresh Graduated. Usianya sudah pasti berada di bawah aku. Aku gugup, Dok. Aku rasa, aku mungkin akan mendapatkan kesulitan untuk berbaur di kelas nanti. Aku bicara begini bukan tanpa alasan. Dr. Gita sebagai penasehat dan mentorku selama lima tahun ini pasti sudah tahu, dong, kalau awalnya aku masuk ke kampus itu karena terpaksa. Tapi, sekarang aku ingin mengikuti pelajaran di kampusku. Tapi, aku takut. Aku sudah mengeceknya sendiri. Dan, memang benar, di sana hanya aku, satu-satunya mahasiswi tingkat satu dengan umur paling tua. Aku takut jika nanti aku akan jadi bahan olok-olokan seperti kejadian di sekolahku sebelum-sebelumnya."
Aline menundukkan kepalanya.
"Inilah... Saya itu paling tidak suka dengan sikap kamu yang gampang pesimis seperti ini," Dr. Gita menatap Aline dan mengembuskan napasnya untuk ke sekian kali.
"Orang-orang yang usianya jauh lebih muda dari kamu itu memang banyak. Tapi, yang memiliki semangat tinggi untuk belajar seperti kamu, belum tentu ada, kan?"
Dr. Gita memandang wajah Aline lamat-lamat. "Untuk apa, sih, kamu mencemaskan sesuatu yang kenyataannya saja masih begitu samar? Lagi pula, usia itu tidak menjamin kualitas diri seseorang. Usia manusia tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk masuk ke dunia perkuliahan, Lin. Lagipula, semua orang itu berhak, kok, memperoleh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Nggak harus selalu anak-anak muda yang baru lulus SMA saja. Sekarang ini, kan, sudah bukan zaman, di mana orang-orang tua dahulu akan membatasi pendidikan anak perempuannya. Kalau orang tua dulu pasti akan mengatakan, "wanita itu mau sekolah tinggi-tinggi juga ujung-ujungnya pasti masuk ke dapur"—tapi sekarang zaman sudah berbeda. Zaman sekarang banyak, kok, orang-orang tua yang sudah mempunyai cucu tapi kemudian memutuskan untuk kuliah dan mengejar cita-cita mereka yang sempat tertunda."
"Apa itu sungguhan?"
Dr. Gita mengangguk. "Suster-suster yang menginap di asrama ini bisa menjadi bukti dari perkataan saya."
"Jadi, aku juga masih berhak untuk kuliah, kan, Dok?"
"Tentu saja, kamu berhak, Lin. Kapanpun itu. Kamu kan masih muda, kenapa kamu harus merasa cemas hanya karena usia kamu berbeda dengan orang lain? Umur dua puluh enam baru bisa masuk kampus, wajar-wajar saja, kok. Selama kamu memiliki keyakinan dan tekad yang kuat, kamu berhak mengejar dan menggenggam cita-cita kamu.”
Aline lega mendengar jawaban Dr. Gita. Syukurlah, beruntung sekali Aline dapat mengungkapkan segala kekhawatirannya ini kepada Dr. Gita.
Sebelum Aline berkata yang lain-lain lagi, Dr. Gita segera berujar. "Tahu nggak, Lin? Jujur saja, ya. Sebenarnya, saya sedikit iri loh sama kamu."
"Iri?"
Dr. Gita mengangguk. "Iya. Habisnya walaupun usia kamu mau masuk kepala tiga, tapi wajah kamu sama sekali tidak terlihat tua. Semakin hari saya lihat kamu malah semakin terlihat muda. Saya jadi iri."
"Ha? Dokter iri sama wajahku?"
Dr. Gita mengangguk, lalu tersenyum kecil. Sukses sudah caranya mengalihkan perhatian Aline.
"Kenapa Dokter harus iri? Wajahku kan biasa-biasa saja. Justru aku yang iri sama Dokter,"
"Hi... Hi... Ya, mau bagaimana lagi. Waktu usia saya dua puluh enam tahun, saya justru merasa cemas karena permukaan wajah saya ini sudah mulai dihinggapi oleh keriput-keriput halus. Bayangkan saja, Lin. Saya waktu itu masih lajang, loh. Nah, kalau waktu itu saya tidak cepat-cepat ikut perawatan, mungkin saya nggak akan pernah dilirik oleh pria yang saya suka."
"Dokter bisa saja. Yah, tapi, kalau memang perkataan Dokter itu benar, seharusnya dari dulu aku tidak dimusuhi teman-teman, kan?"
"Loh, kenapa kamu jadi sedih? Harusnya kamu itu percaya diri, Lin. Semua orang yang menjauh dari kamu, mereka itu hanya iri, sama seperti saya yang iri melihat wajah cantik kamu. Apalagi kalau kamu berdandan seperti ini—retro style, kamu jadi terlihat seperti gadis berumur tujuh belasan."
Aline tertawa kecil. "Tujuh belas dari mana? Dokter sepertinya senang sekali menyindir aku."
"Saya serius. Kamu boleh saja tidak percaya sama saya. Cuma dari kacamata saya, kamu itu punya potensi untuk menjadi The Next Dare to Dream Star. Acara yang biasanya diadakan setiap tahun pada awal semester di Trapunto. Kamu wajib deh, coba acara itu."
Aline mengangkat wajahnya, melirik Dr. Gita. Wanita ini tahu banyak tentang Trapunto. Tidak salah lagi, Dr. Gita pasti adalah orang yang sama dengan wanita yang ada di artikel itu.
Aline mangut-mangut. "Aku mau saja ikut acara itu, Dok. Tapi, jujur ... aku tidak ingin berharap lebih. Di sana, pasti banyak sekali saingannya. Banyak juga karya dari para senior yang bagus-bagus. Aku enggak begitu percaya diri."
"No! No! Kamu tidak boleh berpikir begitu. Kamu itu seharusnya bisa memberikan tantangan untuk diri kamu, supaya kamu terus berkembang. Kamu itu cerdas loh, Lin. Kamu tidak akan kalah dari senior-senior itu."
"Kenapa Dokter bisa seyakin itu?"
"Ya, karena semua yang saya ucapkan ini berdasarkan pada fakta. Pertama kali saya melihat kamu, saya sudah bisa menilai kalau kamu itu pandai. Kamu punya bakat. Juga sangat lihai memadupadankan pakaian dengan make up yang tidak terlalu mencolok, tetapi tetap enak dipandang mata. Dan, itu adalah poin penting yang sudah seharusnya dimiliki oleh seorang perancang busana. Bukan hanya pandai mendesain pakaian atau memecah pola saja, jadi seorang fashion designer juga harus bisa memadupadankan antara pakaian dengan make up yang diperlukan oleh modelnya, bukan?"
"Begitu, ya?"
"Ya. Dan—kamu harus percaya, secara natural kamu sudah memiliki satu dari beberapa hal penting yang terkadang sering dilupakan oleh seorang perancang busana."
"Dokter serius? Aku punya satu poin itu?"
Dr. Gita mengangguk. "Begini-begini, saya juga pernah menjadi pengamat Mode. Jadi, lebih kurangnya saya tahu banyak tentang dunia glamor yang akan kamu geluti itu. Saya pikir-pikir, kamu memang cocok berada di sana."
"Tetapi kan pengetahuan aku soal fashion masih cetek, Dok. Aku tidak sehebat Dokter."
"Tidak apa-apa. 'Kan, kamu juga akan mempelajarinya secara perlahan. Tapi, yah, kalau kamu mau, saya bisa mengajarkan sedikit pengetahuan yang saya miliki sama kamu. Hitung-hitung flashback ke masa lalu, saat saya masih mengajari sepupumu, Margin."
"Eh, Dokter serius?"
Dr. Gita mengangguk. "Kamu nggak percaya, ya, kalau saya bisa melakukan itu?
"Tidak. Aku percaya, kok. Aku percaya kalau Dokter itu pernah berprofesi sebagai pengamat fashion."
Dan, seorang perancang busana juga, batin Aline.
Dr. Gita tertawa. "Kamu itu mudah sekali percaya sama saya. Bagaimana kalau sebenarnya saya cuma omong kosong?"
"Dokter tidak mungkin bohong. Lagi pula, tanpa Dokter bilang pun, aku sudah tahu. Soalnya, sudah terlihat dari cara berpakaian Dokter sehari-hari."
"Masa? Memang gaya berpakaian saya itu seperti apa, Lin?"
"Eh, itu... Dokter selalu tampak memiliki selera mode yang tinggi. Fashionable. Ya, meskipun sehari-hari Dokter lebih sering memakai pakaian yang kasual, tapi penampilan Dokter itu selalu saja tampak seperti wanita yang elegan."
"Ha Ha ... Bisa saja kamu, Lin. Jadi malu saya."
"Malu kenapa, Dok?"
"Ya, habisnya, baru kali ini saya mendengar orang lain memuji gaya berpakaian saya."
"Eh, soal itu, bukannya ..." Aline tidak melanjutkan kalimatnya.
Diam-diam, Aline memperhatikan kembali wajah Dr. Gita. Mencoba mencocokkan ciri-ciri Dr. Gita dengan sosok Walgita Adisty yang dilihatnya di situs kampus kemarin. Mau dilihat dari sudut mana saja, mereka sama-sama mirip. Hanya potongan rambut serta riasan mereka saja yang tampaknya sedikit berbeda.
"Kenapa tidak dilanjutkan, Lin? Bukannya apa?"
"Ah, tidak. Bukan apa-apa kok, Dok." Aline mencoba tersenyum.
"Kalau ada yang mau kamu tanyakan, silakan saja, Lin. Tidak usah malu-malu."
"Eh, tidak, Dok. Ah, tapi ... Ngg...kalau boleh sih, aku mau minta pendapat Dokter."
"Boleh saja, mau minta pendapat soal apa?"
Aline berpikir sejenak. Mencari-cari alasan untuk membuka topik baru.
"Ah, begini ... Menurut Dokter, pakaian yang aku gunakan hari ini cocok enggak buat ke kampus? Aku masih gugup. Takutnya, aku malah salah kostum."
“Soal pakaian, ya?" Dr. Gita beranjak dari tempat duduknya, kemudian berdiri di hadapan Aline.
Dr. Gita lantas menempatkan tangannya di dagu, seolah-olah ia sedang berpikir keras. Sepasang mata tajamnya mulai meneliti; dari bawah hingga ujung kepala Aline.
Dr. Gita buka suara. "Kalau menurut saya, tidak ada yang salah dengan pakaian kamu. Perpaduan warna dengan rok yang kamu kenakan ini sudah cukup bagus. Cocok saja kok, kalau kamu pakai ini ke kampus—jadi kelihatan lebih manis. Juara kamu, Lin." jawab Dr. Gita, tersenyum sembari mengacungkan dua jempol untuk Aline.
Wajah Aline bersemu merah mendapatkan pujian dari wanita, yang ia yakini sebagai seorang desainer besar bernama Walgita Adisty itu.
Dr. Gita merangkul bahu Aline, membuat gadis itu dapat merasakan kehangatan yang begitu nyaman.
"Oh ya, ngomong-ngomong, kamu sudah mendapat kabar dari Margin?"
"Margin?"
"Iya, Margin sepupumu itu. Apa dia sudah mengabari kamu?"
"Belum. Mungkin Margin masih sibuk. Terakhir kali saat Margin mengabarku, ia sedang berkunjung ke rumah orang tuanya. Katanya sih, setelah pulang dari sana, ia akan segera mengurus visa dan paspor untuk keberangkatannya ke Italia."
"Oh, begitu rupanya. Syukurlah. Saya turut senang mendengar kabar itu."
"Memangnya Margin tidak pernah menghubungi Dokter?"
"Pernah, beberapa kali. Cuma saya belum sempat membalas pesan atau menjawab teleponnya karena saya masih sibuk."
Aline mangut-mangut. "Omong-omong, apa Dr. Gita pernah ke Italia?"
"Kamu tanya saya?"
Aline cepat mengangguk, mengiyakan.
Dr. Gita tersenyum samar. "Ya, mungkin. Saya pernah ke sana beberapa kali."
"Wah, hebat. Bagaimana ke Italia?"
"Seru. Naik pesawat, pastinya."
"Ih, padahal aku tanya serius."
Dr. Gita terbahak-bahak. Aline menggelengkan kepalanya. Beginilah sifat Dr. Gita, terlihat galak di luar tetapi sebenarnya ia murah hati dan suka sekali bercanda. Terutama ketika sedang bersama Aline seperti ini. Tingkah polahnya berbeda sekali, tidak seperti pada saat Dr. Gita berhadapan dengan pasien yang lain.
Tadinya, Aline masih ingin berbicara lebih lama bersama Dr. Gita, tetapi ia teringat pada upacara penerimaan mahasiswa yang beberapa jam lagi akan segera dimulai.
"Sayang sekali, waktunya sudah hampir mepet. Maaf, Dok. Sepertinya aku harus berangkat, nih."
"Ya, cepatlah pergi. Nanti kamu ketinggalan bus, loh." kata Dr. Gita sembari melirik arloji di tangannya.
Aline mengangguk kecil, kemudian pamit dan berlalu dari hadapan Dr. Gita.
"Jangan lupa nanti sore ya, Lin!" Seru Dr. Gita, ketika Aline sudah berada di luar gerbang.
Gadis berambut panjang itu menoleh sebentar. Senyum Aline mengembang melihat Dr. Gita melambaikan tangan, mengantar kepergiannya.
Sinar mentari lagi-lagi meredup. Mau tak mau Aline harus segera bergegas dari sana. Aline berlari-lari kecil, menyusuri jalanan berkelok, dan melintasi lapangan sepak bola yang gersang dan masuk ke gang-gang kecil di sekeliling pasar tradisional yang nantinya akan menuntun Aline menuju ke halte bus.