Permainan Tak Terlihat adalah kisah penuh misteri, ketegangan, dan pengkhianatan, yang mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar mengendalikan nasib kita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
harga dari kebenaran
Dengan gemuruh di sekitar mereka, ruangan itu mulai bergetar semakin hebat. Diana merasakan angin dingin yang tajam berembus, dan bayangan-bayangan hitam yang semula bergerak perlahan, kini bergerak lebih cepat, seperti sesuatu yang hidup, memerhatikan setiap langkah mereka.
"Apa yang sedang terjadi?" Shara berbisik dengan suara ketakutan, sambil menatap dinding yang tampaknya terbelah di beberapa tempat, membentuk retakan besar yang memancarkan cahaya merah dari dalamnya.
Diana menatap sekeliling dengan waspada. "Ini bukan hanya sebuah ujian. Ini adalah konsekuensi dari keputusan kita untuk masuk ke dalam dunia ini," katanya dengan suara pelan tapi tegas. "Apa pun yang terjadi, kita harus mencari cara untuk keluar."
Arman yang sejak tadi memegang kunci, tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang aneh pada benda itu. Kunci itu terasa lebih berat dari sebelumnya, seakan membawa beban yang sangat besar. "Kunci ini... ada sesuatu yang aneh. Sepertinya, itu bukan hanya untuk membuka pintu biasa."
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Niko, dengan nada yang semakin panik.
Diana mengamati buku yang ada di atas meja. Buku itu terbungkus kain hitam, dan di sampingnya terdapat simbol-simbol yang sama dengan yang mereka temui di dinding sebelumnya. Kunci dan buku itu jelas memiliki hubungan, dan ini adalah saat yang paling penting dalam pencarian mereka.
"Kita harus membuka buku itu," kata Diana, meski ada keraguan dalam suaranya. "Mungkin ada petunjuk lebih lanjut di dalamnya. Tetapi kita harus sangat hati-hati."
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Diana mendekati meja dan membuka kain hitam yang membungkus buku itu. Saat kain itu terlepas, halaman pertama buku itu terbuka dengan sendirinya. Tulisan kuno yang ada di halaman-halaman itu tampak bergerak seolah hidup, mengalir dengan cara yang tak bisa dijelaskan.
"Tunggu," kata Arman, mencoba membaca beberapa kata yang terpampang di halaman itu. "Ada tulisan yang bisa aku pahami. Sepertinya ini peringatan."
Diana menatap tulisan itu dengan cermat. Di sana tertulis:
"Kebenaran itu pahit, dan setiap langkah yang kalian ambil untuk menemukannya akan mengubah segalanya. Jika kalian berani melanjutkan, kalian akan kehilangan lebih dari yang kalian kira. Apa yang kalian cari, akan ditemukan, tetapi harganya tidak akan terbayar dengan mudah."
Suara berat pria itu kembali menggema di seluruh ruangan, kali ini lebih dekat dan lebih mengerikan. "Kalian telah memilih untuk mengetahui kebenaran, dan sekarang kalian harus membayar harganya. Setiap langkah yang kalian ambil, semakin dekat dengan akhir dari perjalanan kalian."
"Bagaimana kita tahu jika kita sudah siap?" tanya Shara, hampir menangis. "Kita sudah terlalu jauh."
"Jika kita berhenti sekarang," kata Diana, "kita akan terperangkap di sini selamanya. Kita harus maju."
Arman menggenggam kunci itu lebih erat, mencoba mencari cara untuk menggunakannya. "Mungkin ini adalah kunci untuk sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang lebih dari sekadar pintu."
Namun, saat kunci itu menyentuh buku, sebuah suara keras terdengar. Seperti suara besi yang menggesek batu, seluruh ruangan mulai bergetar, dan bayangan gelap semakin mendekat. Seakan mereka tidak lagi berada di dunia nyata, melainkan di dalam sebuah dimensi yang tak terbayangkan.
"Ini tidak baik," kata Rina, mulai panik. "Apa yang kita lakukan ini salah!"
"Tidak ada jalan mundur," jawab Diana tegas. "Kita harus membuka teka-teki ini atau kita akan terjebak di sini."
Dengan hati-hati, Diana meletakkan kunci itu di atas buku dan mulai memutar kunci tersebut, seperti yang terlihat pada pola yang terukir di buku. Setiap putaran kunci itu semakin membuat getaran ruangan semakin kuat, dan bayangan gelap yang mengintai mereka tampak semakin mendekat, seperti hendak menerkam mereka.
Saat kunci itu berputar sepenuhnya, buku itu tiba-tiba terbuka, dan sebuah cahaya putih yang menyilaukan terpancar keluar, menghantam mereka dengan kekuatan yang luar biasa. Mereka terlempar ke belakang, dan sesaat semua terasa gelap.
Diana membuka matanya perlahan. Ia merasa tubuhnya terangkat, seolah melayang di udara. Ketika ia melihat ke sekeliling, dunia di sekitarnya tampak berubah. Lorong gelap yang mereka lewati sebelumnya kini telah hilang, digantikan oleh ruangan yang lebih besar, penuh dengan bayangan yang bergerak cepat dan suara yang semakin nyaring. Ruangan itu tampak seperti sebuah ruang kosong yang besar, tetapi dengan atmosfer yang sangat menekan. Semua di sana tampak terbalik, seperti berada di dunia yang terdistorsi.
"Di mana kita?" tanya Rina, berusaha berdiri dengan gemetar.
"Kita... kita tidak di dunia yang sama lagi," jawab Diana, tatapannya penuh kebingungan. "Ini... ini seperti dunia lain. Tapi kenapa terasa begitu familiar?"
Tiba-tiba, suara berat pria itu terdengar lagi, lebih keras daripada sebelumnya, seolah datang dari segala arah.
"Selamat datang di dunia yang kalian pilih. Kalian telah membuka pintu yang tidak bisa ditutup lagi. Di sini, kalian akan menghadapi kebenaran yang lebih besar, dan dengan itu, kalian akan kehilangan lebih banyak lagi. Siapakah kalian sekarang, setelah mengetahui semua ini?"
Diana merasa tubuhnya lemas, tapi dia tahu satu hal dengan pasti: mereka tidak bisa mundur sekarang. Mereka sudah terlalu jauh. Kebenaran yang mereka cari mungkin tidak akan menyenangkan, tetapi itu adalah harga yang harus mereka bayar.
"Jangan khawatir," kata Diana, mencoba memberikan semangat kepada teman-temannya. "Kita sudah sampai sejauh ini. Tidak ada yang bisa menghentikan kita sekarang. Kita akan menghadapinya bersama."
Mereka berpegangan tangan, siap menghadapi apa pun yang ada di depan mereka, meski bayangan gelap itu semakin mendekat, dan dunia di sekitar mereka semakin suram.
Mereka berdiri di tengah dunia yang terdistorsi itu, terperangkap dalam ruang yang tak memiliki bentuk jelas. Dinding yang sebelumnya tampak kokoh kini tampak cair, bergerak seakan-akan tak nyata. Di kejauhan, bayangan gelap melayang tanpa arah, namun ada rasa seperti sedang diawasi—sesuatu yang tak terlihat, tetapi bisa mereka rasakan.
Diana menggenggam tangan teman-temannya lebih erat, berusaha menenangkan diri. "Kita tidak bisa lari dari ini. Kita harus mencari tahu apa yang terjadi dan bagaimana cara keluar," katanya, dengan suara yang tak sekuat yang dia harapkan. "Kita sudah begitu dekat."
"Bagaimana kita tahu ini benar-benar kebenaran?" tanya Niko, suaranya penuh keraguan. "Apakah ini yang kita cari? Atau justru jebakan besar?"
"Entahlah," jawab Diana, mengusap pelipisnya yang mulai terasa pusing. "Tapi kita tidak punya pilihan. Kita harus mencari tahu."
Langkah mereka terasa berat, seolah setiap gerakan di dunia ini membawa beban yang semakin sulit diangkat. Saat mereka melangkah lebih jauh, di tengah kegelapan itu, sebuah cahaya samar muncul di kejauhan—sebuah titik terang yang menarik perhatian mereka. Cahaya itu tampak seperti sebuah jalan keluar, atau setidaknya sebuah petunjuk.
"Ke sana," kata Arman, menunjuk ke arah cahaya itu. "Kita harus mencoba."
Mereka mulai bergerak menuju cahaya itu, tetapi semakin dekat mereka mendekati titik terang, semakin banyak bayangan gelap yang muncul di sekitar mereka. Setiap bayangan tampak menggantung di udara, menatap mereka dengan mata yang kosong. Rasanya seperti sesuatu yang hidup, mengintai mereka, siap untuk menyerang kapan saja.
"Tunggu," kata Diana, menghentikan langkahnya saat melihat sesuatu di tanah. Ada pola lagi, seperti yang mereka temui di lorong sebelumnya. Kali ini, pola itu berbentuk segitiga besar dengan garis-garis yang saling bersilang. Di tengah pola itu ada sebuah simbol yang terlihat sangat familiar, seolah mereka sudah pernah melihatnya sebelumnya.
"Ini..." kata Diana pelan, "Ini simbol yang sama dengan yang ada di buku tadi."
"Kenapa simbol itu terus muncul?" tanya Niko, mendekati pola itu dengan ragu. "Apa artinya?"
Diana menunduk, mencoba mengingat sesuatu yang sempat dia lihat dalam buku tersebut. "Simbol ini adalah petunjuk," katanya, "Mungkin kita harus menyusunnya dengan benar untuk membuka jalan keluar."
"Jadi, kita harus memecahkan teka-teki ini?" tanya Shara dengan nada yang tegang. "Bagaimana cara kita melakukannya?"
Diana melihat sekeliling, kemudian menatap simbol itu sekali lagi. "Kita harus mengikuti petunjuk yang ada di sini, seperti pola sebelumnya. Tapi kali ini, sepertinya kita perlu menyusun simbol-simbol ini dengan benar."
Saat Diana berjongkok untuk memeriksa lebih dekat, suara berat pria itu kembali terdengar, lebih keras dari sebelumnya, memecah keheningan yang sudah semakin tegang.
"Sudah terlalu lama kalian mencari kebenaran," suara itu bergema. "Sekarang, kalian akan tahu apa yang terjadi ketika manusia terlalu tamak untuk mengetahui lebih banyak. Setiap pilihan kalian membawa konsekuensi yang lebih besar."
Tanpa disadari, bayangan gelap itu mulai bergerak lebih cepat, mendekati mereka dengan cara yang mengerikan, seolah siap untuk menerkam. Keadaan semakin suram, dan tekanan yang mereka rasakan semakin berat.
"Jangan biarkan itu menghalangi kita!" kata Diana, berteriak agar teman-temannya tetap fokus. "Kita harus memecahkan teka-teki ini sekarang juga!"
Mereka mulai mencoba menyusun simbol-simbol itu, menghubungkan garis-garis dengan hati-hati. Setiap kali mereka salah, pola itu memudar, dan bayangan gelap di sekitar mereka semakin dekat. Namun, ketika mereka akhirnya menemukan kombinasi yang tepat, suara yang keras menggelegar terdengar, dan simbol-simbol itu mulai bersinar terang.
"Cepat! Kita harus keluar sekarang!" seru Arman, mengambil langkah maju ketika dinding yang sebelumnya mengelilingi mereka perlahan terbuka, menciptakan sebuah jalan menuju cahaya yang semakin terang.
Namun, saat mereka melangkah maju, sesuatu yang aneh terjadi. Seakan-akan mereka terjebak dalam waktu yang tidak bergerak. Mereka bergerak maju, tetapi langkah mereka tidak membawa mereka ke mana-mana.
"Kenapa kita tidak bisa bergerak?" tanya Rina dengan panik, melihat sekeliling, mencari tahu apa yang salah.
Diana merasa sesuatu yang tidak biasa terjadi. "Kita terjebak dalam jebakan waktu. Sesuatu di dalam dunia ini telah memanipulasi ruang dan waktu."
"Tapi kita sudah menemukan simbol itu," kata Niko, terlihat kebingungan. "Kita sudah benar, kan?"
Diana menatap simbol itu sekali lagi. "Simbol ini... sepertinya tidak hanya berfungsi sebagai petunjuk keluar. Ini adalah kunci untuk mengatasi jebakan waktu."
"Jadi, kita harus menyelesaikan teka-teki itu dengan benar agar kita bisa keluar?" tanya Arman.
Diana mengangguk. "Ya, kita harus memecahkan teka-teki ini dengan sempurna. Ini bukan hanya tentang menyusunnya, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami apa yang terkandung di dalamnya."
Dengan hati-hati, Diana mencoba menganalisis pola itu lebih dalam. Tiba-tiba, sesuatu yang mengejutkan terlintas dalam pikirannya. "Mungkin kita harus memahami makna di balik simbol-simbol ini. Ini bukan hanya gambar, tapi representasi dari perjalanan kita. Segitiga ini adalah pilihan, garis-garis ini adalah waktu, dan titik-titik ini adalah jalan yang kita pilih."
Seakan-akan menanggapi kata-katanya, bayangan-bayangan gelap itu menghilang seketika, dan jalan keluar yang mereka cari mulai terlihat dengan jelas. Ruangan yang semula penuh dengan bayangan kini perlahan berubah menjadi terang, dan mereka bisa melihat pintu yang terbuka lebar, menanti mereka.
"Ini dia," kata Diana, tersenyum lega. "Kita sudah berhasil."
Namun, saat mereka melangkah ke depan, suara pria itu kembali terdengar, kali ini lebih dingin dan penuh amarah.
"Kalian pikir kalian sudah menang? Belum selesai, anak-anak. Kebenaran yang kalian cari... hanya permulaan."
Mereka terhenti sejenak. Di balik pintu yang terbuka itu, kebenaran yang lebih besar menunggu mereka, dan ujian berikutnya akan lebih berat. Mereka baru saja memasuki dunia yang lebih dalam dari apa yang mereka bayangkan.