NovelToon NovelToon
PARA PENCARI

PARA PENCARI

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Spiritual / Reinkarnasi / Rumahhantu / Kumpulan Cerita Horror / Hantu
Popularitas:461
Nilai: 5
Nama Author: F3rdy 25

Malam itu, kabut tebal menyelimuti sebuah desa terpencil di lereng gunung.

Suara angin berdesir membawa hawa dingin yang menusuk tulang.

Di tengah sunyi, langkah empat orang terlihat menuju sebuah bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan.

Nur, seorang editor sekaligus kameraman, mengangkat kameranya, siap menangkap setiap detik keangkeran yang tersembunyi di balik bayang-bayang.

Di sampingnya, Pujo, pria dengan kemampuan supranatural, merasakan getaran aneh sejak pertama kali mereka menjejakkan kaki di tempat itu.

"Ini bukan tempat biasa," gumamnya dengan nada serius.

Ustad Eddy, seorang religius dan spiritualis, melangkah mantap dengan tasbih di tangannya, siap mengusir kegelapan dengan doa-doanya.

Sementara Tri, yang dikenal sebagai mediator, berdiri di antara mereka, mempersiapkan dirinya untuk berhadapan dengan entitas dari dunia lain.

Mereka bukan sekadar pemburu tempat angker, tetapi penjelajah alam gaib yang menyuguhkan kisah-kisah misteri dan horor yang ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

JEJAK DI BALIK BAYANGAN

Kembali ke desa setelah melarikan diri dari gua yang nyaris runtuh, suasana di sekitar mereka terasa lebih mencekam daripada sebelumnya. Angin dingin berhembus membawa aroma lembab dari dedaunan basah, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Matahari telah tenggelam di balik bukit, meninggalkan langit malam yang gelap tanpa bintang, hanya diterangi oleh sinar bulan samar yang bersembunyi di balik awan tebal.

Desa itu tampak sunyi. Tidak ada satu pun lampu rumah yang menyala, seolah-olah penghuninya telah menghilang begitu saja. Keheningan ini tidak wajar. Bahkan suara binatang malam yang biasa menghiasi hutan sekitar pun lenyap, meninggalkan suasana yang lebih menegangkan. Nur, Pujo, Ustad Eddy, dan Tri berjalan pelan, hati-hati menginjakkan kaki mereka di jalan berdebu yang membawa mereka menuju bagian terdalam desa.

"Apa yang terjadi di sini?" bisik Nur, yang merasa aneh dengan keheningan ini.

Pujo, yang selalu sensitif terhadap energi gaib, segera berhenti, pandangannya menyapu seluruh penjuru desa. "Ada sesuatu yang tidak beres. Energinya berubah drastis," katanya pelan. Tangannya dengan erat menggenggam tongkatnya, yang selalu ia gunakan sebagai medium untuk merasakan keberadaan makhluk halus.

"Tempat ini sudah tidak seperti yang kita tinggalkan sebelumnya," tambah Ustad Eddy. Tasbih di tangannya bergerak pelan saat ia merapalkan doa-doa pelindung dalam hati. Sebagai seorang spiritualis, dia tahu bahwa keheningan seperti ini bukanlah pertanda baik.

Tri, yang bertugas sebagai mediator, mulai merasakan getaran aneh di tanah yang mereka pijak. "Kita harus berhati-hati," katanya, memecahkan keheningan. "Ada sesuatu di sini... sesuatu yang menyembunyikan dirinya."

Mereka melanjutkan perjalanan menuju pusat desa, di mana rumah kepala desa berada. Bangunan kayu tua itu masih berdiri kokoh, tetapi aura di sekitarnya terasa lebih dingin, seolah-olah energi yang gelap telah menyelimuti seluruh tempat. Pujo melangkah maju lebih dulu, merasakan adanya perubahan atmosfer yang semakin mencekam.

“Pujo, apa yang kau rasakan?” tanya Nur, mencoba memastikan bahwa apa pun yang mereka hadapi bisa diantisipasi. Kamera yang dia bawa diangkatnya perlahan, menangkap setiap gerakan di sekitar.

“Ada kehadiran... tetapi sulit untuk diidentifikasi. Tidak seperti makhluk-makhluk yang biasa kita hadapi. Ini lebih kuat... dan lebih tua.” Pujo berhenti di depan pintu rumah kepala desa, tangannya mengusap gagang pintu yang terbuat dari besi. “Apa pun itu, kita harus bersiap.”

Ustad Eddy mengangguk, tangannya memegang erat tasbih. “Doa-doa kita akan melindungi kita, Insya Allah.”

Mereka perlahan membuka pintu, dan di dalam rumah itu, kegelapan tampak lebih pekat. Cahaya bulan dari jendela yang retak hanya cukup untuk menerangi sebagian kecil ruangan. Di sudut, sebuah meja kayu dengan kursi terlihat terbalik, menandakan adanya pertarungan atau kejadian yang tidak biasa.

“Kepala desa... seharusnya dia ada di sini,” kata Nur, setengah berbisik. Dia ingat bahwa mereka terakhir kali bertemu kepala desa di tempat ini sebelum mereka berangkat ke gua. Pria tua itu memberitahu mereka tentang mitos Sang Penjaga Kegelapan, dan kini, kehadirannya pun menjadi misteri.

Pujo berjalan menuju sudut ruangan, matanya tajam memperhatikan jejak yang tersisa di lantai kayu. “Lihat ini,” katanya, menunjuk bekas goresan aneh di lantai. “Jejak ini... bukan jejak manusia. Makhluk apa pun yang ada di sini, ia membawa sesuatu yang kuat.”

Tri mendekat, memeriksa jejak yang dimaksud. “Ini bukan jejak biasa,” katanya. “Aku merasakan energi yang terhubung dengan dunia lain. Apa pun yang membuat tanda ini, memiliki kekuatan yang kita belum pernah temui.”

“Sudah kubilang, kita menghadapi sesuatu yang lebih besar,” gumam Pujo. “Tempat ini... gua itu... semuanya terhubung.”

Mereka memutuskan untuk menjelajahi setiap sudut rumah kepala desa, mencari petunjuk atau tanda-tanda keberadaan makhluk yang mereka rasakan. Namun, setiap ruangan yang mereka masuki semakin memperjelas bahwa desa ini tidak lagi aman. Beberapa benda jatuh dengan sendirinya, pintu-pintu berderit meski tak ada angin, dan suara samar seperti bisikan terdengar dari dinding-dinding rumah.

Tiba-tiba, dari lantai atas terdengar suara langkah kaki. Suara itu sangat pelan, hampir tak terdengar, namun cukup untuk membuat mereka semua terdiam sejenak.

“Ada sesuatu di atas,” bisik Nur, matanya terarah ke tangga yang menghubungkan lantai bawah dengan loteng rumah. “Kita harus cek.”

Pujo mengangguk, dan mereka perlahan menaiki tangga dengan hati-hati. Setiap pijakan kayu di bawah kaki mereka berderit, menambah suasana mencekam yang sudah begitu kental. Saat mereka tiba di depan pintu loteng, Nur yang berada di depan mengarahkan kameranya, siap merekam apa pun yang ada di balik pintu tersebut.

Ustad Eddy berdiri di samping Nur, siap dengan doa di ujung lidahnya. Pujo dan Tri berjaga di belakang, merasakan getaran energi yang semakin kuat dari balik pintu.

Dengan napas yang tertahan, Nur perlahan membuka pintu loteng. Ruangan itu gelap, hanya sedikit diterangi oleh sinar bulan yang masuk melalui celah-celah jendela kecil di ujung ruangan. Namun, yang membuat mereka terkejut adalah sosok kepala desa yang duduk membungkuk di tengah ruangan. Pria tua itu tampak tidak bergerak, punggungnya menghadap mereka, dan sekitarnya dipenuhi dengan simbol-simbol aneh yang tergambar di lantai.

“Kepala desa?” panggil Nur pelan, suaranya sedikit bergetar.

Tidak ada respons.

Pujo melangkah maju, tapi saat dia hendak mendekati sosok itu, Tri menariknya kembali. “Tunggu, Pujo,” kata Tri dengan nada tegas. “Ada sesuatu yang salah di sini.”

Mereka memeriksa simbol-simbol di lantai, yang tampak terbuat dari darah yang sudah mengering. Bentuknya bukanlah simbol yang mereka kenali, namun energi gelap yang memancar dari gambar-gambar tersebut terasa begitu nyata.

“Ini semacam ritual,” kata Ustad Eddy, berbisik sambil memperhatikan detil-detil simbol itu. “Kepala desa mungkin mencoba melakukan sesuatu yang dia tidak pahami. Atau... mungkin dia dipaksa.”

Tiba-tiba, kepala desa itu bergerak. Tubuhnya bergetar aneh, seolah-olah ada sesuatu di dalam dirinya yang sedang berusaha keluar. Suara erangan pelan terdengar dari mulutnya, lalu kepalanya perlahan menoleh ke arah mereka.

Matanya... kosong. Hanya kegelapan yang menyelimuti bola matanya, seolah-olah jiwanya telah diambil oleh sesuatu.

“Kita harus mundur,” kata Pujo dengan cepat, merasakan energi yang semakin mencekam di ruangan itu.

Tapi sebelum mereka bisa bereaksi, kepala desa itu tiba-tiba berdiri dengan gerakan yang tidak wajar, seolah-olah tulang-tulangnya tidak lagi berfungsi seperti manusia biasa. Dari mulutnya, suara aneh seperti bisikan bergaung, dan tanpa peringatan, dia menyerang dengan kecepatan yang tak terduga.

Nur, yang berada paling dekat, dengan sigap menghindar. Kamera di tangannya hampir jatuh, namun dia berhasil mempertahankannya. Ustad Eddy segera merapalkan doa, tasbih di tangannya bergerak cepat. Pujo mengangkat tongkatnya, mencoba memblokir serangan kepala desa yang terus mendekat.

“Kita tidak bisa melawan ini secara fisik,” teriak Tri, “kita harus menghentikannya dengan cara lain!”

Ustad Eddy terus berdoa, mencoba menenangkan energi jahat yang merasuki kepala desa. Tapi kekuatan yang merasuki pria tua itu terlalu besar. Dia menyerang lagi, kali ini mengarahkan cakar yang tajam ke arah Pujo.

Pujo berhasil menghindar, namun sesuatu yang tidak mereka duga terjadi—di belakang kepala desa, muncul sosok bayangan besar. Bayangan itu tampak sebagai entitas gaib yang mengendalikan kepala desa, sebuah makhluk yang hanya bisa dilihat oleh mata batin.

“Inilah dia...” bisik Pujo, terkejut dengan kehadiran makhluk itu. “Ini bukan sekadar roh biasa. Ini adalah kekuatan yang kita hadapi sejak dari gua.”

Mereka semua segera menyadari bahwa makhluk itu adalah kunci dari segala kejadian aneh di desa ini. Ritual yang dilakukan kepala desa, simbol-simbol di lantai, dan hilangnya penduduk desa—semuanya terhubung dengan entitas ini.

“Kita harus menghancurkan koneksinya,” kata Ustad Eddy, tatapannya tajam

pada simbol-simbol di lantai. “Jika kita bisa memutus ikatan ini, mungkin kita bisa menyelamatkan kepala desa.”

Pujo, Nur, dan Tri setuju. Dengan cepat mereka mulai mencari cara untuk menghapus simbol-simbol tersebut, sementara Ustad Eddy terus merapalkan doa dengan intensitas yang semakin meningkat. Makhluk bayangan itu semakin gelisah, dan kepala desa yang dikendalikan mulai bergerak lebih liar, menyerang dengan kekuatan yang semakin tidak terkontrol.

“Cepat!” teriak Pujo, ketika ia melihat kepala desa hampir menyerang Nur lagi.

Dengan satu gerakan cepat, Tri berhasil merusak salah satu simbol utama di lantai. Seketika itu juga, kepala desa berhenti bergerak, tubuhnya jatuh ke lantai dengan keras. Makhluk bayangan itu mengeluarkan suara jeritan yang menggetarkan seluruh ruangan sebelum akhirnya menghilang, meninggalkan mereka semua dalam keheningan yang berat.

Mereka semua terdiam, napas mereka tersengal-sengal. Kepala desa tergeletak di lantai, masih hidup, namun tidak sadarkan diri. Simbol-simbol di lantai mulai memudar, seolah-olah kekuatan yang mengikatnya telah hilang.

“Kita berhasil...” bisik Ustad Eddy, terengah-engah. "Tapi ini baru permulaan."

Mereka tahu bahwa apa yang mereka hadapi malam ini hanya sebagian kecil dari ancaman yang lebih besar di luar sana. Pertarungan belum usai, dan bayang-bayang dari Sang Penjaga Kegelapan masih mengintai di balik setiap sudut gelap desa ini.

1
Amelia
betul tuh.....
Yurika23
aku mampir ya thor....enak di baca...
☠️F3r57☠️: terimakasih
total 1 replies
Amelia
aku mampir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!