PARA PENCARI

PARA PENCARI

LANGKAH AWAL

Udara di desa itu terasa berbeda sejak mereka tiba. Bukan sekadar dingin yang menggigit, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang menekan, membuat setiap helaan napas terasa berat. Desa kecil di lereng gunung ini tampak seperti tempat yang ditinggalkan oleh waktu bangunan-bangunan tua dengan cat yang sudah mengelupas, jalanan berbatu yang dipenuhi lumut, dan suara-suara samar dari binatang hutan yang terasa semakin jauh.

"Nur, kau yakin tempat ini aman?" tanya **Tri**, suaranya terdengar sedikit ragu. Dia bukan tipe orang yang mudah merasa takut, namun tempat ini memberikan kesan yang berbeda. Matahari sudah tenggelam, dan hanya ada senter serta lampu kamera Nur yang menjadi penerang di tengah kegelapan.

Nur, yang berada di depan, menoleh sambil tersenyum kecut. "Aman atau tidak, yang jelas kita harus membuat konten yang menarik. Kita sudah dapat banyak laporan soal desa ini, tentang sosok-sosok yang sering muncul di malam hari."

**Pujo** menyipitkan mata, fokusnya seakan tertuju pada sesuatu yang tak kasatmata. "Bukan hanya sosok. Aku merasakan energi di sini... lebih kuat dari biasanya." Dia meraba-raba tongkat yang selalu dibawanya—tongkat kayu yang dianggapnya sebagai alat bantu untuk berinteraksi dengan dunia gaib. "Kita harus hati-hati."

**Ustad Eddy**, yang selalu menjadi pilar ketenangan di dalam tim, mengangguk setuju. "Ingat untuk selalu berdzikir, jaga hati dan niat. Tempat-tempat seperti ini bisa menjadi sarang makhluk yang tak suka kehadiran manusia." Tasbih di tangannya terus bergerak, setiap butirnya dilalui oleh jarinya yang kokoh namun lembut.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah tua di ujung desa, bangunan yang katanya menjadi pusat keangkeran. Rumah itu sudah lama ditinggalkan, setelah pemiliknya dikabarkan hilang secara misterius. Penduduk desa enggan bicara banyak soal rumah itu, seolah-olah membahasnya saja bisa mengundang kesialan.

Rumah itu berdiri dengan megah, meski usang, di tengah lahan yang luas namun tidak terawat. Pagar besi yang berkarat, tanaman liar yang tumbuh setinggi pinggang, dan jendela-jendela yang sebagian besar sudah pecah. Saat mereka mendekat, angin dingin berembus semakin kuat, seakan memperingatkan mereka untuk tidak melanjutkan.

"Baik, kita mulai syuting di sini," kata Nur sambil mengarahkan kameranya ke rumah. "Pujo, kau duluan. Ceritakan apa yang kau rasakan."

Pujo melangkah maju, wajahnya serius. Dia menutup mata sejenak, menghela napas panjang, lalu membuka kembali matanya. "Rumah ini... menyimpan lebih dari sekadar kenangan buruk. Ada sesuatu yang berdiam di sini, sesuatu yang mengawasi kita."

"Jangan bilang kalau kau mulai ketakutan," canda Tri, mencoba meredakan ketegangan.

Pujo tersenyum tipis. "Bukan takut, tapi waspada. Makhluk di sini tidak biasa. Mereka cerdas."

Mereka berjalan menuju pintu depan rumah. Tiba-tiba, suara kayu berderak terdengar dari dalam rumah, seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam. Nur langsung mengangkat kameranya, berharap menangkap sesuatu yang bisa menjadi bahan tayangan.

"Siap-siap, semuanya," bisik Ustad Eddy. "Kita masuk dengan doa."

Mereka berhenti sejenak di depan pintu, Ustad Eddy memimpin doa sebelum akhirnya mereka membuka pintu yang berat dan berderit keras. Udara lembap dan pengap menyeruak, membuat mereka hampir tersedak. Cahaya senter menyoroti ruang tamu yang luas, penuh dengan perabotan tua dan debu tebal.

"Ini... seperti ruang waktu yang terhenti," gumam Tri sambil melangkah masuk.

Pujo mengangguk setuju, tetapi matanya terus bergerak, menelusuri setiap sudut. "Ada sesuatu di sini, mungkin di lantai atas."

Tanpa membuang waktu, mereka menuju tangga yang mengarah ke lantai dua. Tangga kayu itu berderit di setiap langkah mereka, seolah-olah mengancam akan runtuh. Saat mereka sampai di lantai atas, suasana semakin mencekam. Ada beberapa kamar di sini, pintu-pintu tertutup rapat.

Nur memutuskan untuk membuka pintu pertama. Di dalam, hanya ada sebuah tempat tidur tua yang lapuk, dan jendela yang menghadap ke halaman belakang. "Tidak ada apa-apa di sini," katanya, meski hatinya mengatakan hal sebaliknya.

Mereka berpindah ke kamar berikutnya. Saat pintu dibuka, senter Pujo menangkap sesuatu—sebuah bayangan yang bergerak cepat melintasi ruangan. "Apa itu?" tanya Tri dengan suara gemetar.

Pujo segera masuk ke ruangan, matanya tajam, berusaha mengikuti pergerakan bayangan itu. Namun, ruangan itu kosong, hanya sebuah lemari tua yang berdiri di sudut. "Ini tidak benar," gumamnya.

Tiba-tiba, lemari itu bergoyang pelan, seperti ada yang mencoba keluar dari dalam. Nur langsung mengarahkan kameranya, sementara Ustad Eddy dan Tri bersiap dengan doa-doa di bibir mereka.

Lemari itu berhenti bergoyang, namun suasana menjadi semakin tegang. Pujo melangkah mendekat, tangannya gemetar di atas tongkatnya. "Aku akan membukanya," katanya perlahan.

Dengan hati-hati, dia meraih gagang pintu lemari dan menariknya. Pintu terbuka perlahan, dan yang ada di dalam hanyalah pakaian-pakaian tua yang sudah berdebu.

"Ada sesuatu yang tidak terlihat," bisik Pujo. "Dia tidak mau menampakkan diri sepenuhnya."

Nur terus merekam, meski rasa dingin menjalar dari punggungnya hingga tengkuk. Suara aneh mulai terdengar, samar namun jelas, seperti bisikan di antara mereka. Ustad Eddy merapatkan sorban di kepalanya, wajahnya tegang. "Kita harus keluar dari sini. Jangan biarkan diri kita terpengaruh."

Namun, sebelum mereka bisa melangkah keluar, sesuatu yang tak terduga terjadi. Salah satu jendela di ujung ruangan pecah dengan keras, serpihan kaca beterbangan ke mana-mana. Angin dingin tiba-tiba menerobos masuk, membuat mereka terhuyung.

"Apa ini?" Tri berteriak, matanya membelalak melihat fenomena aneh di depan mereka. Dari celah jendela yang pecah, mereka bisa melihat sosok hitam berdiri di halaman belakang, tak bergerak, hanya memandang ke arah mereka.

Pujo yang pertama kali menyadarinya. "Itu dia," katanya dengan suara rendah. "Makhluk itu... mengawasi kita sejak awal."

"Keluar sekarang!" perintah Ustad Eddy. "Jangan biarkan kita terjebak dalam pengaruhnya."

Dengan cepat mereka bergegas keluar dari kamar, berlari menuruni tangga dengan napas terengah-engah. Namun, begitu mereka mencapai lantai bawah, pintu depan yang tadinya terbuka kini tertutup rapat.

"Astaga, pintunya!" Nur berusaha menariknya, namun pintu itu tak bergeming.

"Tidak mungkin," gumam Tri. "Pintu ini tidak bisa tertutup sendiri."

Sementara mereka mencoba membuka pintu, Pujo berdiri di tengah ruang tamu, matanya tertuju pada sesuatu yang tak terlihat. "Dia tidak ingin kita pergi," katanya pelan.

Ustad Eddy merapal doa-doa, berharap bisa melemahkan pengaruh makhluk yang menguasai rumah itu. "Kita harus tetap tenang. Jangan biarkan rasa takut menguasai kita."

Namun, rasa takut semakin sulit dikendalikan saat suara-suara aneh mulai terdengar dari setiap sudut ruangan—suara langkah kaki, bisikan samar, bahkan tawa lirih yang terdengar menyayat. Nur tetap merekam, meskipun tangan dan kakinya gemetar. Ini adalah momen yang paling ditunggu dalam konten mereka, namun juga yang paling berbahaya.

"Tunggu," kata Pujo tiba-tiba. "Aku tahu bagaimana cara keluar."

Dia berjalan menuju sudut ruangan, tempat ada sebuah cermin besar yang tergantung di dinding. "Cermin ini... adalah pintu."

Ustad Eddy menghentikan doanya dan menatap cermin itu dengan ragu. "Pintu menuju apa?"

"Menuju keluar," jawab Pujo. "Tapi bukan jalan yang biasa."

Tanpa berpikir panjang, Pujo meletakkan tangannya di permukaan cermin dan menarik napas dalam. "Ikuti aku, cepat!"

Dengan langkah pasti, dia melangkah masuk ke dalam cermin, seakan-akan permukaannya adalah air yang tenang. Nur, Tri, dan Ustad Eddy saling berpandangan sebelum akhirnya mengikuti Pujo, melangkah masuk ke dalam cermin yang tampak seperti pintu menuju dunia lain.

Saat mereka melangkah keluar dari cermin, mereka menemukan diri mereka berdiri di tengah halaman rumah yang sama, namun udara terasa berbeda. Tidak ada lagi rasa dingin yang menekan, dan suara-suara aneh itu menghilang.

"Kita keluar," bisik Nur, hampir tak percaya.

Namun, Pujo tahu, ini baru permulaan. "Tempat ini tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja. Kita harus menyelesaikan apa yang dimulai."

Malam itu mereka berhasil keluar, tetapi keangkeran rumah itu masih terasa. Petualangan mereka baru saja dimulai, dan tantangan yang lebih besar menunggu di depan.

Terpopuler

Comments

Yurika23

Yurika23

aku mampir ya thor....enak di baca...

2024-10-05

1

Amelia

Amelia

aku mampir Thor...

2024-10-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!