Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengejutkan
Setelah berjalan sejauh satu kilometer, Kian akhirnya sampai di hotel. Kakinya terasa berat, namun langkahnya terus maju dengan tatapan kosong. Begitu memasuki lobi, Kian tidak memperhatikan sekelilingnya, hanya fokus untuk mencapai kamarnya. Kepalanya masih berputar akibat perkelahian dan luka di hidung yang terasa ngilu.
Tanpa sadar, Kian mengambil lift dan memasuki kamar yang salah. Suara pintu tertutup di belakangnya tidak membuatnya waspada. Kamar itu terlihat seperti kamarnya—tata letaknya sama, namun ada sesuatu yang berbeda. Di balkon, seorang wanita muda berdiri memandangi pemandangan malam kota London dari lantai 27. Kian hanya melihat sosok itu sekilas dan langsung merasa ingin menyandarkan bebannya.
Tanpa berpikir panjang, Kian mendekat dan memeluk wanita itu dari belakang.
“Kamu? Kamu siapa!” seru wanita itu kaget, tubuhnya langsung memberontak, namun Kian menahannya dengan erat.
“Izinin gua buat meluk lu sebentar... Ra,” ucap Kian dengan suara parau. Kepalanya terasa penuh, dan kesedihan meresap dalam suaranya.
Wanita itu tiba-tiba terdiam. “Kian?” suaranya berubah lembut. Keira akhirnya mengenali sosok yang memeluknya.
“Kak, please, gua cuma pengen tenangin diri,” ucap Kian dengan penuh harap, suaranya terdengar putus asa.
Keira menarik napas dalam, menahan emosi yang tiba-tiba menyeruak dalam dirinya. “Okay, Ian... tapi lepas dulu. Aku pengen lihat muka kamu, dan... pelukanmu terlalu erat, aku sesak,” ucap Keira pelan, mencoba menjaga ketenangannya meski jantungnya berdetak kencang.
Kian perlahan melepas pelukannya. Mereka berdua berdiri saling berhadapan di bawah sorot cahaya malam. Keira mengangkat tangannya, menyentuh pipi Kian yang terlihat lelah dan sedih. Senyumnya tipis, namun penuh pengertian.
“Kamu kenapa, Ian?” bisik Keira pelan, tatapannya lembut.
Tanpa berkata apa-apa, Kian menariknya kembali dalam pelukan, kali ini lebih lembut. Keira tak berkata apa-apa, hanya membalas pelukan itu dengan mengelus lembut punggung Kian, seolah berusaha menenangkan badai emosi yang sedang mengamuk di dalam dirinya.
Waktu seolah berhenti bagi mereka berdua. Hanya suara angin malam yang berhembus dari balkon yang menemani keheningan tersebut. Kian mempererat pelukannya, seakan mencari perlindungan di dalamnya.
Setelah beberapa saat, Keira merasa pegal. “Ian, kita duduk aja ya... kaki aku pegel, dan di sini juga mulai kerasa dingin,” ucap Keira lembut, matanya menatap Kian dengan perhatian.
“Hehe...” Kian terkekeh kecil, meskipun nada suaranya masih terdengar lelah.
Tanpa peringatan, Kian mengecup pipi putih Keira, sebuah kecupan singkat yang membuat Keira membeku di tempat. Kejadian itu berlangsung begitu cepat, namun cukup untuk membuat jantungnya berdegup kencang.
“Kak, katanya pegel,” Kian menarik tangannya, memimpin Keira ke sofa di dalam kamar.
Mereka duduk bersebelahan, suasana di antara mereka terasa hangat meskipun masih diliputi kecanggungan. Tanpa mereka sadari, dari kejauhan, Deren dan George mengamati dari bawah, sementara melalui video call, Devin dan Norman menyaksikan adegan tersebut dengan diam.
“Kayaknya semua berjalan sesuai rencana deh, Man,” ucap Devin, memecah keheningan yang menyelimuti mereka.
“Bener,” sahut Norman sambil mengangguk. “Tapi kalo mereka beneran ngelakuin hal itu gimana, Vin?”
......................
Keesokan harinya
Keira perlahan membuka matanya. Cahaya matahari yang menerobos melalui tirai tipis membuatnya menyipitkan mata. Ia mendapati dirinya masih duduk di ujung sofa, tubuhnya terasa kaku, terutama di bagian paha. Merasa ada yang aneh, Keira menundukkan kepalanya dan melihat apa yang membuatnya sulit bergerak.
"Pantesan kaku," gumamnya pelan. Kian ternyata tertidur pulas dengan kepala beristirahat di atas pahanya, seperti menggunakan pahanya sebagai bantal.
"Astaga, Ian..." Keira menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Dengan lembut, ia mulai mengganggu ketenangan Kian, mencubit pipinya pelan dan mengacak-acak rambutnya. Namun, semua usahanya sia-sia. Kian tetap terlelap.
“Ian!” serunya tepat di telinga Kian, berharap suaranya cukup untuk membangunkan pria itu.
“Ish...” gumam Kian, menggeliat sejenak sebelum kembali tenggelam dalam tidurnya.
Keira mulai kehilangan kesabaran. “Ayo, bangun!” Ia mengguncang tubuh Kian dengan lebih kuat. “Bangun dulu, kita pindah ke kasur biar lebih nyaman.”
Kian akhirnya membuka sebelah matanya dengan malas. “Tapi... tidur bareng ya,” ucapnya dengan suara serak. Tanpa berpikir panjang, Keira mengangguk setuju, lebih ingin segera mengakhiri situasi aneh ini daripada memikirkan implikasinya.
Kian bangkit dari tempatnya, mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya. Tiba-tiba, dengan gerakan cepat yang tak disangka-sangka, Kian menggendong Keira.
“Eh, Ian! Apa-apaan sih?” Keira kaget, tapi tak bisa menahan tawa kecil yang keluar.
Kian hanya tersenyum tipis, kemudian dengan lembut menurunkannya ke atas kasur. Ia berbaring di samping Keira, menghadapnya dengan tenang.
"Kak," panggil Kian pelan, suaranya sedikit lebih tenang sekarang.
“Hmm?” sahut Keira, sedikit gugup dengan kedekatan mereka.
“Kakak udah punya pacar?” tanya Kian tiba-tiba.
Keira menatapnya, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Belum,” jawabnya singkat.
“Kenapa belum?” Kian menyipitkan mata, penasaran.
“Papa sama Mama belum ngizinin,” ucap Keira sambil tersenyum tipis. “Katanya aku masih kecil.”
Kian terdiam sejenak, mencoba mencerna jawaban itu. “Hah? Masih kecil? Om Norman sama Tante Wendy buta apa gimana? Atau mereka terlalu sayang sama kakak?”
Keira hanya tertawa pelan mendengar gumaman Kian. Ada sedikit kehangatan di antara mereka, meskipun situasinya agak canggung.
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Kian kembali memejamkan matanya, wajahnya sedikit lebih rileks sekarang. Keira memperhatikannya sejenak, tidak yakin apakah Kian benar-benar tertidur atau hanya menikmati keheningan itu. Yang pasti, di dalam hatinya, Keira merasakan sesuatu yang hangat saat melihat sosok Kian yang tampak begitu damai di hadapannya.
Ia pun memutuskan untuk berbaring lebih nyaman di sebelahnya, membiarkan ketenangan pagi itu menelan semua kegelisahan yang tersisa.
......................
Beralih ke Deren dan George.
Mereka berdua duduk santai di sofa kamar Kian, dengan semangkuk mi instan di tangan. Perintah dari Devin dan Norman untuk memantau keadaan Kian dan Keira membuat mereka bertahan di sana sejak semalam, tapi pagi ini suasana mulai terasa membosankan.
George menghabiskan mi terakhirnya, lalu berdiri sambil membawa piring kosongnya. Dia berjalan ke balkon, ingin memeriksa apakah Kian dan Keira sudah bangun.
"Buset, udah jam delapan tapi belum bangun juga," keluh George sambil melirik jam tangannya. “Lama banget mereka tidur.”
Dia menaruh piringnya di tempat cuci piring, masih memikirkan apa yang mungkin terjadi di kamar sebelah.
"Mungkin mereka kecapekan, Bang," kata Deren dengan wajah setengah mengantuk. “Lagian, siapa tau mereka bikin... ya, Keihan,” tambahnya, terkikik.
George langsung menjitak kepala Deren tanpa ampun. “Goblok! Mana mungkin mereka begituan! Keira kan anaknya polos banget.”
"Lah, justru itu, Bang," jawab Deren sambil mengusap kepalanya yang terasa sakit. “Keira kan polos, dan Kian manipulatif banget. Bisa aja tuh, Kian manfaatin kepolosan Keira buat dapetin apa yang dia mau.”
Seketika, ekspresi George berubah panik. Pikiran liar mulai melintas di kepalanya, dan tanpa membuang waktu, dia segera bangkit dan berlari keluar kamar.
“Eh, bang! Tunggu gue!” Deren ikut berlari di belakangnya.
George dengan cepat mencapai kamar Keira dan membuka pintu dengan terburu-buru. Kamar itu terasa sunyi, hanya keheningan yang menyelimuti ruangan. Mereka saling bertukar pandang, merasa ada yang tidak beres.
Deren dan George mulai mengamati setiap sudut kamar, tapi tak ada tanda-tanda keberadaan Kian dan Keira.
Tiba-tiba, sebuah suara lirih terdengar dari arah kamar mandi. "Ahh~~ Kianh~"
Suara itu terdengar samar tapi jelas, membuat George dan Deren langsung menoleh bersamaan. Mereka saling menatap dengan ekspresi penuh kecurigaan.
Tanpa berpikir panjang, George dan Deren berlari menuju kamar mandi, jantung mereka berdebar kencang.
Brak!
George membuka paksa pintu kamar mandi, dan apa yang mereka lihat di dalam membuat mereka terkejut luar biasa.
“Astaghfirullahalazim! Kian!” teriak George.