"Mengemislah!"
Awalnya hubungan mereka hanya sebatas transaksional diatas ranjang, namun Kirana tak pernah menyangka akan terjerat dalam genggaman laki-laki pemaksa bernama Ailard, seorang duda beranak satu yang menjerat segala kehidupannya sejak ia mendapati dirinya dalam panggung pelelangan.
Kiran berusaha mencari cara untuk mendapatkan kembali kebebasannya dan berjuang untuk tetap teguh di tengah lingkungan yang menekan dan penuh intrik. Sementara itu, Ailard, dengan segala sifat dominannya terus mengikat Kiran untuk tetap berada dibawah kendalinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lifahli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Berbicara Dengan Ibu Pria Itu
...Happy reading!...
...•••...
Dini hari ia terbangun oleh sapuan seseorang di pundaknya, matanya melihat sosok pria yang menatapnya dengan tajam.
"Apa kamu begitu nyaman tidur di kamar Rose sampai melupakan pekerjaan utamamu huh?" Sindir Ailard yang tak suka dirinya diabaikan.
Kiran tersentak, mengerjapkan matanya dengan cepat saat kesadarannya kembali. Ia masih berada di kamar Rosemary, tubuh mungil bayi itu terlelap di sampingnya. Ia mungkin terlalu lelah sampai tertidur tanpa sengaja.
"Maaf, Mas," bisik Kiran segera bangkit dari tempat tidur. Wajah Ailard terlihat gelap, sorot matanya menunjukkan ketidaksabaran.
"Jangan pernah lupakan apa peranmu di sini," lanjut Ailard dingin. "Menjadi baby sister Rosemary hanyalah pekerjaan sampingan. Pekerjaan utamamu adalah melayani saya."
Kiran menunduk, ia hanya mengangguk pelan. "Sebentar Mas, aku pindahkan Rose di ranjang bayi—"
"Tidak usah, saya saja."
Ailard mengangkat Rosemary dengan lembut tanpa mengalihkan pandangan dinginnya dari Kiran. Kiran hanya bisa memperhatikan pria itu memindahkan anaknya ke ranjang bayi.
Setelah memastikan Rosemary tertidur dengan aman, Ailard kembali menatap Kiran, sorot matanya penuh tuntutan. "Tahu posisimu dan cepat datang kekamar saya," katanya tajam sebelum berbalik dan melangkah keluar dari kamar.
Kiran bangkit perlahan, tubuhnya masih terasa berat karena kelelahan. Matanya menatap sekilas ke arah Rosemary yang tertidur pulas. Ada perasaan hangat yang menjalar di dadanya saat melihat bayi itu, namun cepat-cepat ia menepisnya. Ini bukan waktunya untuk melarut dalam perasaan sentimental.
Setelah menghela napas panjang, Kiran melangkah keluar, mengikuti arah Ailard yang sudah menunggunya di kamar utama milik pria itu. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah ia berjalan menuju sesuatu yang tak bisa dihindari, sesuatu yang selalu menuntut lebih dari dirinya.
Ketika ia sampai di depan pintu kamar Ailard, tangannya sempat gemetar sebelum ia mengetuk dan masuk. Di dalam, Ailard sudah duduk di ujung ranjang, tatapannya tajam namun penuh kendali. "Kemarilah,"
Ucapan yang sama kembali menyapa pendengarannya, yang artinya pria itu ingin dihangatkan ranjangnya kembali. Kiran sudah bersiap membuka pakaiannya, namun suara bariton nya menginterupsi gerakan Kiran.
"Saya tidak ingin bercinta denganmu malam ini, kemarilah berbaring disamping saya." Jawabnya segera, Kiran tertegun sejenak namun akhirnya ia melangkah mendekat dan perlahan naik ke ranjang, berbaring di samping Ailard. Ia tidak tahu apa yang diinginkan pria itu malam ini, namun ia tahu bahwa perintah Ailard bukan untuk dipertanyakan.
Ailard menarik Kiran mendekat, memeluknya dengan satu tangan dan tanpa berkata apa-apa lagi. Suara napasnya terdengar stabil, tetapi Kiran merasakan ketegangan yang menyelimuti tubuh pria itu. Meskipun tidak ada kata-kata yang keluar, keheningan ini justru terasa menegangkan.
"Mas tidak bisa tidur?" Kiran bertanya hati-hati, mau mengetahui sisi emosional pria ini.
Ailard menoleh ke arah Kiran, dan tatapan mereka bertemu dalam diam. Wajah pria itu tampak lebih jelas sekarang, menyiratkan campuran keturunan asing—kemungkinan besar dia memiliki ibu atau ayah bule. Lekukan tajam di rahangnya, dan mata sebiru samudra yang tajam.
"Kenapa?" tanya Ailard dengan suara rendah, seolah mempertanyakan kenapa Kiran bertanya dan memandangnya seperti itu. Kiran menelan ludah, merasakan getaran kecil di dadanya. Bukan karena ada rasa tapi tatapan pria itu dapat menghunus ketenangannya.
"Engga, Mas... cuma," Kiran terdiam, mencari kata yang tepat. "Mas terlihat lelah."
Ailard hanya menghela napas panjang, tangannya tetap melingkar di pinggang Kiran. "Banyak hal yang harus saya urus," katanya datar, meskipun sorot matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam.
"Tidak usah menatap saya begitu, saya tidak suka."
Kiran segera mengalihkan pandangannya, menyadari bahwa ia terlalu lama menatap pria itu. "Maaf, Mas," jawabnya pelan, mencoba meredakan ketegangan.
Ailard mendengus pelan, matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. "Tidurlah, esok kamu harus kembali melayani saya," ucapnya dengan suara lebih tenang, meski tetap terdengar dingin dan kejam.
Kiran mengangguk kecil. "Aku paham, Mas," balasnya dengan suara yang nyaris berbisik. Meskipun sering kali ia merasa terjebak, ia tetap menerima posisinya. Bagi Kiran, yang penting adalah bisa memenuhi tanggung jawabnya dan melunasi hutang keluarganya. Hanya itu yang ada di pikirannya, meski hatinya harus menerima banyak penghinaan.
Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya terdengar napas Ailard yang stabil di sebelahnya. Tak lama, Kiran pun tertidur, tenggelam dalam dunia yang sementara menghilangkan segala tekanan yang ia hadapi. Di sebelahnya, Ailard tetap tenang, meskipun jauh di dalam dirinya, ia sedang memikirkan lilyane, mantan istrinya.
•••
Samar-samar, Kiran mendengar suara tangisan bayi yang semakin jelas di telinganya. Ia terbangun dengan mata yang masih berat, berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan kamar. Seketika ia sadar itu adalah Rosemary yang suaranya berasal dari baby monitor yang ia letakan diatas nakas.
Kiran segera bangkit dari ranjang tanpa membangunkan Ailard, yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Dengan langkah cepat namun hati-hati, ia menuju kamar Rosemary. Tangisan bayi kecil itu terdengar semakin keras, dan Kiran merasa hatinya terenyuh.
Saat sampai di kamar, ia segera menghampiri tempat tidur bayi dan mengangkat Rosemary dengan lembut. "Shh... sudah, sayang... jangan menangis," bisik Kiran, menimang-nimang bayi itu di pelukannya, berharap bisa menenangkannya.
"Papapa..."
"Papa? Kamu mau digendong Papa?"
Rosemary mulai mereda tangisnya dalam pelukan Kiran, tetapi tetap merengek kecil. Kiran menimangnya lagi dengan penuh kasih sayang. "Papa sedang istirahat, sayang... tapi tenang, kakak di sini."
"Papapa..." Rose tetap merengek, sepertinya ia juga haus. "Baiklah, sayang, kita buat susu, ya," bisiknya sambil berjalan keluar kamar menuju dapur.
Dengan cekatan, Kiran menyiapkan botol susu berukuran kecil, mengukur takaran dengan hati-hati sesuai dengan apa yang sudah diberitahukan Ailard.
Setelah susunya siap, Kiran kembali menimang bayi itu dan mulai memberinya susu. Rosemary menyusu dengan tenang, tangisannya berhenti sepenuhnya. "Nah, sekarang kamu lebih baik, kan?" Kiran tersenyum kecil, merasa sedikit lega melihat Rosemary mulai tenang. Ia kembali kedalam kamar Rose, memberinya susu disana.
Terlalu lama memperhatikan bayi menggemaskan itu sampai Kiran tidak menyadari kedatangan seseorang. Ailard berdiri dibelakangnya, ia bersender pada dinding tembok.
"Bagus, kamu layak jadi baby sister Rose." Suara bariton yang berat itu membuat perhatian Kiran pada Rose buyar dan ia segera menoleh kearah suara.
"Mas," Kiran menyahut pelan sebagai sapaan, menenangkan dirinya meski jantungnya masih berdebar akibat kejutannya tadi. "Aku hanya mencoba menenangkan Rose, dia kebangun dan haus." Jelasnya, meski ia tahu Ailard tidak perlu penjelasan.
Ailard berjalan mendekat, berdiri di samping Kiran dan menatap Rosemary yang kini sudah tertidur kembali. "Pagi ini, sebelum saya berangkat ke kantor, kita akan menemui ibu saya. Dia perlu tahu baby sister yang akan mengurusi cucunya." katanya pelan. Memberitahu perempuan itu yang tentu saja mendapatkan reaksi terkejut darinya.
"Semacam wawancara juga Mas?"
"Ya, kamu harus menyiapkan diri."
Kiran tertegun sejenak dan akhirnya mengangguk pelan, "baik Mas."
•••
Kirana sudah bersiap-siap memakai pakaian baby sister yang diberikan Ailard padanya, pria itu langsung yang memperhatikan penampilan pacar rahasianya itu agar ia bisa menilainya langsung.
Ailard tersenyum miring, ia berimajinasi kalau Kiran menggunakan pakaian maid ketat dan belahan dada yang terlihat, kemudian menggodanya dengan menari sen*u*l dihadapannya.
"Sial!" Umpatnya kesal tanpa ia sadari, ia segera menepisnya dan kembali berfokus. Tatapan tajamnya kembali menilai penampilan Kiran dengan cermat.
"Pakaian itu cocok untukmu," ucapnya datar, meski dalam pikirannya masih tersisa jejak godaan yang tadi ia bayangkan. "Ibu saya tidak mudah diyakinkan. Jangan buat kesalahan saat kita bertemu nanti."
"Iya Mas."
Kiran segera bergegas menggendong Rose di dalam ranjang bayinya, bayi perempuan itu tersenyum kecil melihat Kiran.
"Iya sayang, kakak izin gendong ya..."
Kiran melangkah keluar dari kamar Rose bersama dengan Ailard lebih dulu didepannya. Ia tahu tatapan Ailard yang dilayangkan tadi untuknya, tatapan pria mes*m yang sangat menjijikan.
Saat mereka sampai di mobil, Ailard membantu Kiran memasukkan Rose ke dalam kursi mobil, memastikan putri kecilnya dalam posisi yang aman sebelum mereka melaju ke rumah keluarganya.
Setelah beberapa waktu, mereka akhirnya tiba di sebuah rumah besar milik keluarga Ailard. Entah mengapa Kiran jadi tegang begini.
"Ibu saya sudah menunggu kamu didalam. Jangan buat saya kecewa dengan penolakan ibu, paham?"
"Iya Mas." Dan ia dituntut untuk bisa memenangkan hati ibu pria ini. Kiran tahu, karena dengan begitu, Ailard dapat leluasa melakukan apapun pada Kiran.
Masuk ke dalam, mereka disambut oleh seorang asisten rumah tangga yang membungkuk sopan. Kiran melirik sekeliling, mencoba menyerap suasana di dalam rumah yang terasa tenang.
"Ibu Tiara sudah menunggu di ruang keluarga," kata ART itu sambil mempersilakan mereka masuk.
Setelah melewati beberapa ruangan, akhirnya mereka tiba di ruang keluarga. Di sana, Tiara, ibu Ailard, duduk dengan senyum hangat yang menyambut kedatangan mereka.
"Silahkan duduk nak Kirana." Ucap Tiara begitu lembutnya.
Kiran duduk dengan hati-hati, sementara Rosemary tetap tenang di pelukannya. Ia mencoba menenangkan perasaannya yang tadi sempat tegang. Ailard duduk sedikit menjauh, ia hanya perlu menonton aksi pacar kecilnya.
"Tidak usah tegang, Nak Kiran," suara lembut Tiara terdengar, dengan senyum yang membuat suasana sedikit lebih hangat. "Pasti kamu ditakut-takuti sama Ailard ya? Maafin ya, anak ibu yang satu ini memang sering begitu. Ibu juga terkadang banyak marahnya sama dia."
Kiran tertegun, tak menyangka pertemuan ini akan berjalan begitu hangat. Ia telah mempersiapkan diri untuk menghadapi kecanggungan dan ketegangan, namun keramahan Tiara membuyarkan semua bayangannya.
Ia menatap Tiara sejenak, heran. "Jadi ini ibu Mas Ailard?" batinnya. Bagaimana mungkin Ailard yang begitu dingin dan keras bisa memiliki ibu yang sangat baik seperti ini? Kiran berpikir, mungkin Tiara tidak benar-benar tahu bagaimana perilaku putranya saat tidak berada di bawah pengawasannya.
"Oh, tidak, Nyonya. Pak Ailard sejujurnya tidak banyak mengatakan apapun, mungkin saya saja yang memang tegang," jawab Kiran dengan nada pelan.
Tiara mengangguk pelan, "tidak usah panggil begitu, panggil saja Ibu. Baiklah nak. Boleh tahu berapa usiamu?"
"Duapuluh tahun, Bu," jawab Kiran pelan, merasa agak canggung.
Tiara tersenyum lembut. "Masih muda sekali, ya. Kalau begitu mengapa memutuskan untuk mengambil pekerjaan sebagai seorang baby sister?"
Kiran terdiam sejenak, mempertimbangkan bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. "Sebelumnya saya bekerja di sebuah cafe, Bu," jawab Kiran pelan. "Tapi saat itu, keadaan keluarga membuat saya harus mencari pekerjaan lain, dan kebetulan saya ditawari pekerjaan ini. Awalnya saya ragu, tapi karena saya juga menyukai anak kecil dan kebetulan memiliki adik di rumah, jadi saya mencoba melamar." Ia menoleh ke arah Ailard, "Kualifikasi saya sesuai dengan yang diinginkan Pak Ailard, dan saya senang sekali bisa diterima beliau bekerja sebagai baby sister putrinya." Ucapnya melanjutkan, sebenarnya Kiran menyindir pria itu juga.
Tiara mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa ada rasa curiga terhadap mereka berdua. Melihat Rosemary yang bisa nyaman dalam gendongan orang yang asing baginya cukup membuktikan bahwa Kiran memang memiliki jiwa keibuan, lembut juga sabar, dan ia tidak perlu mengkhawatirkannya, walaupun usia Kiran ini masih tergolong muda.
Ailard, yang duduk tak jauh dari mereka, hanya diam sambil memperhatikan interaksi antara ibunya dan Kiran. Ia tersenyum tipis mendengarkan perempuan itu pandai berbohong dan memanipulasi hingga secepat itu dapat mencuri hati ibunya.
Ailard cukup senang dengan kepatuhan perempuan itu, dan sialannya, ia semakin bernafsu pada Kiran untuk membuatnya selalu memohon di bawah kendalinya.