Cecil dan Kevin sepasang kekasih. Hubungan mereka terkendala restu dari mamanya Cecil. Namun, karena rasa cintanya yang begitu besar, Cecil pun berani menantang orang tuanya.
Padahal, tanpa Cecil sadari, dia hanya dimanfaatkan Kevin. Gadis itu sampai rela menjual barang-barang berharga miliknya dan bahkan meminjam uang demi menuruti permintaan sang kekasih.
Apakah hubungan yang toxic ini akan bertahan? Sadarkah Cecil jika dia hanya dimanfaatkan Kevin?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tujuh
Kevin keluar dari kamar dengan menyeret koper. Dia menuju ke tempat Cecil duduk. Melihat wajah kekasihnya sedikit murung, dia lalu mengecup pipinya lembut.
"Kenapa kamu terlihat murung? Aku hanya pergi sebentar, tak akan lama," ucap Kevin dengan percaya dirinya.
Kevin berpikir jika Cecil murung karena tak mau berpisah darinya. Padahal bukan kepergiannya yang menjadi penyebab kemurungan gadis itu.
"Kamu hati-hati di sana. Jaga hati dan jangan selingkuh. Aku mungkin bisa memaafkan kesalahanmu tapi tidak untuk perselingkuhan karena itu sama aja kamu menginginkan kita berpisah!" seru Cecil.
"Jangan kuatir, Sayang. Aku tak akan pernah berpaling. Aku sudah mendapatkan gadis yang nyaris sempurna, apa lagi yang ku cari. Semua yang diinginkan pria ada padamu, cantik, dan baik hati," balas Kevin.
Cecil tersenyum mendengar pujian dari kekasihnya itu, tapi pikirannya terus ke pesan yang di kirimkan mamanya. Dia tak tahu harus mencari kemana uang sebesar itu.
"Apa kamu akan segera berangkat?" tanya Cecil.
"Ya, Sayang," jawab Kevin.
"Aku antar hingga terminal," balas Cecil.
Gadis itu lalu berdiri. Dengan beriringan keduanya berjalan meninggalkan apartemen.
Cecil mengendarai mobil dengan kecepatan sedang menuju ke terminal. Satu jam perjalanan sampailah mereka ke tempat tujuan. Dia ikut keluar dari mobil dan mengantar hingga ke dekat bus.
Tiba-tiba Cecil menghentikan langkahnya, membuat Kevin heran. Pria itu lalu mendekati kekasihnya itu.
"Sayang, kenapa berhenti?" tanya Kevin.
"Aku tadi seperti melihat Mira. Kemana perginya, ya?" Cecil balik bertanya.
Jantung Kevin terasa mau copot mendengar pertanyaan dari Cecil. Dia tak ingin kekasihnya itu melihat dan mengetahui jika dia pergi berdua dengan Mira.
"Kamu pasti salah lihat. Untuk apa dia ke sini?" Kevin balik bertanya.
"Kamu nggak janjian dengannya'kan?" Kembali Cecil bertanya.
"Nggak, Cecil. Apa kamu sudah mulai tak percaya denganku lagi? Kamu menuduhku seperti terdakwa saja," ucap Kevin.
Dalam hatinya pria itu berdoa agar Mira tak muncul lagi. Dia mengumpat atas keteledoran wanita itu.
"Mungkin aku salah lihat. Kalau begitu, aku pamit dulu," ucap Cecil.
"Hati-hati di jalan, Sayang," ucap Kevin.
Kevin mengecup dahi kekasihnya itu. Cecil hanya membalas dengan senyuman.
Cecil berjalan menuju mobil yang dia parkir. Entah mengapa perasaannya mengatakan ada yang di sembunyikan Kevin darinya.
Kevin diam-diam mengikuti Cecil. Ingin memastikan jika gadis itu benar-benar pergi dan tak mengintipnya. Setelah memastikan kekasihnya itu telah pergi, barulah dia kembali ke dekat bus.
Di dalam bus telah menunggu dan duduk Mita. Kevin langsung menghampiri dan mengecup pipinya.
"Kamu teledor sekali, hampir Cecil memergoki kamu ikut denganku," ucap Kevin.
"Aku tadi baru sampai dan tak mengira juga ada kamu dan Cecil," balas Mira.
"Sudahlah, dia juga telah pergi. Sekarang kita nikmati saja uangnya dan perjalanan ini. Akhirnya kita bisa pulang kampung juga," ucap Kevin dengan memeluk wanita itu.
**
Cecil duduk di sudut kafe kecil yang terletak di pinggir jalan. Aroma biji kopi yang baru diseduh memanjakan indera penciumannya, namun tidak bisa mengalihkan pikirannya yang berkecamuk. Pikirannya jauh melayang, mempertimbangkan cara-cara untuk mengembalikan uang kuliah yang telah dipakainya.
Ia meneguk cappuccino yang hampir dingin, lalu menghela napas panjang. "Bagaimana bisa aku mengembalikan uang itu? Aku tak mungkin pinjam uang teman lagi, sudah banyak aku meminjamnya. Mereka pasti tak mau lagi pinjamin aku lagi," gumamnya pada diri sendiri.
Di luar, angin sepoi-sepoi bertiup lembut, tapi di dalam hatinya, Cecil merasakan badai. Ia mengeluarkan ponselnya, memeriksa mail daring yang berisi tagihan-tagihan dan notifikasi dari bank. Satu per satu angka-angka itu tampak seperti monster yang siap melahapnya.
Tiba-tiba, pintu kafe terbuka, dan suara bel kecil yang mengikutinya membuatnya menoleh. Seorang pria tampan dengan rambut hitam dan tatapan tajam masuk, menyapu pandangannya ke dalam kafe. Cecil menangkap tatapan pria itu sesaat sebelum ia duduk di meja sebelahnya. Tanpa terduga, pria itu melirik Cecil dan tersenyum ramah.
"Cecil ...?" tanya pria itu.
Cecil mencoba mengingat pertemuannya dengan pria itu. Dia lalu tersenyum begitu menyadarinya. Dia ingat jika itu Athalla anak teman mamanya.
"Apa kabar?" tanya Cecil basa-basi.
“Aku baik. Apa yang membuatmu termenung sendirian di sini?” tanya Athalla dengan suara dalamnya yang tenang.
“Oh, tidak ada apa-apa,” jawab Cecil cepat. Ia tidak ingin orang tahu beban yang sedang dipikulnya. Namun, entah mengapa, ia merasa ada yang berbeda tentang pria ini. “Hanya sedikit memikirkan ... beberapa masalah.”
“Masalah? Sepertinya serius.” Pria itu yang bernama Athalla, mengangkat alisnya. “Kadang, berbicara bisa membantu.”
Cecil mengangkat bahu. “Mungkin. Tapi, tidak ada yang bisa dilakukan kan? Uang kuliah tidak akan kembali dengan sendirinya.”
Mendengar ucapan Cecil, Athalla berdiri dan meminta izin untuk bergabung di meja yang sama. Gadis itu mengangguk tanda setuju.
“Aku tidak tahu rincianmu, tapi terkadang orang terjebak dalam situasi sulit. Apakah mungkin kamu butuh bantuan?” tanya Athalla, kini penuh perhatian.
Cecil menatapnya lekat-lekat. “Maksudmu, seperti bantuan keuangan?”
“Jika itu yang kamu butuhkan. Terkadang kita butuh bantuan teman'kan? Kita tidak selalu bisa melakukan itu sendiri, kan?” ujar Athalla, tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menghakimi.
“Anu ... bisa dibilang begitu,” jawab Cecil, merasa bingung. Ia ingin memberitahu semua, tetapi sepertinya itu bukanlah ide yang baik. “Tapi, aku tidak ingin merepotkan kamu.”
“Cecil, semua orang bisa terjebak dalam situasi sulit. Mungkin aku bisa membantumu,” Athalla menawarkan dengan senyum lembutnya.
Cecil menekankan bibirnya, berpikir. “Sejujurnya, aku masih memikirkan cara untuk mengganti uang kuliah yang aku pakai. Uang itu aku gunakan untuk membantu teman tanpa setahu mama. Aku takut mama tau jika uang kuliah belum di bayar."
“Kalau begitu, berapa yang kamu perlu?” Athalla bertanya, sopan.
Cecil terdiam sejenak, kemudian berkata, “Cukup banyak. Aku malu mengatakannya," ucap Cecil lagi.
"Katakan saja, berapa totalnya. Barangkali aku bisa bantu," balas Athalla.
"Dua puluh juta uang kuliahku," jawab Cecil dengan suara pelan.
"Aku bisa bantu. Kamu kirimkan saja nomor rekeningmu," balas Athalla.
Rasanya Cecil tak percaya dengan pendengarannya. Akhirnya dia bisa mengembalikan uang mama.
"Tapi aku tak bisa mengembalikan dalam waktu dekat. Temanku itu orang tak mampu. Pasti lama uang itu akan kembali," ucap Cecil.
Padahal uang itu bukan di pinjam temannya, melainkan digunakan untuk membayar sewa apartemen yang sekarang ditempati Kevin.
"Tak masalah, kapan kamu akan kembalikan, terserah kamu saja. Jangan terlalu dipikirkan," ujar Athalla.
"Terima kasih, Athalla. Aku juga minta padamu, jangan sampai mama tau jika aku pinjam uang denganmu," ucap Cecil.
"Jangan kuatir. Aku gak mungkin mengatakan semua itu."
Cecil akhirnya bisa tersenyum lega setelah mendengar ucapan Athalla. Dia bisa pulang ke rumah dan mengembalikan pada mama uang kuliahnya.
tp gmn kl emg dh sifat dy begitu..
ya tergantung qt aja sbgai istri yg menyikapinya...
ya qt jg hrs ekstra lbh sabar mnghdapinya...