Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Malam di Balkon
Adara melangkah perlahan ke balkon penthouse hotel, tempat acara makan malam perusahaan berlangsung. Di balik gaun hitam elegan yang dikenakannya, ada kecanggungan yang tak bisa ia sembunyikan. Sebagai sekretaris pribadi Arga Pratama, kehadirannya di acara ini bukanlah hal yang biasa. Biasanya, ia hanya menjadi bagian di balik layar, mengatur segala detail tanpa pernah tampil di depan. Namun malam ini, Arga memintanya hadir sebagai pendamping—permintaan yang sulit ditolak, meskipun janggal.
Udara malam yang sejuk menyambutnya ketika ia keluar ke balkon. Gemerlap lampu kota tampak seperti taburan bintang di kejauhan, menghadirkan suasana tenang yang kontras dengan riuh rendah acara di dalam ruangan. Musik jazz mengalun lembut dari kejauhan, bercampur dengan suara tawa para tamu yang berbincang di aula utama.
Adara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan kegugupan yang bersemayam di dadanya. Malam ini terlalu banyak tatapan yang tertuju padanya. Sebagian besar adalah pandangan iri dari para tamu wanita yang menyadari kedekatannya dengan Arga. Yang lain adalah sorotan penuh tanya, seakan mereka tak percaya seorang sekretaris biasa seperti dirinya bisa berdiri di sisi seorang pria seperti Arga.
“Udara di sini jauh lebih nyaman, bukan?” Suara berat yang sudah sangat dikenalnya tiba-tiba terdengar dari belakang.
Adara menoleh, mendapati Arga berdiri di ambang pintu balkon. Penampilannya malam itu luar biasa memukau dalam setelan jas hitam yang membentuk tubuh atletisnya. Rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan, memberinya aura santai namun tetap memikat.
“Pak Arga,” ucap Adara, sedikit tergagap. “Saya hanya butuh udara segar. Suasananya di dalam... terlalu ramai.”
Arga melangkah mendekat, hingga jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah. “Saya sudah bilang, malam ini lupakan formalitas. Panggil saya Arga saja.”
Adara mengangguk pelan, meskipun masih sulit baginya untuk menurunkan dinding profesional yang selama ini ia bangun di antara mereka.
“Dan kamu?” tanya Arga, menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon. “Apa kamu merasa tidak nyaman berada di sini?”
Adara terdiam sejenak sebelum menjawab, “Sejujurnya, sedikit. Saya bukan bagian dari dunia ini.”
Arga menatapnya dengan intens, seakan mencoba membaca pikiran terdalamnya. “Kamu lebih dari sekadar bagian dari dunia ini, Adara. Kamu pantas berada di sini, bahkan lebih dari mereka yang hanya datang untuk pamer.”
Kata-kata itu membuat Adara terdiam. Ada kehangatan dalam suara Arga, sesuatu yang jarang ia dengar dari pria itu. Selama ini, Arga selalu dikenal dingin dan tegas, terutama dalam urusan pekerjaan. Namun malam ini, ada sisi lain darinya yang muncul—sisi yang lebih lembut, lebih manusiawi.
“Mengapa saya?” tanya Adara akhirnya. “Mengapa Anda membawa saya ke acara ini?”
Arga tersenyum tipis, lalu menatap ke arah lampu kota. “Karena kamu satu-satunya orang yang bisa membuat saya merasa nyaman. Di dunia yang penuh kepalsuan ini, kamu adalah satu-satunya yang nyata.”
Kata-kata itu membuat jantung Adara berdetak lebih cepat. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah yang mulai muncul di pipinya.
“Kamu terlalu baik,” gumamnya.
Arga tertawa kecil. “Atau mungkin, saya hanya jujur.”
Hening sejenak menyelimuti mereka, hanya diiringi suara angin malam yang lembut. Adara memandang ke arah kota, menikmati pemandangan yang seolah menenangkan kegelisahan hatinya. Namun di sisi lain, keberadaan Arga di dekatnya membuat pikirannya tak menentu.
“Adara,” panggil Arga tiba-tiba, memecah keheningan.
“Ya?”
Pria itu menoleh, dan untuk pertama kalinya, Adara melihat sesuatu yang rapuh di balik tatapan matanya.
“Apa kamu pernah merasa... lelah dengan kehidupan yang kamu jalani?”
Pertanyaan itu begitu mengejutkan, sehingga Adara hanya bisa menatapnya tanpa berkata apa-apa.
“Kadang-kadang,” lanjut Arga, “saya merasa seperti boneka yang harus terus memainkan peran tertentu. Menjadi CEO yang sempurna, pria yang tak pernah salah, manusia yang selalu memiliki semua jawaban. Tapi kenyataannya, saya juga sering tersesat.”
Adara tak tahu harus berkata apa. Arga, pria yang selalu terlihat begitu percaya diri dan tak tergoyahkan, kini menunjukkan sisi yang berbeda.
“Saya rasa semua orang pernah merasa seperti itu,” ucapnya akhirnya. “Tapi mungkin bedanya, Anda tidak pernah menunjukkan kelemahan Anda pada orang lain.”
Arga tersenyum pahit. “Karena kelemahan adalah sesuatu yang tidak bisa saya tunjukkan. Tidak di dunia ini.”
Adara mengerti maksudnya. Sebagai seorang pria yang berada di puncak, Arga pasti menghadapi tekanan yang luar biasa. Namun, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Adara ingin mendekat, ingin memberinya dukungan yang selama ini ia butuhkan.
“Jika Anda butuh tempat untuk berbicara,” katanya pelan, “saya selalu ada.”
Arga menatapnya, dan kali ini, tatapan itu begitu dalam hingga membuat Adara merasa seolah ia adalah satu-satunya orang di dunia.
“Terima kasih,” ucapnya singkat, namun penuh makna.
Malam itu, di balkon yang sepi, mereka berbagi sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Ada keheningan yang berbicara lebih banyak, sebuah ikatan tak kasat mata yang perlahan terbentuk di antara mereka.
Adara tahu, malam itu akan menjadi salah satu malam yang tak akan pernah ia lupakan. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ada lebih dari sekadar hubungan profesional antara dirinya dan Arga.
Namun di sudut pikirannya, ia juga sadar akan risiko yang datang dengan perasaan itu. Apakah ia siap menghadapi konsekuensinya?
Angin malam bertiup lebih kencang, seolah membawa serta keraguan dan harapan mereka ke dalam kegelapan malam.