Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Udara terasa begitu segar saat sampai di rumah, namun ada keharusan yang tak bisa ditunda. Aku menatap Naura dengan lembut, anak kecil yang selalu mengerti keadaan.
Rambutnya yang lurus kupelintir pelan sambil berkata, "Nak, hari ini Mama harus ke butik dulu, banyak klien yang menunggu." Naura mengangguk paham, matanya berbinar saat aku berjanji akan membelikannya baju baru.
Sebelum berangkat, aku memeluk Naura erat, mencium keningnya yang lembut sebagai tanda sayang dan janji yang harus kupenuhi. Kepalaku menoleh ke arah ibu, "Bu, tolong jaga Naura ya,aku harus ke butik sekarang."
"Iya nak, kamu tenang saja sebelum Naura sembuh total ibu akan tetap di sini menemani Naura"
Aku segera melangkah ke kamar mandi, membersihkan diri dari keringat yang masih melekat. Setelah itu, aku memilih outfit sederhana namun tetap elegan, mencerminkan profesionalitas seorang pemilik butik pakaian.
Sambil membetulkan kerah blouseku di depan cermin, aku mendengar suara Naura dari arah ruang tengah.
"Mah, papah mana?" tanyanya dengan rasa ingin tahu yang besar.
Hatiku berdesir, bagaimana menjelaskan ketidakhadiran ayahnya yang semakin sering terjadi akhir akhir ini, Dengan suara serak, aku mencoba memberikan jawaban yang meyakinkan.
"Papah lagi...."
"Lembur kan mah" jawab nuara langsung
Dengan perasaan yang bercampur aduk, aku mengambil tas dan kunci mobil, berharap ibu bisa mengisi kekosongan yang Naura rasakan.
Sebelum menutup pintu, aku menoleh sekali lagi, melihat Naura yang kembali asyik bermain dengan bonekanya, ditemani oleh sosok ibu yang mengangguk padaku, memberi kekuatan tanpa kata.
Aku segera masuk ke dalam mobil, ketika tiba-tiba bibik berjalan ke arahku dengan tergesa-gesa, "Non, tunggu!" seru bibik.
"Iya, bik?" jawabku, menoleh ke arah bibik dengan wajah bingung.
"Ini lipstik non kan?" Seru bibik sambil menunjukkan lipstik tersebut.
Aku menerima lipstik itu dari tangan bibik, namun setelah melihatnya lebih dekat, aku menyadari bahwa lipstik itu bukan milikku.
Ada rasa janggal yang menghantui pikiranku, "Ini lipstik bibik temukan di mana?" tanyaku dengan ekspresi bingung.
"Di tas kerja tuan, tadi pagi disuruh cuci," jawab bibik singkat. Hatiku mulai berdebar-debar, mencoba merangkai berbagai kemungkinan tentang asal-usul lipstik itu.
Aku hanya mengangguk pada bibik, lalu meninggalkannya sambil tak lupa mengucapkan terima kasih.
Setelah urusanku selesai nanti, aku berniat menemui Mas Adnan untuk menanyakan hal ini.
"Apakah ini petunjuk akan suatu pengkhianatan? Atau mungkin hanya kesalahpahaman semata?" pikirku, merasa takut dan khawatir akan kondisi pernikahanku saat ini. Fikiranku mulai melayang ke mana-mana, mencari jawaban dari teka-teki ini.
Begitu menyadari telah tiba di butik, aku melihat klien yang ternyata telah menungguku. Mereka adalah seorang ibu dan putrinya yang datang jauh-jauh dari Solo.
Aku segera menyapa mereka dengan ramah, "Maaf menunggu lama, Bu, Mbak," kataku sembari menyalami tangan mereka.
"Tidak juga, Mbak Rania," balas mereka dengan ramah.
Senyumku semakin lebar dan aku segera mengambil tempat duduk di depan mereka. Ibu Atun dan Mbak Tami, begitu mereka memperkenalkan diri, mulai menjelaskan tujuan kedatangan mereka.
Aku memberi perhatian penuh, mencoba mencerna setiap kata yang mereka ucapkan. Mereka ingin memesan sebuah gaun yang menggabungkan nuansa Jawa dengan sentuhan moderen.
Tanpa menunggu lama, aku mengambil bolpoin dan buku, lantas mulai menggambarkan pola yang sesuai dengan deskripsi yang Mbak Tami berikan.
Pikiranku berkutat dengan berbagai ide, bagaimana caranya agar desain yang aku buat tetap menghargai tradisi, sekaligus memberikan sentuhan kekinian yang mereka inginkan.
Tak berapa lama, pola gaun itu jadi. Dengan penuh percaya diri, aku menunjukkan hasil gambarku pada Ibu Atun dan Mbak Tami. Ekspresi mereka langsung berubah, senyum puas merekah di bibir mereka.
Mereka tampak sangat menyukai desain gaun yang aku buat. Dalam hati, aku merasa lega dan bahagia karena berhasil memenuhi harapan klien. Semoga gaun yang nantinya akan aku buat dapat memberikan kebahagiaan dan kebanggaan bagi mereka.
Setelah berbincang selama satu setengah jam, akhirnya kesepakatan terjalin antara aku, Ibu Atun, dan Mbak Tami. Mereka pun berpamitan untuk pergi.
Aku segera menemui Sumi, "Sum, masih ada klien yang harus aku temui lagi nggak?" Tanyaku padanya.
"Gak ada si, Ran," jawab Sumi.
"Yasudah, aku langsung pulang ya, Sum," kataku sambil menepuk pundaknya.
"Iya, Ran. Beres!" seru Sumi semangat.
Pelanggan terus berdatangan, tetapi aku percayakan semuanya pada Sumi, orang kepercayaanku sejak awal usaha hingga saat ini.
Aku pun langsung masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju kantor suamiku. Di dalam hati, aku memang sengaja tidak memberi tahu suamiku tentang kedatanganku. Begitu sampai di kantor suamiku, aku langsung turun dari mobil.
Pemandangan pertama yang kutemui adalah suamiku yang sedang berjalan beriringan bersama seorang perempuan. Mereka bergandengan tangan, saling bercanda, dan tertawa bersama.
Aku tidak bisa menahan amarahku, "Bagaimana bisa dia bersikap seolah-olah tidak peduli dengan Naura yang sangat membutuhkannya?!" geramku dalam hati sambil mengepalkan tangan erat-erat.
Dengan perasaan campur aduk, aku mencoba menahan emosi yang memuncak, hatiku terasa sakit melihat pemandangan di depanku. Aku berjalan di belakang mereka dengan langkah cepat, kemudian menghentak di depan perempuan itu, menatapnya sinis.
Mas Adnan terkejut, kedua bola matanya membulat melihat kehadiranku. Kenapa perasaan ku seolah mampu merasakan bahwa lipstik yang tadi diberikan Bibik kepadaku, ternyata adalah milik perempuan itu? Dengan geram, aku menggenggam lipstik di dalam tas dan menunjukkannya kepadanya
"Apa ini punyamu?" tanyaku dengan suara sinis dan penuh amarah.
Mataku melirik sekilas ke arah Mas Adnan yang sama sekali tidak berkutik, dia seperti patung yang terpaku di tempatnya.
"Iya, Mbak, ini memang punyaku. Tapi, kenapa lipstik ini ada di tas Anda?" tanya perempuan itu dengan ekspresi heran.
Aku merasa marah, bingung, dan hancur. Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana caraku menanggapi pengkhianatan ini? Tetapi yang lebih penting, aku harus tahu alasannya. Mengapa Mas Adnan, suamiku sendiri, bisa melakukan ini padaku?
""Dia pacarmu?" Tanyaku dengan nada ragu.
"Iya," jawab perempuan itu dengan tegas.
Rasa sakit seperti disambar petir menyergap hatiku di tengah kesedihan sore ini. "Bagaimana bisa ini terjadi? Aku tidak menyangka semua ini terjadi di belakangku. Tapi aku harus kuat," batin ku dalam hati.
Aku mencoba mengumpulkan keberanian. "Coba tanya saja kepada pacar kamu itu, kenapa lipstik kamu berada di tasku!" seruku pada perempuan itu,
sambil menatap dalam mata Adnan yang entah apa yang dia pikirkan saat ini. Apakah dia merasa bersalah? Atau justru merasa biasa saja? Hatiku menerka-nerka, mencari celah untuk bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Perempuan itu terlihat sangat cemburu dan bertanya-tanya,
"Siapa perempuan yang itu, Sayang? Kenapa lipstik aku bisa berada di tasnya? Kamu selingkuh, ya, yang?" Ucapan perempuan itu membuatku terkejut.
Astaga! Ini benar-benar gila! Bagaimana bisa perempuan itu berani mengatakan kepada suamiku kalau dia selingkuh? Perasaanku campur aduk, bingung, marah, dan heran sekaligus.
"Apa perempuan itu tidak tahu kalau pria yang dipacarinya itu suamiku? Dan mengira aku selingkuhnya? Sungguh, ini sangat konyol," batin ku.
****
kebahagian mu rai...ap lg anak mu mendukung ?
bahagia dan hidup sukses ...