Karie yang ingin menjadi Sikerei kesatria Maya demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik semua halangan ia lewati, namun kakaknya selalu menghalangi jalannya dalam Menjadi Sikerei pilihan merelakan atau menggapainya akan memberikan bayaran yang berbeda, jalan mana yang ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Io Ahmad, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salju kemerahan
Erin terbaring di tempat tidur, matanya perlahan tertutup. Tiba-tiba, getaran keras mengguncang rumah. “Gempa!?” Erin terbangun dengan panik, matanya mencari-cari anak-anak. Di meja, hanya ada selembar kertas dengan tulisan tangan Hani, “Mereka pergi ke… Amfiteater?”
Erin bergegas menyusuri lorong rumah, langkahnya cepat dan penuh kekhawatiran. Dari pintu keluar, ia melihat pohon besar menjulang di Aisir. Wajahnya berubah, cemas. “Apa yang ia lakukan!?” gumamnya, sambil meraih pedang dan beberapa gulungan. Tanpa membuang waktu, ia berlari menuju tempat pohon itu muncul.
Di tempat lain, tepat di Amfiteater, kekacauan semakin menjadi. Akar pohon itu merambat liar, mencari manusia untuk dihisap Energi Maya-nya. Karie tertunduk di sana, matanya melihat refleksi dirinya pada bilah pedang Khari, sementara Khari yang tadinya akan menghunuskan pedangnya tepat di leher Karie, terkejut dan kini terjebak dalam ikatan pohon. Akar-akar itu perlahan menghisap kekuatannya, membuatnya kehilangan kesadaran. Dengan suara lemah dan napas tersengal, Khari berkata kepada Karie, “Apa yang Iblis lakukan di sini!? Apa belum puas membuat kami menderita di masa lalu?”
Tak lama, Erin tiba di amfiteater. Ia menyelinap di antara prajurit Elinalis yang berjaga-jaga, memasuki pintu-pintu amfiteater. Jalan terhalang oleh akar-akar yang merambat liar, namun Erin menemukan celah di lorong evakuasi kelas utama. Jalur ini membawanya ke tribun para bangsawan. Saat hendak keluar, ia tersandung sesuatu. Erin menunduk dan melihat Hani dalam pelukan ibunya, Istar, yang sudah terbujur kaku.
Erin merasakan jantungnya berdetak kencang, napasnya tertahan. Ia berlutut, meraih tangan Hani yang dingin. “Istar, Hani… Seharusnya akhir seperti ini tidak layak untuk kalian.” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.
Di dalam arena, orang-orang berusaha keras membuat barier penghalang agar akar pohon itu tidak terus menyebar. Erin mendapati Karie tergeletak dengan rerumputan mengitari tubuhnya. Perhatiannya tertuju pada Hagetz yang berusaha menutupi kembali segel Karie, dengan Eon dan Senna di sampingnya.
“Jangan-jangan kamu hanya bisa membuka tanpa tahu cara menutupnya,” kata Eon sambil memukul kepala Hagetz. Ia kemudian meminta bantuan Senna, “Luncurkan beberapa tebasan untuk membuka jalan, Senna, supaya aku bisa mendekati calon suamimu.” Senna hanya mengerutkan wajahnya
Eon berubah menjadi Lembuswana, elang setengah harimau, melesat menuju Khari. Erin memanfaatkan kesempatan ini untuk melempar pedang ke arah Karie. Seketika, ia berpindah tempat dengan cepat dan mereka pun berhadap-hadapan. Eon tengah berusaha mengeluarkan Khari, sementara Erin menyentuh leher Karie yang memiliki segel. Ia mengambil semua kekuatan pohon itu dan memindahkannya kembali ketubuh Karie, mengetahui Karie sedang sekarat.
“Kau wadah yang satu lagi, ya!?” kata Eon. Pohon itu menghilang bersama Karie dan Erin, menjadi butiran cahaya yang memantul di antara salju. Hanya suara Erin tersisa yang menggema, “Kalian orang-orang yang tamak, telah jatuh dalam buaian-Nya. Akan selalu menyesali setiap jalan yang kalian ambil, terutama kau, Hagetz, pengkhianat!”
Senna masih melihat residu dari jejak seni Erin. Dengan tegas, ia memerintahkan Eon, “Tinggalkan dia, kejar mereka! Belum jauh dari sini! Ke arah jam 9, Eon!”
Eon segera terbang, meninggalkan Khari yang baru saja sadar. Khari dijatuhkan ke tanah. “Aww… Teganya kalian,” gumamnya, suaranya kesakitan.
Di tengah hutan, keheningan mendominasi. Hanya sesekali terdengar suara ranting patah atau hembusan angin yang membawa serpihan salju. Pohon-pohon tinggi tertutup lapisan salju putih, cabang-cabangnya berat dan menggantung rendah. Udara dingin dan segar, setiap napas Erin menghasilkan uap tipis.
Karie mencoba bangun, suaranya lemah, “Kakak…?”
“Jangan banyak bergerak terlebih dahulu, nanti lukamu terbuka lagi,” kata Erin, memperban luka Karie yang terus mengalirkan darah. Tangannya gemetar, mencerminkan kecemasan yang ia rasakan.
Karie menatap Erin dengan mata penuh pertanyaan dan rasa sakit. “Kakak, apa sebenarnya kita? Kita iblis yang didongengkan pada anak sebelum tidur itu. Kenapa tidak memberitahu kebenarannya dari awal… kenapa!” Ia mendorong Erin menjauh, air mata mengalir di pipinya.
Erin menunduk, suaranya bergetar. “Aku kira saat kamu bilang tidak akan melakukannya, memang benar kamu tidak melakukannya. Aku selalu melihatmu sebagai adik kecil yang penurut. Tidak ingin membebanimu dengan kenyataan menyakitkan ini. Aku selalu ingin kamu melihat dunia tanpa harus takut akan hari esok, Karie.”
Karie menangis, “Jadi kakak senang aku hidup dalam kebohonganmu… dan ibu selama ini diburu seperti ini, atau mungkin ia sudah meninggal saat kita terakhir kali melihatnya! Jadi selama ini yang aku lakukan hanyalah kebodohan…”
Erin melihat luka Karie yang kembali terbuka, mencoba menenangkannya. “Maafkan…” Belum selesai kata-katanya, seekor elang menukik, cakar tajamnya mengarah ke kepala Karie. Dengan cepat, Erin menukar posisi Karie dengan pedang yang ada di pundaknya. Elang itu tertusuk pedang Erin, dan Karie jatuh dalam pelukan Erin, napasnya terengah-engah.
“Ketemu kalian, dua lima!” seru Eon sambil tertawa, kegilaan. “Kalian kali ini tidak akan bisa lari lagi!” Dengan gerakan cepat, ia memotong tangannya sendiri, dan bagian lain tubuhnya serta mengubahnya menjadi beberapa hewan pemangsa yang mengerikan. Namun, tubuh Eon dengan cepat kembali ke bentuk semula, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Erin menurunkan Karie dari pangkuannya, Dimata Erin ia hanya ingin keselamatan untuk nya. “Karie, lihat kakak baik-baik. Jangan takut. Aku akan memindahkanmu ke tempat yang aman. Tapi jika kakak tidak datang dalam 20 menit, larilah. Jangan lihat ke belakang.”
Karie membuka mulutnya untuk protes, tapi Erin sudah memindakannya menempatkan di pedang lain yang telah ia tebar.
“Hebat juga kau, mengelabui ku dengan jejak kaki palsu di salju, dan kau penggunaan seni ruang, sampai kapan menyegel dirimu sendiri.” Erin hanya menatap tajam Eon dengan mata flos khas ras Floral. “ Apa-apaan itu, kau coba meremehkan aku!” Eon Meluncur bersamaan makhluk panggilannya menyerang Erin dari segala arah
Erin terus bergerak, menghindari setiap serangan yang dilancarkan Eon. Ruang yang ia ciptakan, meskipun luas dan tinggi, tidak mampu menyembunyikannya dari panggilan Eon. Setiap kali Erin mencoba bersembunyi, panggilan itu selalu menemukan jalannya, menguras Maya miliknya sedikit demi sedikit.
Erin membuka segel di lehernya dan sekarang ia dapat menggunakan seni tumbuhan yang telah terbuka, dan semua tunduk atas kemauannya “Kau ingin aku bertarung, kemarilah makhluk menjijikkan.”
Ia menghantam Eon dengan kekuatan penuh, batang pohon besar muncul dari tanah dan menjerat lawannya. Namun, setiap kali Eon terluka, ia dan panggilannya muncul kembali, sembuh dengan cepat berkat regenerasi mereka. Serangan Erin tampak sia-sia.
“Eon tertawa, suaranya menggema di seluruh ruang. “Kau pandai bertarung, Erin. Tapi semua usahamu percuma,” katanya sambil menghindar
Erin mengerutkan kening. “Apa maksudmu percuma?” tanyanya, mencoba menahan rasa frustrasi.Erin mengerutkan kening. “Apa maksudmu percuma?” tanyanya, mencoba menahan rasa frustasi.
“Karena diriku yang asli sedang menikmati pertunjukan ini dari bar di Aisir!” Eon tertawa lagi, lebih keras kali ini. “Maaf ya, Senna yang menemanimu dari pagi cuma serpihan kecilku.”
Erin meluncurkan batang pohon lain, menghantam tubuh Eon. Kali ini, Eon tidak menghindar, malah tertawa kegirangan. Namun, setelah menghancurkan tubuh Eon, Erin berlari, mencoba mencari celah untuk melarikan diri.
Para panggilan Eon tidak membiarkannya begitu saja. Hewan-hewan pemangsa ciptaan Eon menyerang, tetapi Karie menghalau mereka. Namun, Karie yang terlalu bergantung pada penglihatannya lupa untuk berkedip. Pandangannya mulai kabur, dan ia tidak menyadari ular yang ada di bawahnya. Ular itu menyemburkan bisa dari taringnya, mengenai mata Erin. Erin mengerang kesakitan, dan dalam sekejap, Eon dengan tangan yang berubah menjadi tangan gorila meninju perut Erin hingga ia tak sadarkan diri.
Eon menatap tubuh Erin yang tergeletak di atas salju. “Aduh, kelepasan. Apakah ia masih hidup?” tanyanya pada dirinya sendiri, sedikit khawatir. “Dimarahi Senna lagi dong.”