Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Aerin berlari pergi habis bertengkar hebat dengan mamanya. Hatinya terluka. Sepanjang perjalanan dia menahan tangis. Dia tidak tahu harus kemana lagi. Satu-satunya yang terpikirkan olehnya saat ini adalah rumah sakit. Hanya tempat itu yang bisa ia datangi dengan sesuka hati saat ini.
"Neng, ini mau kemana tujuannya ya?" tanya sopir taksi yang dia naiki.
Aerin menatap laki-laki tua tersebut dari belakang dan bicara.
"Bapak tahu rumah sakit Jewish kan?"
"Yang besar banget itu gedungnya? Sebelah timur?"
"Iya pak."
"Oh iya-iya neng, bapak tahu."
"Anterin saya ke situ pak, terimakasih." ucap Aerin sopan.
Kira-kira sepuluh menit kemudian taksi yang ia naiki berhenti di depan Jewish Hospital. Habis membayar, Aerin berlari cepat ke atap rumah sakit. Tempat yang jarang sekali di datangi oleh orang-orang. Salah satu tempatnya untuk bersembunyi dari keramaian.
Aerin sama sekali tidak sadar kalau ada yang terus mengikutinya sejak tadi.
Anson.
Pria itu mengikuti Aerin, sampai ke atas. Anson tidak akan tenang kalau meninggalkan gadis itu begitu saja. Apalagi ia mulai menyadari sepertinya ada banyak hal yang sudah ia lewati. Banyak hal yang berubah dalam diri Aerin.
Ketika Anson sampai ke atas, Aerin sedang duduk di sebuah bangku paling ujung. Pandangannya terangkat ke langit-langit. Menerawang ke atas sana lama. Sesaat kemudian airmata mengalir dari pipinya. Gadis itu menangis tersedu-sedu.
Anson tertegun. Pria itu terenyuh. Entah kenapa hatinya ikut merasakan sakit. Tangannya terkepal kuat. Ia tidak tahu kenapa perasaannya campur aduk seperti ini melihat gadis itu menangis.
Saat Aerin memiringkan kepala ke kiri, pandangannya tanpa sengaja bertemu dengan Anson. Keberadaan pria itu membuat suasana hatinya bertambah buruk. Malu karena pria itu mendapati dirinya menangis?
Tidak. Dibanding malu, Aerin lebih merasa marah. Ia ingat kejadian dulu waktu mereka berseteru hanya gara-gara dia tanpa sengaja merusak barang mamanya Anson. Waktu itu Anson menyumpahinya. Dan semenjak saat itu, hidupnya memang berubah.
Memang, Aerin tahu itu mungkin hanyalah sebuah kebetulan saja, tapi suasana hatinya sedang tidak baik. Jadi itulah yang gadis itu pikirkan sekarang.
Aerin menyeka air matanya. Anson tidak boleh melihat kelemahannya. Nanti pria itu makin meremehkannya. Gadis itu pun berdiri. Ia harus pergi dari tempat ini secepatnya. Sebelum dirinya ditertawakan oleh Anson. Pria itu pasti senang melihat keadaan menyedihkannya saat ini. Memalukan, sangat memalukan.
Ketika Aerin berjalan hendak melewati Anson, ia merasa lengannya ditahan pria itu. Langkahnya terhenti. Ia menatap Anson tajam.
"Lepasin." katanya dingin. Anson tidak mendengar ucapannya.
"Aku bilang lepasin." kali ini Aerin menggunakan tangannya yang bebas untuk melepaskan diri dari genggaman tangan besar Anson.
"Lepaskan aku Anson!" suaranya mulai terdengar frustasi. Karena tak tahu bagaimana caranya melepaskan diri dari pria itu lagi, Aerin pun memukuli Anson bertubi-tubi.
"Lepas, lepas, lepasss!" teriak Aerin terus menyerang Anson dengan membabi buta, melampiaskan semua emosi yang dia rasakan hari ini. Lalu ia berhenti sebentar, menarik napas dalam-dalam, menatap Anson lama, dan kembali bicara.
"Kenapa semua orang membenciku? Apa salahku? Apa aku tidak pantas hidup di dunia ini?" suaranya terdengar sangat frustasi.
"Kau, dulu kau selalu bilang aku gadis jahat, padahal aku hanya berusaha membela diri agar tidak ada orang yang menindasku, memangnya salah hah?! Kau membenciku, menjauhiku seperti aku adalah hama, kau bahkan pernah menyumpahiku! Papa dan mama membenciku, kak Kyle pergi gara-gara aku! Semua orang sok tahu dan mengataiku perempuan murahan yang suka mempermainkan laki-laki!" gadis itu berteriak
emosi. Ia sudah lelah dengan semua ini.
Dadanya naik turun, Anson tak bicara apa-apa. Hanya menatap Aerin.
"Katakan ..." suara Aerin terdengar lelah.
"Apalagi yang kalian inginkan? Apa aku harus mati dulu baru kalian semua puas, hah?!" Aerin benar-benar frustasi. Kepalanya penuh. Pikirannya sedang tidak jernih. Ia lalu menggigit lengan Anson dan berlari ke pinggiran atap.
"Arghh!!!"
Anson meringis kesakitan. Tapi begitu melihat Aerin berlari ke pinggiran atap, rasa sakit di lengannya mendadak hilang, berganti dengan rasa panik bukan main.
"AERIN!" teriaknya berlari panik mengejar Aerin.
Demi Tuhan, kalau terjadi apa-apa dengan gadis itu malam ini, dia bisa gila. Merasa bersalah seumur hidup.
"AERIN!"
Aerin berhenti di ujung pinggiran atap, lalu berbalik menatap Anson.
"Aku mohon jangan melakukan hal bodoh," pinta Anson tak kalah frustasinya.
Aerin tersenyum kecut.
"Dengar, aku ... hidup pun tidak berguna. Dulu aku pernah sekali mencoba bunuh diri. Tapi tidak ada yang tahu, aku juga masih hidup. Aku ingin merasakannya sekali la ...
"Aarghh!"
Belum sempat Aerin melakukan aksinya, Anson dengan gerakan cepat menariknya. Membawanya menjauh dari pinggir atap. Wajah Anson memerah. Ia panik dan marah.
"Kau gila! Kau pikir dengan bunuh diri semuanya akan selesai, begitu? JAWAB AKU!" teriak pria itu marah.
"IYA AKU SUDAH GILA! AKU INGIN PERGI SECEPATNYA DARI DUNIA INI, KENAPA, KAU TIDAK SUKA HAH?!" balas Aerin sarkas.
Anson terdiam. Hatinya sangat sakit mendengar perkataan Aerin. Ia pun menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Memeluknya dengan erat, mengusap-usap kepala Aerin lembut. Hanya itu yang ingin dia lakukan saat ini.
Aerin terdiam. Untuk sesaat ia merasakan kehangatan menyelimuti dirinya. Kemudian ia pun terisak dalam pelukan Anson.
Bintang dan bulan adalah saksi bisu keduanya berpelukan, dan saksi bahwa malam ini, Anson tanpa sadar ikut menangis karena Aerin. Pria itu mengusap-usap kepala Aerin lembut, menenangkannya.
Lama keduanya berdiri dalam keadaan seperti itu. Tangisan Aerin mulai berhenti, namun gadis itu masih terisak. Ia sudah lebih tenang dari yang tadi.
Anson cepat-cepat menyeka sisa-sisa air dimatanya. Kalau sampai Aerin tahu dia menangis, mau taruh di mana mukanya coba.
Aerin duluan yang melepaskan pelukan. Lalu suasana berubah menjadi canggung, terutama bagi gadis seperti Aerin.
"Ayo ikut aku," ucap Anson kemudian. Pria itu meraih jemari Aerin lembut, membawanya pergi dari situ.
Beberapa staf yang berpapasan dengan mereka di koridor merasa heran pada keduanya. Mereka membungkuk hormat menyapa Anson, namun tak habis-habis heran melihat mata bengkak Aerin. Aerin sampai menunduk malu di lihat seperti itu.
Anson sendiri merasa tidak peduli lagi kalau semua staf rumah sakit menggosipkannya dengan Aerin. Yang ia pedulikan sekarang hanyalah membawa gadis itu ke tempat yang aman untuk beristirahat.
"Kita mau kemana?" tanya Aerin saat Anson mendorongnya lembut masuk ke dalam mobilnya, tak lupa membantunya memasangkan seatbelt.
"Kau akan tahu nanti." sahut Anson. Pria itu menutup pintu mobil dan berjalan berputar, masuk ke kursi sopir. Sesaat kemudian, mobil sport mahal Anson melaju pergi meninggalkan gedung rumah sakit.