Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 03 - Kamu Tetap Tanggung Jawabku
Racauan Nadin membuat hati Zain tercabik-cabik. Terlebih lagi ketika air mata Nadin menetes dari sudut matanya. Tadi malam mungkin dia hilang kendali, tapi pagi ini Zain sadar sesadar-sadarnya jika dirinya baru saja menghancurkan anak gadis orang.
Ya, dia melakukan hal yang dilarang keras papanya. Hidup Zain sebagai dosen memang agak bebas, terlebih lagi saat dia memilih mandiri tinggal di apartemen dekat kampus. Sesekali dia datang ke kediaman utama, tapi tidak setiap hari, terkadang hanya akhir pekan karena dia lebih tenang hidup sendiri.
Sejak awal mengutarakan niat untuk hidup mandiri, hal itu sudah ditentang oleh Syakil, Daddy-nya. Alasan pertamanya karena takut Zain semakin bebas dan sesuka hati, tapi selama tiga tahun terakhir pria itu mampu membuktikan jika dia tidak banyak tingkah.
Semua memang aman-aman saja, apartment hanya dia jadikan tempat untuk tidur. Sesekali Jessica datang, tapi tidak pernah sampai ke kamar karena Zain paling tidak suka siapapun masuk ke kamarnya.
Entah kenapa tadi malam Zain justru merusak citranya. Pria itu goyah, hanya karena ditawari sesuatu yang katanya baru oleh temannya, Zain justru merenggut kehormatan seorang gadis tak berdosa.
Beribu kali Zain bertanya, kenapa harus Nadin. Seakan tidak ada yang lain, Zain benar-benar bingung hendak bagaimana setiap kali menatap wajah gadis cantik yang dia ketahui sebagai incaran keponakannya. Jangan ditanya sebesar apa rasa bersalah Zain, jelas sangat amat besar tentu saja.
Begitu lama dirinya termenung, hingga tanpa sadar jika Nadin telah terbangun dan kini ketakutan. Entah kapan dia membuka mata, tapi yang jelas isakan tangisnya tedengar amat pilu pagi ini.
"Kumohon tenang, aku tidak akan menyakitimu."
Tadi malam tangisan Nadin lebih menyedihkan dari itu, tapi hati Zain sama sekali tidak terketuk. Sementara pagi ini, dia bahkan kebingungan melihat Nadin yang menangis tanpa suara. Seolah menahan sesuatu di ujung lidah, Nadin terpaku menatap Zain dengan matanya yang memerah.
Zain tak tega melihatnya, dia berusaha kembali mendekap, tapi saat itu tangisan Nadin justru pecah dan dia meraung meminta bantuan. Siapapun yang berada di posisi Zain jelas saja takut, terlebih lagi kala gadis itu berontak dan meraung sejadi-jadinya seraya memukuli dada Zain dengan sisa tenaganya.
Terpaksa, dia tidak punya pilihan lain dan dia khawatir jika seseorang mengetahui hal ini. Sebenarnya tujuan Zain mendekapnya bukan hanya melindungi diri, tapi berusaha menenangkan Nadin yang ketakutan seolah melihat hantu.
Benar saja, di tengah kekhawatiran Zain seorang perawat masuk demi memastikan keadaan pasien yang suara tangisannya terdengar hingga ke luar. Tidak ingin berakhir konyol dan membuat mencoreng nama baik keluarganya, Zain berpikir keras untuk menjawab pertanyaan wanita berseragam biru itu.
"Tidak apa-apa, Sus, istri saya terpukul karena Molly tidak pulang sejak satu minggu lalu," jelas Zain seraya mengusap pelan kepala Nadin yang sengaja dia tekan ke dadanya hingga tak bisa berteriak ataupun menyampaikan pembelaan versi dirinya.
"Molly? Siapa Molly?" Zain berucap asal, dia juga tidak tahu siapa Molly.
"Kucing kami," jelasnya lagi tanpa keraguan sama sekali.
"Yakin, Pak?"
"Hm, nanti juga tenang sendiri ... biasa, istri saya pagi-pagi memang begini, maaf jika tidak nyaman." Zain mengaku seolah mengamuk pagi hari adalah kebiasaan Nadin.
Lancar sekali dia beraksi, berbagai kebohongan dilakukan dalam satu waktu dan tampak santai saja kala menjalaninya. Lucunya, perawat itu percaya saja akan pengakuan Zain dan berlalu pergi tanpa kecurigaan sedikit saja.
Selang beberapa saat setelah wanita itu pergi, barulah Zain melonggarkan pelukan hingga Nadin bisa mendorong tubuhnya menjauh. Bagaimana bisa Zain sesantai itu, padahal saat ini napasnya saja membuat Nadin ketakutan.
Kendati demikian, pria itu tidak peduli dan dia berpikir akan lebih bahaya jika apa yang terjadi sampai terungkap ke pihak lain. Sama-sama menyelamatkan diri, Zain berusaha untuk bicara baik-baik pada Nadin yang menatapnya saja seolah tak sudi.
"Jangan mendekati saya, bicara dari sana ... saya bisa mendengar Anda."
Cukup lama Zain menunggu hingga Nadin melontarkan kalimat itu. Sudah tentu dengan wajah datar dan tatapan kosong tanpa harapan, apa yang terjadi semalam masih begitu membekas di benaknya.
Zain mengerti, pria itu mengikuti kemauan Nadin dan menahan diri untuk tidak mendekat. Menyebalkan sekali, kenapa harus dia bicara dari jarak sejauh ini, gerutu Zain dalam hati.
"Maaf."
Satu kata yang pertama kali terucap dari bibir Zain. Dia akui memang percuma, kata maaf takkan mungkin bisa mengembalikan keadaan. Layaknya pecahan kaca yang dengan cara apapun, tidak akan dapat utuh seperti semula.
Akan tetapi, sebagai lelaki yang sejak dulu dididik untuk memuliakan perempuan, Zain tidak ingin menambah dosanya. Walau tahu dari sorot mata Nadin takkan sudi memberi maaf, dia tetap lakukan itu.
Tidak hanya melontarkan kata maaf, Zain juga mengatakan akan bertanggung jawab atas perbuatannya semalam. Bukan dengan memberikan uang ganti rugi atau bayaran yang kerap dilakukan sebagian besar laki-laki sebagai penebus dosanya, Zain justru menawarkan sebuah pernikahan.
Nadin yang sejak tadi mendengar dengan seksama tercengang. Bertemu dengan Zain di kelas saja seolah jadi mimpi buruk, lalu bagaimana bisa mereka menjalani hidup sebagai pasangan? Sungguh tak pernah terpikirkan oleh Nadin sebelumnya.
Lagi pula bagaimana bisa dia menjalani hidup bersama Zain yang telah merenggut kehormatannya secara paksa. Terlebih lagi, saat ini Nadin memiliki tanggung jawab untuk menaati peraturan sebagai penerima beasiswa yang dia terima, dan salah-satu syarat utama selain mempertahankan nilai ialah tidak diperkenankan untuk menikah.
"Tidak perlu, Pak, menikah bukan jalan keluarnya." Saat ini, Nadin sudah bisa berpikir lebih tenang, setelah menimbang banyak hal dengan tegas Nadin menolak tawaran dosennya.
Bukannya senang, Zain justru mengeraskan rahang begitu Nadin menolaknya mentah-mentah. Seumur hidup, ini adalah penoolakan pertama yang dia rasakan, sungguh Zain merasa terhina.
Tak menyerah di sana, pria itu kembali berusaha dan meyakinkan Nadin untuk menerima tawarannya. Meski hatinya sedikit jengkel, tapi Zain berusaha tetap tenang karena memang melamar Nadin tidak semudah melamar wanita yang menginginkannya.
"Pikirkan masa depanmu, jangan egois."
"Saya yakin tidak mungkin hamil, kalaupun hamil, saya akan_"
Sejak tadi Zain menahan diri untuk bicara dengan jarak yang cukup jauh, kali ini dia kembali nekat mendekati Nadin hingga wanita itu berhenti bicara seketika. "Akan apa? Hm?" tanya Zain menatap lekat Nadin yang berusaha menghindari tatapannya.
Nadin juga bingung akan apa, dia hanya asal bicara, dia juga tidak yakin bagaimana nanti akhirnya. Yang, jelas kalimat itu dia gunakan sebagai penolakan karena memang tidak bersedia menerima lamaran Zain, itu saja.
Semakin dekat, jantung Nadin berdegub tak karu-karuan begitu merasakan hembusan napas Zain di pipinya. Jarak mereka memang sangatlah dekat, dan selama pria itu belum menjauh, selama itu pula Nadin tidak berani menatapnya.
"Kamu dengar baik-baik, hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin."
.
.
- To Be Continued -