Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
cowok dingin dan cewek aneh.
Bagas kembali ke lapangan basket dengan penampilan yang basah kuyup karena keringat dan rambut yang acak-acakan. Dia mendekati teman-temannya yang mulai muncul dan melakukan pemanasan.
Dito, Dika, dan April yang melihat Bagas hanya tersenyum melihat kondisi temannya itu.
"Lo abis kena hujan, Gas?" tanya Dito, sambil tersenyum lebar.
Bagas memasang muka kesalnya. "Iya, disiram sama nenek gayung," jawabnya santai.
Mendengar jawaban itu, seisi lapangan tertawa. Bagas hanya diam, sambil memasukkan bando yang dia temukan tadi ke dalam tasnya. Ia pun mengambil handuk dan mulai mengelap keringat di wajah serta tubuhnya.
Ketika semua fokus mempersiapkan latihan, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar gedung basket.
"Kakak!" suara itu memanggil, dan semua orang berhenti sejenak, menoleh ke arah pintu masuk.
April yang mendengar suara itu langsung meminta izin kepada pelatih untuk menemui gadis yang memanggilnya.
Saat April berjalan ke arah pintu, ia tersenyum melihat adiknya, Cila, yang sudah ada di sana. Cila tampak berantakan dan kotor, dan April segera menghampirinya.
"Lah, kamu kenapa, Dek? Kucel banget," tanya April sambil membersihkan baju Cila yang penuh debu.
"Abis ketemu cowok aneh," jawab Cila dengan suara keras, lalu menatap tajam ke arah Bagas yang masih duduk santai.
Dika dan Dito yang mendengar itu saling melirik, keduanya saling sikut, menandakan akan ada masalah baru.
Bagas, yang sedang fokus membersihkan dirinya, tidak memperhatikan apa yang Cila katakan.
"Hah, cowok aneh?" tanya April, masih bingung dengan perkataan adiknya.
"Iya, Kak. Cowok aneh, super dingin!" ucap Cila dengan nada kesal, seraya melirik tajam ke arah Bagas.
"Ya udah, malas lama-lama di sini, bikin gerah," lanjut Cila sambil mengambil sepatu yang dibawa April.
Cila lalu berbalik untuk pergi, meninggalkan April yang masih kebingungan.
"Heh, Dek, kamu mau ke mana?" tanya April, memanggil adiknya yang sudah berjalan pergi.
"Pulang lah, mau ke mana lagi," jawab Cila tanpa menoleh, tetap melanjutkan langkahnya.
April menyadari bahwa Cila salah jalan dan tidak menuju keluar lapangan. "Salah jalan, pulang! Bukan ke sana!" teriak April.
Mendengar itu, semua orang di dalam lapangan tertawa melihat kelakuan Cila yang kocak. Cila pun berbalik, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, dan berlari cepat keluar, malu.
April hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah adiknya yang memang selalu aneh sejak dulu. Meskipun begitu, April sudah terbiasa dengan keanehan Cila dan hanya bisa tersenyum geli.
Berikut sambungan naskah yang lebih rapi agar alur cerita dapat dipahami dengan baik:
Cila keluar dari gedung basket dan berjalan menuju mobil Avanza putih yang terparkir di halaman sekolah Pelita Bangsa. Di sana, teman-temannya sudah menunggu dengan berbagai ekspresi.
"Lo ke mana aja sih, Cil? Lama banget!" tegur Caca, gadis berperawakan tomboy dengan topi terbalik di kepalanya.
Cila hanya tersenyum centil dan duduk di kursi kemudi. Desi, yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sambil melihat foto-foto vespa tua di internet, mengangkat kepala sesaat, earphone masih menempel di telinganya, dan lolipop di mulutnya.
"Berisik banget sih lo, Clay, dari tadi nyanyi mulu. Pusing kepala aku," ujar Ayu dengan suaranya yang lembut, mencoba menghentikan nyanyian teman mereka, Clay.
Clay hanya tersenyum, "Lah, nggak apa-apa, keles! Sesekali aja. Lagian, minggu depan kan aku ikut kontes nyanyi se-Jakarta. Kalau menang, kan lumayan buat traktir kita semua."
Mendengar itu, mereka semua tertawa lepas.
"Ya udah, kita ke mana dulu nih?" tanya Cila sambil memegang setir.
"Makan!" teriak Clay dari kursi depan.
Cila mengangguk, menyalakan mesin mobil, dan mereka berlima melajukan mobilnya, meninggalkan halaman sekolah dengan riang.
Di sisi lain, suasana lapangan basket Pelita Bangsa mulai serius. Pelatih tim basket berdiri di tengah lapangan, memanggil seluruh anggota tim untuk berkumpul. Wajahnya menunjukkan keseriusan yang jarang terlihat.
"Sore, anak-anak," sapa pelatih dengan suara berat.
"Sore, Pak!" balas seluruh anggota tim serempak.
Pelatih mengangguk puas melihat semangat mereka. "Baik, Bapak ingin menyampaikan sesuatu sebelum kita melanjutkan sesi latihan. Dalam waktu setengah bulan lagi, kita akan menghadapi kualifikasi basket tingkat SMA. Dua belas tim terbaik akan masuk ke liga basket tingkat kota. Jadi, Bapak harap kalian semua berlatih dengan gigih."
Para pemain mengangguk, sebagian dari mereka terlihat menelan ludah, merasakan beban tanggung jawab di pundak mereka.
"Latihan kali ini akan lebih intens. Tumpuan tim sekarang ada di tangan kalian, terutama kalian yang di kelas satu dan kelas dua, karena senior di kelas tiga sudah tidak bisa ikut bermain lagi. Mereka harus fokus pada ujian akhir dan persiapan kuliah. Apa kalian mengerti?" tanya pelatih dengan tegas.
"Mengerti, Pak!" jawab mereka dengan lantang.
"Baik. Jaga kondisi kalian, dan jika ada keluhan terkait otot atau hal lain yang mengganggu, segera laporkan. Kalian harus tetap prima untuk kualifikasi ini. Sekarang, kita mulai latihan!"
Seluruh anggota tim bersorak kecil sebelum kembali fokus, siap menjalani latihan keras yang menanti mereka. Bagas menarik napas dalam, mengencangkan tali sepatunya, dan menatap lapangan dengan semangat baru. Tantangan besar sudah di depan mata, dan dia tahu, ini saatnya membuktikan kemampuannya.
Berikut sambungan naskah yang lebih rapi agar alur dan percakapan dalam cerita menjadi jelas dan mudah dipahami:
Pelatih berdiri di tengah lapangan, mengumpulkan seluruh pemain di luar garis tembakan tiga poin. Wajahnya serius, menandakan sesi latihan kali ini tidak main-main.
"Baik, sekarang satu per satu kalian akan maju dan mencetak dua poin dari dalam garis serang. Kalian harus memasukkan sebanyak mungkin bola ke dalam ring dalam waktu lima menit," ujar pelatih sambil memperhatikan pemain-pemainnya dengan tajam.
Para pemain mulai maju satu per satu. Sorakan dan semangat membara terdengar saat mereka berusaha sekuat tenaga mencetak poin. Pelatih mengamati setiap gerakan mereka, mencatat siapa saja yang menonjol dalam kecepatan, ketepatan, dan daya tahan.
Setelah semua pemain menyelesaikan tantangan, pelatih mengumumkan hasilnya.
"Dengan skor terbanyak, peringkat pertama adalah April, diikuti oleh Rendi, Dika, Bagas, dan Diki. Itu adalah lima pemain terbaik di tantangan ini," kata pelatih sambil mengangguk puas.
Beberapa pemain saling melirik, senang namun juga merasa tertantang untuk lebih baik lagi.
"Baik, kita lanjutkan ke simulasi mini game berikutnya. Nama-nama yang disebut, maju satu langkah dari barisan: April, Bram, Alan, Aris. Berikutnya, Dika, Diki, Randi, Bagas, dan Dodot," ujar pelatih dengan nada tegas.
Pemain-pemain yang dipanggil maju ke depan, berdiri dengan postur siap. Suasana hening sejenak, hanya terdengar deru napas mereka yang masih tersengal setelah latihan sebelumnya.
"Kita akan simulasi mini game. Ingat, ini bukan hanya soal siapa yang paling banyak mencetak poin, tapi bagaimana kalian bisa bekerja sama dan mempertahankan pertahanan tim. Kekompakan adalah kunci. Apa kalian mengerti?" tanya pelatih, matanya berkeliling menatap mereka satu per satu.
"Siap, Pak!" jawab para pemain serempak, menunjukkan semangat mereka.
Pelatih mulai mengatur strategi. "April, kau sebagai playmaker, atur ritme permainan. Bagas, fokus pada pemain lawan yang kau jaga. Kunci pergerakannya, jangan beri ruang sedikit pun. Ikuti ke mana pun dia pergi, dan jangan biarkan dia lepas. Buat dia merasa frustrasi dengan penjagaanmu. Mengerti?"
"Mengerti, Pak," jawab Bagas dengan mantap, sorot matanya penuh tekad.
Pelatih melanjutkan, "Dika, Diki, Randi, kalian harus cepat menutup celah dan siap membantu pertahanan. Komunikasikan setiap pergerakan. Ingat, jangan ada yang bergerak sendirian tanpa sinyal. Kalian adalah satu kesatuan."
"Siap!" balas mereka lagi dengan suara yang lebih lantang.
Latihan dimulai. Pelatih memberi aba-aba, dan permainan simulasi berjalan dengan intensitas tinggi. Bagas menjaga lawannya dengan ketat, mengikuti setiap gerakannya seperti bayangan. April dengan cekatan mengatur serangan, memberikan umpan-umpan cepat. Dika dan Diki mengisi posisi pertahanan dengan sigap, sementara Randi selalu siap menutup serangan mendadak.
Bagas merasakan adrenalin mengalir di seluruh tubuhnya. Fokusnya tidak terganggu, setiap gerakan lawannya diantisipasi dengan cepat. Ia tahu ini bukan sekadar latihan, tetapi persiapan untuk kualifikasi yang semakin dekat. Pelatih memandang dari pinggir lapangan, senyum tipis di bibirnya, tanda kepuasan melihat timnya mulai menunjukkan potensi mereka.