"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarga
Sungguh di luar perkiraan Liana. Gadis itu berpikir kursi di ruang makan itu akan terisi penuh. Tapi faktanya, hanya ada lima 5 orang asing di sana. Padahal waktu pertama kali datang, di ruang makan itu ada sepuluh buah kursi.
Ada dua pria dewasa beda generasi, dengan style yang berbeda pula. Mereka duduk di samping kakek Sudibyo. Yang sebelah kanan terlihat lebih berumur, mengenakan setelan jas navy dengan kemeja warna biru muda. Kemudian sisi kiri ada pria yang lebih muda, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung sampai siku. Membuat guratan otot-otot lengannya terpampang nyata.
Seorang perempuan berhijab duduk di samping pria dengan jas rapinya. Sedangkan perempuan dengan dress seksi, yang mengingatkan Liana pada ibu tirinya, bersanding dengan pria yang lebih muda. Seorang perempuan lagi berada di antara mereka, dengan dress sederhana persis dengan selera Liana. Ketiganya tampak cantik dan modis. Begitu pun perempuan berhijab yang sedari tadi tersenyum menatap Liana.
Kakek Sudibyo lebih dulu memperkenalkan Liana pada seluruh keluarganya. Pria berjas dan perempuan berhijab itu adalah pasangan suami istri Romi dan Ameena. Sedang di samping kiri kakek Sudibyo adalah cucunya, Haris dan Vanya. Seorang lagi bernama Alma, yang merupakan adik Haris.
Liana hanya menganggukkan kepalanya saat kakek Sudibyo menyebut dan menunjukkan satu persatu keluarganya. Kemudian Liana duduk di kursi kosong yang berada di antara bu Ameena dan Alma.
Harusnya hidangan yang ada di meja panjang itu bisa menggugah selera. Apalagi ada beberapa makanan kesukaan Liana di sana. Kare ayam dan gurami bakar. Namun, suasana hati Liana dan isi kepalanya yang terus bergemuruh hebat di dalam sana, membuatnya tidak nafsu makan malam itu. Sehingga dia hanya mengambil sedikit nasi dengan tumis pakcoy tahu putih.
Setelah acara makan bersama, Liana kembali ke kamarnya. Dengan alasan kepalanya yang pusing, Liana bisa menghindar dari obrolan keluarga yang harusnya dia ikuti selepas makan bersama.
"Aku akan bawakan dia obat, pii." ujar bu Ameena.
"Iya, pergilah. Temani Liana di kamarnya." balas kakek Sudibyo.
"Biar aku saja, maa." sahut Karin.
"Mamamu saja, Karin. Kakek ingin kamu pijat pundak kakek, rasanya berat sekali." kata kakek Sudibyo.
"Lagian sih, sudah berumur tetap maksa kerja kayak anak muda saja." celetuk Karin.
"Huuuss...!! Mulutnya...!" tegur sang mama lembut.
Karin hanya tersenyum nakal pada mamanya. Lalu dia menggandeng sang kakek menuju ruang keluarga. Diikuti oleh yang lainnya.
Tak butuh waktu lama bagi bu Ameena untuk sampai di lantai 2. Saat ini dia sudah duduk berdampingan dengan Liana.
"Kamu sedih, ya...?" bu Ameena membuka obrolan.
Namun Liana hanya diam.
"Nak...!" bu Ameena meraih tangan Liana. Lalu mengusapnya dengan lembut.
Hati Liana sedikit luluh karena sentuhan itu. Mengingatkannya pada sentuhan almarhumah ibu kandungnya.
"Liana harus bahagia mulai hari ini. Ayah kamu, menginginkan kamu berada di sini bukan tanpa alasan. Dan bukan pula untuk membuat kamu terpuruk dalam kesedihan." ujarnya.
Liana yang tadinya menunduk, berangsur mengangkat kepalanya. Lalu menatap lekat mata indah bu Ameena.
"Ibu tahu kenapa aku dibawa kemari?" tanya Liana.
"Tentu saja, sayang. Dan ibu sangat senang." bu Ameena tersenyum bahagia. Setelah itu dia tampak memainkan bola matanya. Merasa ada sesuatu yang janggal.
"Ah, tidak..., tidak...!" ujarnya. "Jangan panggil ibu, panggil saja mama. Mau kan...?" imbuhnya.
"Bukannya aku akan menjadi istri kakek, kenapa harus memanggilnya mama?!"
"Panggilan itu lebih enak di dengar. Karena yang memanggil ibu biasanya para pekerja. Dan kamu bukan bagian dari mereka. Kamu adalah anggota baru keluarga kami. Mengerti, sayang...?" bu Ameena menoel hidung Liana.
Liana hanya mengangguk. Dia ingin sekali menanyakan banyak hal. Namun, dia merasa tak enak hati. Sehingga sementara ini dia memilih untuk diam.
___
Sementara itu obrolan di ruang keluarga diputus oleh kakek Sudibyo.
"Haris, ikut kakek ke kamar sebentar!" kata sang kakek.
Haris menatap Vanya, lalu menepuk tangan Vanya dengan lembut. Dan Vanya mengangguk saja.
Di kamar kakek...
"Bagaimana, Ris? Apakah Vanya sudah bersedia meresmikan pernikahan kalian?" tanya kakek Sudibyo.
Haris sudah bisa menebak, bahwa sang kakek akan mempertanyakan kembali pertanyaan yang sama.
"Keeek..."
Kakek memotong ucapan Haris dengan mengangkat tangannya.
"Cukup, kakek sudah tahu jawabanmu." ada gurat kekecewaan di wajah kakek Sudibyo.
"Sampai kapan seperti ini? Apa yang sebenarnya tujuan kalian menikah, hah?! Kalian sudah sama-sama dewasa. Ini sudah berjalan setahun lebih, bahkan kalian belum bisa meresmikan ikatan kalian. Kakek heran, seorang wanita kok tidak mau nikah sah. Aneh!" kakek terus mengomel seperti yang sudah-sudah.
"Kakek, aku mohon kakek mengerti. Orang tua Vanya belum bisa memberikan restunya." begitu dalih Haris.
"Anak muda jaman sekarang. Tidak ada restu pun nekat nikah sirilah, kawin larilah, buat bayi duluanlah. Heran!!" celoteh kakek.
"Setidaknya kan Vanya tidak hamil duluan kek." sahut Haris.
"Haaah, sudahlah lupakan Vanya. Kakek mau bahas soal Liana." kata kakek.
"Kenapa? Kakek mau minta izin buat menikahi daun muda itu?" pertanyaan itu tiba-tiba muncul di otak Haris, sehingga keluar begitu saja dari mulutnya.
Tuk...!!
Tongkat kakek melayang pelan di kepala cucunya itu. Haris hanya mendengus kesal tanpa bisa memarahi sang kakek.
"Kakek ingin kamu menikah dengannya."
Degh...!!
"Apa maksud kakek?!" sentak Haris. "Tidak, kek. Haris tidak akan menduakan Vanya. Dia akan jadi istri satu-satunya Haris!" begitulah penolakan Haris.
"Kakek tidak terima penolakan. Kamu lupa isi perjanjian sebelum kamu minta restu kakek untuk menikahi gadis tidak jelas itu?!" kakek mengingatkan Haris dengan kejadian yang sudah lama lewat.
"Setelah setahun kalian belum meresmikan pernikahan itu. Maka kamu harus menikah dengan perempuan pilihan kakek." tambahnya.
Rupanya Haris melupakan hal itu. Dia terbuai dengan indahnya pernikahan sirinya, sehingga tidak mengingat perjanjian itu.
"Tidak, kek. Tolong beri Haris waktu lagi. Haris akan bicarakan ini dengan Vanya. Haris yakin, setelah mendengar hal ini Vanya akan setuju menikah sah dengan Haris. Tolong, kek...!!" Haris memohon sambil menggenggam tangan keriput kakeknya.
"Baiklah, tidak lebih dari seminggu. Paham!!" ucap kakek dengan tegas.
"Menikah siri itu tidak pernah terjadi dalam keluarga kita, Haris. Kamu satu-satunya yang merusak citra keluarga dengan pernikahan yang kamu lakukan. Apa kamu tahu...? Di mata orang di luaran sana, kamu sudah merusak masa depan Vanya, kamu terlihat sengaja mempermainkan Vanya dengan cara menikah siri dengannya. Padahal semua itu kemauan Vanya."
Haris pun terdiam mendengar semua penuturan kakek. Karena dia merasa semua yang kakek ucapkan tidak sepenuhnya salah.
"Haris minta maaf, kek." gumam Haris pelan.
Kakek hanya diam dengan mata berkaca-kaca. Hatinya terasa begitu sakit, karena dia merasa tidak bisa mendidik cucu kebanggaannya. Dia saja merasa sekecewa itu, bagaimana dengan putrinya, bu Ameena...?! Kakek Sudibyo tidak bisa membayangkannya. Kesakitan yang putrinya itu rasakan, tersamarkan dengan wajah teduhnya yang beberapa tahun belakangan ini memutuskan untuk hijrah.
"Minta maaflah pada mamamu. Hatinya pasti lebih sakit dibanding dengan kekek."
Kalimat itu membuat hati Haris bagai ditusuk sembilu. Seketika dia membayangkan wajah damai sang ibu yang berderai air mata.
......................