Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Mitha menatap Anggie dengan tatapan tajam, seolah ingin memastikan kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. "Lalu, bagaimana dengan reaksi dewan komisaris dan direksi?" tanyanya, suaranya mengandung nada ketidakpercayaan yang sulit disembunyikan.
Anggie mengangkat bahunya, sedikit canggung, namun berusaha menjelaskan. "Mereka semua setuju dengan usulan Pak Ronny. Mereka melihat ini sebagai langkah yang tepat, mengingat situasi yang ada," jawab Anggie, mencoba berkilah.
Mitha terdiam sejenak, mencoba menahan ledakan emosi yang sudah hampir mencapai puncaknya. "Jadi, semua mendukung keputusan ini tanpa ada yang mempertanyakan?" tanyanya lagi, kali ini lebih rendah namun semakin tajam.
Anggie mengangguk pelan, "Iya, Bu. Semua setuju dengan keputusan Pak Ronny. Dengan absennya Pak Johan, dia memang memiliki wewenang penuh untuk mengubah struktur perusahaan. Mereka percaya ini akan membawa perusahaan ke arah yang lebih baik."
Mitha merasakan darahnya berdesir, tak tahu apakah itu karena frustrasi atau kemarahan. "Mereka benar-benar yakin dengan keputusan ini?" ujarnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada Anggie. "Mereka benar-benar percaya bahwa dengan menurunkan posisiku ke manajer tim pengembangan dan riset adalah langkah terbaik?"
Anggie tampak ragu sejenak, seolah ingin memberikan jawaban yang lebih menenangkan. "Saya rasa... mereka tidak melihat ini sebagai penurunan posisi, Bu. Lebih kepada penyesuaian, sebuah langkah untuk memberi ruang bagi pertumbuhan perusahaan di masa depan."
Mitha tersenyum sinis, namun itu tidak sampai di matanya. "Pertumbuhan perusahaan, ya?" gumamnya. "Atau ini hanya soal mengembangkan kekuasaan Ronny lebih dalam lagi?"
Anggie tak bisa menjawab, hanya terdiam menunggu reaksi Mitha. Di dalam benaknya, dia tahu bahwa keputusan ini lebih dari sekadar soal perusahaan. Ini adalah soal siapa yang memegang kendali, siapa yang memimpin, dan siapa yang sebenarnya diinginkan di posisi puncak.
"Ronny sudah cukup berkuasa di sini," kata Anggie dengan suara yang hampir tak terdengar, seperti sebuah pengakuan yang tidak bisa dia hindari.
Mitha mengangguk pelan, matanya tajam menatap keluar jendela, menatap dunia yang kini terasa begitu berbeda dari sebelumnya. "Baiklah," katanya pelan, namun penuh tekad. "Aku akan menunjukkan siapa yang benar-benar berkuasa di sini."
...***...
Mitha berdiri dari kursinya dengan napas dalam-dalam, menahan rasa frustrasi yang hampir meluap. Dia sudah cukup mendengarkan penjelasan yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Anggie," katanya dengan suara tegas, "minta petugas kebersihan untuk membersihkan ruanganku, ya."
Anggie tampak terkejut mendengar permintaan Mitha yang sangat langsung, tetapi setelah beberapa detik diam, dia mengangguk dan meraih ponselnya. Namun, sebelum dia bisa mengetik nomor, Mitha melanjutkan, "Pasti ada banyak debu dan kotoran di ruang itu. Aku tidak bisa membersihkan semuanya sendiri."
Namun, Anggie menatapnya dengan wajah datar dan sedikit ragu. "Sebenarnya... Pak Ronny sudah memberikan instruksi agar Bu Mitha membersihkan ruangan itu sendiri. Tanpa bantuan petugas kebersihan," katanya pelan, suaranya hampir terdengar seperti sebuah permohonan maaf.
Mitha menatap Anggie, matanya yang tajam menelusuri wajahnya sejenak sebelum mengerutkan alis. "Apa maksudmu?" Suaranya hampir tak terdengar, namun cukup untuk membuat Anggie merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di udara.
"Pak Ronny... ingin Bu Mitha melakukan semuanya sendiri. Dia mengatakan itu sebagai bagian dari 'penyesuaian diri' dengan posisi baru," jawab Anggie dengan suara pelan, hampir tidak berani menatap mata Mitha.
Mitha menahan napas sejenak. Keputusan itu terasa seperti sebuah penghinaan langsung. Dia tidak hanya dipindahkan ke posisi yang lebih rendah, tetapi juga diharuskan untuk merendahkan dirinya dengan cara ini. Membersihkan ruang bekas gudang itu seorang diri tanpa bantuan siapa pun, seolah-olah dia hanyalah seorang pekerja kasar yang tak dihargai.
"Jadi, Ronny ingin aku membersihkan semuanya sendiri?" kata Mitha, suaranya mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. "Tanpa bantuan siapa pun?"
Anggie mengangguk, wajahnya menunjukkan rasa tidak nyaman. "Itu yang Pak Ronny katakan, Bu," jawabnya pelan. "Dia ingin Bu Mitha menunjukkan dedikasi yang lebih untuk perusahaan, katanya seperti itu."
Mitha merasa amarahnya meledak begitu saja, tak bisa lagi ia menahan diri. Keputusan Ronny untuk memindahkannya ke ruang bekas gudang dan mengharuskannya untuk membersihkannya sendiri adalah penghinaan yang tak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan langkah cepat dan tegap, ia berbalik dan menuju ke ruangan Ronny tanpa berpikir panjang.
Langkah kakinya menggema di koridor yang sepi, Mitha tidak ingin lagi menjadi korban dari permainan licik Ronny.
Sesampainya di depan pintu ruangan Ronny, Mitha tidak ragu sedikit pun, langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Pintu itu terbuka dengan suara berderit, dan di dalamnya, Ronny tengah duduk santai di belakang mejanya, seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Begitu Mitha masuk, tatapannya langsung menyorot tajam Ronny yang hanya mengangkat alisnya, seolah tidak terkejut dengan kedatangan Mitha.
Mitha berdiri di depan meja Ronny, suaranya terpantul dingin dan tajam. "Ronny," katanya tegas, "apa maksud semua ini? Kenapa aku dipindahkan ke ruang bekas gudang dan disuruh membersihkannya sendiri?"
Ronny menyandarkan tubuhnya dengan santai, lalu tertawa kecil, suaranya penuh ejekan. "Itu sudah pantas untukmu, Mitha. Ruangan itu sesuai dengan statusmu sekarang," ujarnya sambil menyeringai. "Harusnya kau bersyukur aku masih memberi kesempatan untukmu kembali kesini."
Mitha tidak bisa menahan napas yang memburu. Rasanya tubuhnya memanas, marah sekali. "Aku tidak butuh kemurahan hatimu" katanya, suaranya bergetar karena kesal. "Aku datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk dibuang ke ruang kecil seperti itu! Aku tidak akan menerima perlakuan seperti ini. Kembalikan posisiku seperti semula, dan berikan aku ruanganku yang dulu!"
Mata Ronny menyempit, namun dia tetap tenang, bahkan terkesan lebih angkuh. "Posisi? Ruangan?" katanya dengan nada mencemooh. "Mitha, kau terlau memandang tinggi dirimu sendiri. Kau seharusnya tahu diri tentang posisimu disini. Kau harus sadar bahwa perusahaan ini bukan milikmu. Ini milik keluarga Handoko. Aku yang memegang kendali di sini, dan kau tidak lebih dari seorang karyawan biasa."
Kata-kata itu seperti pukulan di hati Mitha. Rasa sakit itu datang tiba-tiba, dan meskipun dia berusaha tetap tenang, sulit baginya untuk tidak merasa dipermalukan. "Aku tidak akan menerima ini," ujarnya dengan suara yang mulai bergetar, meskipun penuh tekad. "Aku akan mencari cara agar semua ini kembali ke tempatnya."
Ronny memandangnya dengan tatapan penuh amarah. Tangannya mengepal, dan otot-otot wajahnya menegang, menahan ledakan kemarahan yang hampir tidak bisa ia tahan. “Kau berani melawanku?” suaranya bergetar karena kemarahan. “Keluar sekarang juga, atau aku akan membuatmu menyesal!”
Mitha hanya berdiri diam, tatapannya tak pernah lepas dari wajah Ronny yang semakin keras.
Akhirnya, Ronny menggeram, mundur beberapa langkah, dan duduk kembali di kursinya dengan ekspresi kesal. “Kau memang keras kepala, Mitha. Tapi jangan berpikir aku akan membiarkanmu begitu saja,” katanya dengan suara serak, seolah sudah kehabisan kata-kata. “Lakukan apa yang kamu mau, tapi jangan harap aku akan memaafkan sikapmu yang kurang ajar hari ini"
Mitha hanya menatapnya sesaat sebelum berbalik dan keluar dari ruangan itu, kembali menuju ruangan bekas Gudang yang akan menjadi kantor barunya.
...***...
Saat Mitha sampai di depan pintu ruang bekas gudang itu, dia menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu dengan perlahan. Pemandangan yang terbentang di depannya membuatnya terhenyak. Ruangan itu penuh dengan debu, tumpukan barang yang tak terpakai, dan dinding yang terlihat sudah lama tidak tersentuh.
Gudang yang semula berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang-barang lama ini kini menjadi tempat yang sangat jauh dari kenyamanan. Bau pengap menyengat hidungnya, disertai dengan aroma kelembapan yang memenuhi udara. Kotoran dan debu menutupi hampir setiap permukaan, sementara tumpukan barang bekas yang tidak teratur membuat ruangan itu tampak lebih seperti tempat pembuangan.
Tidak ada yang bisa dipakai. Semua barang tampaknya harus dibersihkan terlebih dahulu, dan dari mana ia harus mulai? Langkah kaki pertamanya di atas lantai berdebu meninggalkan jejak, menambah rasa jengah yang sudah ada di hatinya.
Mitha mengangkat sebuah kotak tua dari sudut, menyingkirkan tumpukan barang yang menutupi jalan. Ia terbatuk sedikit karena debu yang beterbangan ke udara, tapi segera mengusap tangannya di pakaian, mencoba membuang rasa risih yang menghantui.
"Butuh bantuan?" tanya seseorang dibelakang Mitha yang membuat Mitha menoleh ke arah sumber suara, menatap tak percaya.
Mitha terkejut, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di ambang pintu yang gelap dan pengap itu, berdiri beberapa wajah yang sangat familiar—anggota tim lamanya. Mereka tersenyum dengan penuh semangat, membawa ember, kain pel, sapu, dan berbagai alat kebersihan lainnya.
"Kami datang untuk membantu," kata salah seorang dari mereka, seraya mengacungkan gagang sapunya ke udara.
...****************...
aku kl masalh bayi di adopsi hnya untuk kepentingan sungguh gk tega. aku gk setuju kl yg bgini. tari bukan tulus ma si bayi tp modus. dah di kasih penyakit ma karma bkn insyaf mlh makin menjadi.