Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Pertemuan Pertama
Aira merasakan jantungnya berdebar-debar saat ia melangkah memasuki kafe tempat Raka menunggunya. Ini adalah kali pertama mereka akan bertemu secara resmi setelah perjodohan itu diumumkan, dan meski hatinya penuh kekhawatiran, Aira mencoba menjaga ketenangannya. Kafe itu sepi, hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing, tetapi semua itu tidak mampu menghilangkan kegugupannya.
Saat ia melihat sosok Raka duduk di sudut ruangan, pandangannya langsung terfokus. Raka duduk dengan tenang, wajahnya tanpa ekspresi, seakan-akan pertemuan ini hanyalah hal sepele baginya.
“Aira,” Raka menyapanya singkat, tatapan dinginnya mengintimidasi.
Aira mengangguk pelan, duduk di hadapannya dengan senyum kecil. “Terima kasih sudah mau bertemu,” katanya dengan sopan.
Raka menatapnya dengan mata tajam yang tak terbaca. “Aku di sini karena ini yang diinginkan oleh orang tua kita,” ujarnya datar. “Jadi, langsung saja. Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Aira terdiam sejenak, berusaha mengumpulkan kata-kata. “Aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh, Raka. Kalau kita akan menikah, setidaknya kita harus tahu satu sama lain, kan?”
Raka menyilangkan tangan di depan dada, wajahnya tanpa emosi. “Kamu yakin ingin mengenalku lebih jauh, Aira? Karena, seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, pernikahan ini hanya bagian dari rencana besar orang tua kita. Tidak ada tempat untuk cinta atau keintiman di sini.”
Aira merasa ada sesuatu yang menusuk hatinya mendengar kata-kata itu. Namun, ia menolak untuk menyerah. “Aku tahu. Tapi, tidak bisakah kita mencoba untuk membangun hubungan ini dengan lebih baik? Aku tidak ingin hidup dalam ketidakpastian, Raka.”
“Ketidakpastian?” Raka mengangkat alisnya. “Aira, hidupku sendiri penuh dengan batasan dan aturan yang harus aku ikuti. Jadi, jika kamu ingin hubungan ini menjadi lebih baik, kamu harus siap untuk menghadapi kenyataan di balik nama keluargaku.”
Aira mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. “Apa maksudmu, Raka? Apa yang sebenarnya terjadi di keluargamu?”
Raka menatapnya dalam diam selama beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan, “Keluargaku memiliki pengaruh yang besar, Aira. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam kekuasaan dan kendali penuh. Aku… tidak bebas, dan pernikahan ini hanyalah satu langkah kecil dalam rencana besar mereka.”
Aira terkejut. “Jadi, kamu hanya boneka dalam rencana mereka?”
Raka tersenyum pahit. “Kamu cepat memahami situasinya. Ya, boneka, pion, apapun sebutannya. Dan sekarang, kamu juga akan menjadi bagian dari permainan ini.”
Kata-kata itu membuat Aira merasakan sensasi ketakutan yang tak bisa ia jelaskan. “Permainan? Apa sebenarnya yang mereka rencanakan?”
Raka menggeleng, ekspresinya datar. “Kamu tidak perlu tahu detailnya sekarang, karena semakin kamu tahu, semakin sulit hidupmu. Yang perlu kamu lakukan adalah menjalani peranmu dengan baik dan bersikap seolah-olah kamu puas dengan kehidupan ini.”
Aira merasa ada kemarahan yang mendidih di dadanya. “Jadi, aku hanya harus berpura-pura bahagia dan mengikuti semua yang mereka inginkan? Apa kamu tidak pernah berpikir untuk melawan, Raka?”
Raka tersenyum sinis, tetapi ada kesedihan yang terpendam di balik matanya. “Melawan? Di dunia ini, melawan artinya menghancurkan diri sendiri, Aira. Keluargaku punya kekuatan untuk membuat siapa pun tunduk pada keinginan mereka.”
---
Percakapan itu berakhir dalam keheningan yang canggung. Aira menyadari betapa dalam luka yang disimpan Raka, tetapi ia juga merasakan amarahnya sendiri yang tumbuh. Ia tidak ingin hidup dalam bayang-bayang kekuasaan keluarga Raka, tetapi ia juga tidak tahu harus berbuat apa.
Setelah beberapa saat, Aira mencoba mengalihkan topik. “Baiklah, kalau begitu, apa rencanamu setelah kita menikah?”
Raka menatapnya lama sebelum menjawab. “Rencanaku sederhana. Aku akan menjalani pernikahan ini sesuai dengan keinginan mereka. Aku akan menjaga tampilan yang baik di depan publik dan menjalankan peranku sebagai suami yang sempurna di mata mereka. Tapi di luar itu, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa.”
Aira terdiam, merasa semakin tertekan dengan situasi ini. Namun, ia tidak mau menyerah. “Mungkin aku juga bisa belajar untuk beradaptasi, Raka. Tapi setidaknya beri aku kesempatan untuk mengenalmu lebih baik. Mungkin, meskipun sulit, kita bisa menemukan cara untuk hidup dengan damai.”
Raka menghela napas, tampak seperti seseorang yang terlalu lelah untuk berharap. “Kalau itu yang kamu inginkan, kita bisa mencobanya. Tapi jangan berharap terlalu banyak, Aira. Aku tidak ingin kamu terluka karena ekspektasimu sendiri.”
Aira menatapnya dalam diam, merasa bahwa di balik dinginnya sikap Raka, ada seseorang yang terluka dan rapuh. Namun, ia tidak tahu apakah ia mampu mencapai hatinya yang tersembunyi di balik semua lapisan kegelapan ini.
Pertemuan pertama Aira dan Raka berakhir dengan Aira yang merasa semakin penasaran dan bingung. Raka membuka sedikit tentang kehidupan di keluarganya yang penuh kontrol dan rahasia, tetapi tetap menjaga jarak. Aira merasa bahwa ada lebih banyak hal yang belum diungkapkan, dan ia bertekad untuk menggali lebih dalam, meskipun itu berarti ia harus menghadapi bahaya yang mungkin mengintai di balik semua itu.
Aira mengambil napas dalam-dalam sebelum memasuki kafe tempat Raka menunggunya. Suara detak jantungnya nyaris menyamarkan langkahnya sendiri, setiap langkah terasa berat, namun ia bertekad untuk tetap tenang. Bagaimanapun, ini adalah pertemuan pertama mereka setelah berita perjodohan itu diumumkan—hal yang mengejutkan hidupnya seketika.
Di sudut kafe, duduk seorang pria dengan postur tegap dan wajah penuh ketenangan yang terkesan dingin. Raka. Sosoknya seolah menciptakan aura yang memisahkan dirinya dari keramaian. Melihatnya, Aira merasakan sedikit ketakutan, tetapi juga rasa penasaran yang tak bisa ia tahan.
Saat ia mendekat, Raka mendongak dan memberikan tatapan yang sulit ditebak. “Aira.” Suara beratnya menghentikan langkahnya sesaat.
Aira mengangguk dan duduk di hadapannya, mencoba tersenyum, walau gugupnya tak tersembunyi. “Terima kasih sudah mau bertemu,” katanya pelan.
Raka menghela napas, matanya menelusuri wajah Aira sejenak sebelum berkata, “Aku di sini bukan karena ingin. Orang tua kita yang memintanya.”
Seketika, Aira merasakan jantungnya seperti ditusuk. “Aku tahu,” jawabnya sambil menahan nada kecewa. “Tapi… kalau kita benar-benar harus menjalani perjodohan ini, bisakah kita setidaknya mencoba untuk saling mengenal?”
Raka menatapnya dengan sorot tajam. “Mengenalku, ya? Kamu yakin, Aira?”
Aira tertegun, namun mengangguk pelan. “Kenapa tidak? Kita tidak bisa terus seperti ini—asing satu sama lain.”
“Baik,” jawab Raka, senyum kecil yang hampir sinis tergambar di wajahnya. “Tapi jangan menyesal jika kamu tidak menyukai apa yang kamu ketahui.”
Aira mengerutkan alis, merasakan ada yang ganjil dalam nada suara Raka. Ada semacam peringatan yang tersembunyi. “Kenapa begitu?” tanyanya pelan.
Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan terlipat di depan dada. “Keluargaku bukan keluarga yang biasa, Aira. Dan pernikahan ini lebih dari sekadar ikatan antar dua orang. Ada rencana besar di baliknya.”
Aira merasa seperti ditarik ke dalam pusaran misteri yang tak terduga. “Rencana besar? Apa maksudmu?”
“Aku tidak bisa menceritakan semuanya,” jawab Raka dengan nada dingin. “Tapi yang pasti, kamu tidak akan hidup bebas setelah menikah denganku. Kamu akan hidup dalam bayang-bayang keluargaku, setiap langkahmu dipantau.”
Aira merasakan darahnya mendidih. “Jadi, ini bukan hanya perjodohan biasa? Aku hanya bagian dari rencana keluargamu?”
“Tepat.” Raka menatapnya tajam. “Dan semakin cepat kamu memahami itu, semakin baik untukmu.”
Mendengar itu, Aira merasa seperti sedang disudutkan. Emosi yang bercampur aduk memenuhi dadanya. Ia tidak ingin menjadi pion dalam permainan orang lain, tetapi ia tahu posisinya sulit. Namun, ia takkan menyerah begitu saja.
“Raka,” ucapnya, mencoba menahan amarah yang mulai tumbuh. “Kalau begitu, kenapa kamu setuju? Kenapa kamu tidak menolak seperti yang seharusnya bisa dilakukan?”
Raka terdiam sejenak, seolah pertanyaan itu mengganggunya. “Karena aku tidak punya pilihan, Aira.” Wajahnya berubah menjadi lebih serius. “Keluargaku memegang kekuatan yang lebih dari yang kamu bayangkan. Setiap keputusanku, setiap langkahku, dikendalikan oleh mereka.”
Aira terkejut. “Jadi kamu hanya… ikut aturan? Hidup tanpa kendali atas hidupmu sendiri?”
Raka hanya menatapnya, matanya kosong, seolah sudah terbiasa dengan penderitaan itu. “Mungkin kamu tidak akan pernah bisa memahami bagaimana rasanya hidup di bawah tekanan dan kendali.”
Aira merasakan simpati yang tak bisa ia tahan. Mungkin, di balik sikap dingin dan ketegasan Raka, ada seseorang yang terperangkap. “Tapi, Raka… apakah kamu tidak ingin mencoba mencari jalan keluar?”
Senyum kecil muncul di sudut bibir Raka, penuh sinisme dan sedikit kesedihan. “Jalan keluar? Tidak ada jalan keluar dari ini, Aira. Satu-satunya pilihan adalah menerimanya dan hidup dengan semua konsekuensinya.”
Saat percakapan mereka berakhir, Aira merasakan campuran antara simpati dan kekhawatiran terhadap Raka. Ia menyadari bahwa perjodohan ini lebih rumit dari yang dibayangkan. Saat Raka pergi, Aira hanya bisa menatap punggungnya dengan pikiran penuh pertanyaan—apakah ada harapan di balik rencana pernikahan ini, ataukah ia akan terus terperangkap dalam permainan kekuasaan keluarga Raka?