Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Dua Pernikahan, Dua Takdir
Pagi itu, langit memancarkan semburat warna keemasan, namun suasana di dalam istana tampak sunyi, jauh dari hingar bingar yang biasa mengiringi pernikahan bangsawan. Aluna—masih terjebak dalam tubuh Seo-Rin—tidak menyangka bahwa ia akan melewati hari yang sangat ganjil: pernikahannya dengan Pangeran Ji-Woon, yang berlangsung dalam kesederhanaan, hampir seperti pernikahan biasa tanpa kemegahan istana yang biasanya.
Di ruang yang didekorasi dengan sederhana, Aluna berdiri dengan gaun lembut berwarna putih gading, rambutnya disanggul rapi tanpa hiasan berlebihan. Di hadapannya, Pangeran Ji-Woon menatapnya dengan tatapan serius namun lembut. Sejak awal, ia tahu pernikahan ini tak pernah ada dalam naskah novel yang ia tulis. Apa yang ia hadapi sekarang adalah skenario yang benar-benar di luar kendalinya.
Saat upacara berlangsung, Pangeran Ji-Woon mengucapkan janji pernikahan yang singkat namun tulus, mengingatkannya bahwa pernikahan ini bukan hanya simbol ikatan politik, melainkan bentuk kepercayaannya pada Seo-Rin sebagai sekutu. Ketika Pangeran mengikatkan simpul pada gaun Aluna, suasana hening, seakan semua orang menghormati peristiwa itu dengan cara yang berbeda. Tak ada perayaan megah, hanya keheningan dan sorot mata penasaran dari beberapa pelayan yang hadir.
Usai pernikahan mereka, Aluna dibawa menuju paviliun kecil di bagian istana yang lebih tersembunyi. Di sana, ia akan tinggal sementara sebagai selir yang baru saja dinikahi, menempati posisi yang sebenarnya ia tolak dari awal. Semua itu membuatnya semakin bingung, terjebak antara peran Seo-Rin yang seharusnya antagonis dan realita perasaannya yang semakin rumit terhadap Pangeran Ji-Woon.
Namun, tak sempat merenung lebih lama, kabar mengenai pernikahan agung Pangeran Ji-Woon dan Kang-Ji yang akan digelar keesokan harinya sudah memenuhi seantero istana. Keesokan harinya, istana dipenuhi tamu undangan, keluarga kerajaan, serta para bangsawan yang datang dari seluruh negeri untuk menyaksikan upacara megah tersebut.
Aluna, yang kini sudah terikat pernikahan, menyaksikan dari kejauhan betapa megahnya pesta itu. Gemerlap dekorasi dan lantunan musik menyemarakkan aula utama istana. Kang-Ji tampak menakjubkan dalam balutan gaun putri mahkota berwarna emas yang elegan, dikelilingi oleh dayang-dayang yang sibuk mengatur segala sesuatunya dengan sempurna.
Saat upacara dimulai, Aluna merasakan sesuatu yang tak bisa ia gambarkan—seperti ada kekosongan yang tiba-tiba muncul. Pangeran Ji-Woon berjalan menyusuri aula dengan sikap yang tenang, namun tak lagi memandang ke arahnya. Hari itu adalah hari besar bagi Kang-Ji dan seluruh istana, yang kini menyaksikan terbentuknya pasangan bangsawan baru.
Di sela-sela upacara, Aluna melihat keluarga Seo-Rin yang ikut diundang. Mereka tampak anggun dalam balutan busana formal, namun pandangan mereka penuh ketidakpastian. Mungkin mereka juga terkejut dengan pernikahan mendadak ini, dan hanya bisa mengikuti perintah istana tanpa memahami alasan di baliknya.
Ibunya, yang berpenampilan tegar namun tampak mengandung kehangatan, sesekali melirik ke arah Aluna, seperti hendak berbicara namun tak berani mendekat. Sementara ayahnya, seorang pria yang tampak bijaksana, hanya menundukkan kepalanya dengan tatapan penuh hormat.
Di tengah upacara yang megah itu, Aluna tak kuasa menahan perasaan canggung yang berkecamuk dalam dirinya. Ia merasa seperti seorang pemeran pendukung yang tak diinginkan dalam panggung besar yang sebenarnya ia rancang sendiri.
Ketika acara hampir selesai, Pangeran Ji-Woon sempat melirik ke arahnya dari kejauhan, dengan tatapan yang sulit ia pahami. Di balik sikap dingin itu, seolah ada sesuatu yang tak terucap, namun jelas menunjukkan perasaan yang bertentangan.
Pernikahan megah antara Pangeran Ji-Woon dan Kang-Ji pun akhirnya selesai, diiringi dengan sorak-sorai para bangsawan yang menyambut pasangan baru itu. Aluna hanya bisa melihat dari balik pilar, merenungi jalan takdir yang telah berubah total dari rencana semula.
Baginya, ini adalah awal dari kehidupan di istana yang lebih rumit dari yang ia bayangkan, penuh dengan intrik, harapan yang tak terucap, dan ketidakpastian akan perasaan yang perlahan berubah di dalam hatinya. Di dalam alur cerita yang ia tulis, Seo-Rin seharusnya tetap menjadi musuh, namun kini ia tak lagi yakin pada peran apa yang akan ia mainkan selanjutnya.
*
Hari-hari setelah pernikahan megah antara Pangeran Ji-Woon dan Kang-Ji terasa berat bagi Aluna. Di istana, hiruk-pikuk para dayang dan pelayan yang sibuk memuji putri mahkota terdengar setiap saat, seolah seluruh penghuni istana berkumpul untuk mendukungnya. Kang-Ji, yang kini berstatus resmi sebagai putri mahkota, bergerak anggun di aula istana, tampil seperti ratu sejati. Namun, di balik sikapnya yang ramah dan elegan, Aluna dapat melihat tatapan sinis setiap kali mereka berpapasan.
Pangeran Ji-Woon kini sibuk dengan berbagai pertemuan kenegaraan yang diadakan untuk menyambut pasangan kerajaan baru. Sementara itu, Aluna dibiarkan dalam kesendirian, di sayap terpencil istana yang terasa dingin dan sepi. Namun, Pangeran Ji-Woon mengunjungi paviliunnya sesekali, kadang dengan alasan sekadar memastikan kabarnya. Walau kunjungan itu singkat, percakapan mereka membuatnya bertanya-tanya akan perasaan Pangeran Ji-Woon yang sesungguhnya.
Suatu sore yang cerah, di tengah rutinitasnya yang sunyi, Aluna menerima undangan dari putri mahkota, Kang-Ji. Aluna menghela napas panjang, menyadari bahwa undangan itu mungkin bukan sekadar kunjungan ramah. Ia menyadari betul bahwa posisinya sebagai selir membuatnya menjadi pusat perhatian—dan juga kecemburuan—bagi para wanita di istana.
Saat memasuki aula tempat putri mahkota menunggu, Aluna melihat Kang-Ji duduk di atas singgasana rendah, dikelilingi oleh para pelayan yang sibuk menyajikan teh dan makanan ringan. Senyumnya seolah menawarkan keramahan, namun Aluna bisa merasakan dinginnya pandangan Kang-Ji yang tersembunyi di balik wajahnya yang cantik.
“Seo-Rin,” Kang-Ji menyapa dengan nada ramah, meskipun intonasinya terdengar sarkastik. “Aku dengar kau menikmati waktumu di paviliun. Aku khawatir kau merasa kesepian di sana.”
Aluna tersenyum tipis, berusaha mengendalikan perasaan tidak nyaman yang menjalari hatinya. “Terima kasih atas perhatiannya, Yang Mulia. Saya merasa cukup nyaman di sana.”
Kang-Ji tertawa kecil, lalu meletakkan cangkir teh yang dipegangnya. “Tentu saja. Hanya saja, aku ingin mengingatkanmu akan posisi yang kini kau tempati. Bagaimana pun, kau diangkat sebagai selir oleh keinginan pribadi Pangeran. Jangan sampai ada yang menyangka kau mengincar lebih dari itu.”
Mendengar sindiran halus itu, Aluna merasakan dorongan untuk membalas, namun ia menahan diri. Ia tahu, sikap kasar hanya akan memperburuk keadaan. Ia menundukkan kepala, menganggap sindiran itu sebagai bagian dari peran Seo-Rin.
“Tidak perlu khawatir, Yang Mulia. Saya tidak pernah berambisi lebih dari apa yang telah diberikan,” jawab Aluna dengan nada datar, mencoba bersikap setenang mungkin.
Kang-Ji mengangguk puas, namun Aluna melihat sekilas raut wajahnya yang menunjukkan ketidakpuasan. Putri mahkota baru itu mungkin mengharapkan reaksi yang lebih emosional darinya.
Tak lama kemudian, Pangeran Ji-Woon melangkah masuk ke aula tanpa peringatan, membuat suasana tiba-tiba hening. Kang-Ji tersenyum menyambutnya, namun pandangan Pangeran Ji-Woon langsung terarah pada Aluna. Melihat tatapan yang sulit ditebak dari sang pangeran, hati Aluna berdebar. Dia tahu bahwa Kang-Ji memperhatikan setiap gerak-geriknya, namun pandangan Pangeran Ji-Woon yang penuh minat terhadap dirinya membuat situasi semakin rumit.
Pangeran Ji-Woon menatap keduanya dengan tatapan lembut namun penuh ketegasan. “Kang-Ji, Seo-Rin dipilih bukan untuk bersaing denganmu, tetapi untuk membantuku dalam banyak hal yang tak dapat kuungkapkan pada siapa pun.” Ia mengalihkan pandangannya ke Aluna. “Seo-Rin, aku harap kau memahami tanggung jawabmu.”
Kang-Ji terlihat sedikit terkejut, tetapi cepat-cepat menyembunyikannya di balik senyum manis. “Tentu, Yang Mulia. Aku hanya ingin memastikan agar Seo-Rin mengerti posisinya.”
Usai pertemuan itu, Aluna kembali ke paviliunnya dengan pikiran yang berkecamuk. Situasi di istana menjadi lebih rumit dari yang ia duga. Ia merasa terperangkap di tengah ketegangan antara Pangeran Ji-Woon dan Kang-Ji, sebuah hubungan segitiga yang tak pernah ia tulis dalam novel aslinya.
Di tengah malam yang sunyi, Aluna menatap langit dari jendela paviliunnya, merenungi betapa jauh ia terseret dalam alur cerita ini. Ia bertanya-tanya, apakah ia benar-benar terjebak dalam dunia novel, atau mungkin ada alasan lain mengapa ia berada di sini.
Bersamaan dengan itu, dari kejauhan, Pangeran Ji-Woon mengawasi paviliun Aluna. Di balik sikap tenangnya, ada kerumitan yang ia sembunyikan rapat-rapat. Bagi Pangeran Ji-Woon, Seo-Rin adalah sosok yang penuh misteri, dan ketertarikannya tak dapat ia elakkan. Hatinya terseret dalam intrik yang ia ciptakan sendiri, menyadari bahwa perasaan di dalam hatinya lebih dalam dari yang ia perkirakan.
Bersambung >>>
𝐤𝐚𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐥𝐮𝐧𝐚 𝐤𝐝𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐨 𝐫𝐢𝐧, 𝐣𝐝𝐢 𝐤𝐮𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐞𝐧𝐚𝐤 𝐝𝐢 𝐛𝐚𝐜𝐚
𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐚𝐠𝐮𝐬 , 𝐭𝐭𝐞𝐩 𝐬𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭