Arvian Ken Sagara, seorang CEO tampan yang mengidap Gynophobia. Dimana, orang pengidapnya memiliki ketakutan tak rasional terhadap wanita. Setiap kali wanita yang mendekat padanya, Arvian menunjukkan sikap yang sangat berlebihan hingga membuat wanita yang mendekat padanya merasa sakit hati. Jika ada yang menyentuhnya, tubuh Arvian akan mengalami gatal-gatal. Bahkan, mual.
Namun, bagaimana jika dirinya terpaksa harus menikahi seorang janda yang di cerai oleh suaminya? demi mendapatkan hak asuh keponakannya dari keluarga adik iparnya. Apakah Gynophobia Arvian akan bereaksi saat di dekat wanita bernama Aluna Sagita janda tanpa anak itu?
"Sudah baik aku mau membantumu, dasar Mr. Gynophobia!" -Aluna Sagita.
"Onty tantik! Calangeee!!" ~Arega Geofrey Sagara.
"Jangan mendekati ku! Aku Alergi berada di dekat kalian para wanita!" ~Arvian ken Sagara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si bocah pengganggu
Aluna asik memasak sarapan pagi, dia hanya memasak nasi goreng yang simple untuk sarapan. Juga, sebagai bekal sekolah Arega. Sedari tadi, dia asik bersenandung sembari menambahkan bumbu pada nasi gorengnya.
"Abang pilih yang mana, per4wan atau janda, per4wan memang b0hai janda lebih aduhaaii. Tarik siis,"
Tanpa Aluna sadari, jika sejak tadi Arvian menonton pertunjukan yang sang istri lakukan sembari bersandar pada kulkas dengan tangannya yang terlipat di depan d4d4. Pria itu menyunggingkan senyumnya saat istrinya menggerakkan tubuhnya dengan begitu lihai. Tak heran jika Aluna cepat akrab dengan Arega, kedua orang itu sama anehnya menurut Arvian.
"Sudah konsernya?" Celetuk Arvian yang mana membuat Aluna terkejut."
"Ka-kamu, dari kapan disitu?!" Pekik Aluna dengan tatapan tak percaya.
Arvain menghela nafas pelan, dia beranjak sana dan berjalan menuju Aluna sembari memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Aluna menatap penampilan Arvian yang begitu tampan pagi ini. Dengan kemeja berwarna biru tua di padukan dengan celana bahan biru muda. Lengan kemejanya tergulung hingga siku, membuat aura tampan pria itu begitu terasa.
"Lanjutkan lagi saja, aku menjadi penontonnya." Ujar Arvian dengan santai.
"A-pa sih!" Gugup Aluna.
Arvian mengeluarkan sebelah tangannya yang dia masukkan ke dalam saku celananya tadi. Lalu, dia gunakan tangan itu untuk memegang pinggiran meja dapur bermaksud menopang tubuhnya.
"Semalam, kenapa tidak tidur di kamarku?" Tanya Arvian dengan tatapan dinginnya.
"Ngapain? Aku pikir semalam kamu marah, sehingga kamu memutuskan masuk kamar lebih dulu. Lagian, aku tidak nyaman tidur dengan orang lain." Ujar Aluna yang mana membuat alis Arvian menukik tajam.
"Maksudnya, kamu tidak nyaman tidur dengan suamimu sendiri?" Tanya Arvian dengan nada yang ketus.
"Eh bukan begitu. Maksudnya masih sungkan gitu. Begitu lah pokoknya!" Seru Aluna dengan gugup.
Lalu, Aluna pun mematikan kompor yang masih menyala. Nasi goreng itu telah siap, tinggal dia menaruhnya di piring. Arvian begitu memperhatikannya, sehingga Aluna bingung apa yang harus dia lakukan. Saat dirinya akan mengambil piring di lemari, tak sadar menginjak tumpahan minyak. Hal itu, membuat Aluna tak sengaja tergelincir.
"Aaa!"
Aluna memejamkan matanya, merasa jika sebentar lagi dirinya akan segera terjatuh. Namun, ternyata sebuah lengan kekar menahan pinggangnya hingga Aluna berada di pelukan orang tersebut. Tersadar jika tubuhnya tak jadi menghantam lantai, Aluna pun membuka matanya. Jantungnya berdegup kencang, mata cantiknya bertatapan langsung dengan mata elang milik pria tampan yang sedang memeluknya.
Sedangkan di posisi Arega, bocah itu berjalan keluar kamarnya. Dia sudah siap dengan seragam sekolahnya, dan senyumannya merekah menghiasi paginya saat ini. Tak sabar, dia akan menghampiri sang Tante tersayang. Seperti biasanya, sepagi ini dia menduga jika Aluna berada di dapur. Bocah menggemaskan itu pun melangkah santai sembari bersenandung ria.
"Dicini aku menghibul kamu, belmain dan teltawa belcamaku, a ..." Senandung Arega terhenti kala melihat dua orang pria dan wanita dewasa sedang berpelukan dengan tatapan lekat seakan tak terpisahkan. Melihat itu, Arega mencebikkan bibirnya ke bawa.
"AC4L0LE EKHEEE ... CAYANGKUUU!" Teriak Arega yang mana membuat Aluna dan Arvian tersadar. Keduanya melepaskan pelukan mereka, mata mereka menatap ke arah Arega yang memandang keduanya dengan mata memerah di sertai hidungnya yang kembang kempis.
Arega berlari ke arah Arvian dan juga Aluna. Lalu, dengan kesal dia memukul lutut Arvian dengan tangan gempalnya. Arvian tak merasakan sakit, dia justru merasa kesal saat Arega meminta untuk di gendong pada Aluna.
"CUDAH DI LEBUTNYA CAYANGKU KEMALIN! MAU DI LEBUT JUGA HALI INI! NDA BOLEH LEBUT CAYANGKUU! CALI ICTLI CENDILI CANAA!" Omel Arega setelah berada di gendongan Aluna. Bahkan, air matanya mengalir di pipi gembulnya, seakan dia telah di khianati oleh kedua orang dewasa ini.
"Syutt, ayo sarapan. Aunty sudah buatkan nasi goreng buat Arega." Ujar Aluna menghentikan tangisan Arega.
Arvian hanya menghela nafas pelan, dia membiarkan Aluna dan Arega pergi dari sana. Beberapa maid kembali datang untuk menyajikan sarapan di meja makan. Untuk itu, Arvian akhirnya beranjak mengikuti Aluna yang sudah lebih dulu pergi ke ruang makan.
"Punya keponakan aja ngeselin begini, apalagi punya anak." Batin Arvian dengan mendengus sebal.
.
.
.
Setelah mengantar Arega ke sekolahnya, Arvian langsung membawa mobilnya menuju rumah sakit. Sudah lama dia tak menjenguk adiknya, dan dia juga ingin tahu bagaimana kondisi perkembangan sang adik. Jujur saja, Arvian berharap adiknya segera sadar. Pria itu khawatir, adiknya tak akan selamat. Berbagai cara sudah dia lakukan, bahkan mendatangkan dokter luar n3gri untuk mengobati sang adik. Namun, tak ada kemajuan yang signifikan dari kondisi adiknya itu.
Sesampainya di rumah sakit, Arvian segera pergi menuju ruangan dimana sang adik di rawat. Pria itu berjalan sembari memainkan ponselnya. Namun, dia mengalihkan pandangannya saat mendengar suara yang tak asing baginya.
"Jangan manja Erlin! Aku capek, sudah bagus aku mau menjemputmu sekarang! Aluna saja tidak semanja kamu!" Desis seorang pria yang tak lain adalah Efendi. Dia sedang membentak istrinya yang menggendong bayi mereka.
"Mas, luka operasi ku masih sakit. Kenapa juga kamu malah membandingkan ku dengan mantan istrimu itu!" Sentak wanita itu dengan kata berkaca-kaca.
Efendi mencoba mengatur emosinya. Rasa lelah membuatnya sulit mengontrol emosi. Dia pun mengambil bayinya dari gendongan sang istri. Melihat perlakuan efendi pada istrinya, membuat Arvian menyunggingkan seringainya.
"Sudah menjadi perangai nya. Mau sama wanita manapun, dia tetap akan bersikap seperti itu. Walaupun pria itu telah menikah dengan wanita yang di cintanya. Namanya watak, sulit bisa di rubah." Gumam Arvian dan beranjak pergi dari sana. Meninggalkan sepasang kekasih yang sedang adu mulut itu.
Langkah Arvian terhenti setibanya dia di depan pintu ruangan sang adik. Terlihat, dua orang bodyguard yang sengaja Arvian tugaskan di sana untuk memantau keadaan adiknya. Melihat Tuan mereka datang, sontak keduanya menyambutnya dengan baik.
"Apa ada yang datang?" Tanya Arvian dengan tatapan datarnya.
Keduanya saling pandang, sebelum akhirnya kembali menatap Arvian yang penasaran dengan jawaban keduanya. "Tuan, malam tadi Tuan Seno kesini. Dia ingin melihat Tuan Nalendra." Ujar salah satu dari mereka yang mana membuat tatapan Arvian berubah dingin.
"Apa kalian biarkan orang itu masuk?" Tanya Arvian dengan tatapan penuh selidik.
Keduanya sentak menggeleng, "Tidak tuan! Tidak ada yang boleh masuk kecuali anda dan para petugas medis yang di kenali." Ujar keduanya dengan tegas.
"Bagus, jangan biarkan siapapun masuk ke ruang rawat adikku. Walaupun, Seno adalah mertua adikku. Aku tetap tidak mengizinkan pria itu menemuinya. Apa kalian paham?!"
"Paham Tuan!"
Arvian beranjak masuk, pandangannya langsung di suguhkan oleh banyaknya alat medis yang membantu Nalendra agar tetap bertahan. Perlahan, Arvian melangkah mendekat. Matanya menatap wajah adiknya dengan sorot mata yang sendu. Arvian tahu, jika alat-alat itu pasti menyiksa adiknya. Namun, Arvian tak mau membiarkan adiknya pergi begitu saja. Walaupun semua dokter mengatakan jika adiknya tak akan mungkin bangun dari komanya. Arvian tetap percaya, keajaiban pasti ada.
"Nalen, apa kamu tidak punya rencana untuk bangun? Tidak bosan tidur terus? Kamu tidak kasihan pada kakakmu ini? Kamu tahu? Anakmu selalu mengganggu waktu ku bersama istriku. Bangun dan rawatlah anakmu sendiri. Aku pusing setiap harinya harus mendengar dangdutan gak jelas dari anakmu itu. Jadi, cepatlah bangun." Lirih Arvian.