Alan adalah CEO tampan dan kaya, karena trauma dia membenci wanita. Untuk mendapati penerus, dia memilih nikah kontrak dengan Azalea, dan begitu ia melahirkan, pernikahan mereka berakhir.
Patah hati karena pria dingin itu, Azalea melahirkan anak kembar dan membawa salah satu anak jauh dari Alan tanpa sepengetahuannya.
Lima tahun kemudian, kedua putra Azalea secara tidak sengaja bertemu di rumah sakit. Saat itu, satu anak dalam keadaan sehat dan satu lagi sakit parah. Azalea yang malang diam-diam menukar identitas kedua putranya agar putranya yang sakit dapat diselamatkan.
Akankah rahasia identitas itu terungkap?
Akankah ia terjerat lagi dengan Alan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejanggalan
Brandon mendatangi Alan di depan ruang ICU, dia melihat sahabatnya itu tengah terduduk dengan kepala tertunduk dalam. Raut wajah frustasi Alan, dapat Brandon tangkap saat itu.
"Alan, kamu ngapain disini?" Tanya Brandon sembari mendudukkan dirinya di samping Alan.
Alan menegakkan tubuhnya, dia lalu menatap Brandon dengan wajah lelah dan khawatir.
"Saat aku pulang dari kantor, Alexix mengalami muntah-muntah dan sesak nafas. Jadi, aku membawanya ke dokter. Dokter bilang, harus melalukan pengecekan menyeluruh. Aku tidak mengerti apa yang dokter periksa pada tubuh anakku. Tapi yang aku pikirkan, bagaimana Alexix bisa sampai seperti ini." Lirih Alan.
Brandon terbengong, dia tidak mungkin salah lihat. Cerita Alan sangat jauh beda dengan apa yang dirinya lihat barusan. Tadi saat di kantin, dirinya benar-benar bertemu dengan Alexix. Dia tak salah lihat, tadi benar-benar Alexix.
"Jangan bercanda, pasti Alexix membohongi mu lagi. Dia anak yang sangat aktif, dia pasti sengaja mengerjai mu agar bisa mendapat perhatian darimu." Seru Brandon sembari tertawa hambar.
"Ck! Aku sedang tidak ingin bercanda!" KEsal Alan.
Brandon bergegas bangkit, dia mengintip kaca pintu ruangan ICU. Matanya menangkap, Elouise yang kondisinya masih sama seperti tadi. Benar saja, sosok Alexix yang tadi dia temui sedang terbaring di brankar dalam kondisi lemah. Padahal itu adalah Elouise. Bukan Alexix. Dia langsung menoleh pada Alan dengan wajah pucatnya.
"Lan! serius!! Aku melihat Alexix di kantin! Dia datang dengan jaket berwana putih dan masker wajah dan juga topi. Aku serius!! Aku sedang tidak lagi bercanda!!" Pekik Brandon dengan wajah pias.
Alan mengerutkan keningnya, "Mungkin hanya mirip saja." Jawab Alan santai.
Brandon menghela nafas pelan, "Kamu pikir mataku gak normal? Aku melihat mereka bagai pinang di belah dua! Apa masih di katakan hanya mirip saja? Ini plek ketiplek Si Lexi! Aku gak bohong!" Seru Brandon dengan tatapan kesal.
"Atau ... mungkin yang kamu temuin itu jiwa Lexi?" Canda Alan, yang merasa aneh dengan cerita Brandon.
"Jangan bercanda! Lagi serius ini!!" Kesal Brandon
Alan terkekeh, dia tak percaya perkataan Brandon. Mana ada orang yang memiliki wajah yang sama persis seperti putranya. Kecuali, jika putranya memiliki kembaran identik. Sayangnya, Apan tak tahu jika putranya kembar.
"Lan! Nih yah, aku kasih tau! Kalau si Lexi di jejerin ama anak yang aku temuin di kantin tadi. Pasti kamu akan mengira, jika mereka saudara kembar!"
"Diamlah Brandon! AKu sedang pusing dan mengantuk saat ini! Lebih baik, kau pulang saja. Aku lelah." Kesal Alan.
"Kau!! Kau tidak mempercayaiku?! yang benar saja!!" Pekik Brandon dengan raut wajah kesalnya.
Alan menulikan pendengarannya, dia memejamkan matanya sembari melipat tangan di dadanya. Tubuhnya ia sadarkan pada tembok, dan mulai mengistirahatkan dirinya sejenak. Malam ini, dia sangat lelah. Hati, pikiran dan fisiknya. Sudah terkuras habis dengan kejadian hari ini.
"Jika saat itu Azalea melahirkan anak kembar, mungkin aku akan percaya." Batin Alan.
"Sudah lah! Berbicara denganmu adalah hal yang percuma, aku akan pulang saja. Nanti setelah Lexi sadar, hubungi aku." Pamit Brandon.
"Hm." Jawab Alan dengan dehemannya.
.
.
Selang beberapa jam, hasil tes sudah keluar. Alan di minta untuk ke ruangan dokter yang menangani putranya. Saat dia masuk ke dalam ruangan dokter tersebut, ternyata Hervan juga sudah berada di sana. Sepertinya, dia tidak pulang karena sama-sama menunggu hasil pemeriksaan Elouise.
"Masuklah Alan." Pinta Hervan.
Alan mengangguk, dia melangkah masuk. Lalu, duduk di samping Hervan. Matanya menatap selembar kertas yang sedang dokter baca.
"Tuan, apakah sebelumnya putramu mengalami mual dan muntah? nyeri pada bagian kiri atau kanan perut?" Tanya dokter itu membuat Alan mengerutkan keningnya, dia berusaha mengingat tentang putranya.
"Kalau mual muntah baru malam tadi dok, sebelum saya bawa dia kesini. Tapi kalau nyeri di perut, saya enggak tau. Saya sudah katakan, putra saya anak yang aktif. Dia jarang mengalami sakit." Jawab Alan.
Dokter mengangguk, lalu doa bertanya lagi, "Apa dia rewel ketika buang air kecil?"
Alan menghela nafas pelan, dia kesal karena dokter tersebut tidak to the point padanya. "Dok, dengar! Anak saya memiliki daya tahan tubuh yang kuat, dia anak yang aktif. Jarang sekali sakit, bahkan batuk pilek saja dia sangat jarang. Jangan bertanya-tanya terus, to the point dengan apa yang anda maksud!"
"Alan! sabarlah!" Tegur Hervan.
Alan hanya menatap Hervan sekilas dan kembali menatap dokter tersebut yang sepertinya berat ingin mengatakan satu hal pada Alan.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan, putra anda mengidap Gagal Ginjal stadium lima."
"Apa?! enggak mungkin dok! Jangan mengarang hanya untuk mendapat bayaran lebih! Ini taruhannya nyawa putraku! anda tidak boleh main-main! Anda mau berapa? sebutkan! saya akan membayar anda, dan ganti diagnosa anda pada putra saya!" Marah Alan, dia tak terima ketika putranya di diagnosa seperti itu.
"Alan! Kita melakukan sumpah dokter! Kami menjadi dokter bukan setahun dua tahun, tapi belasan tahun! Biar om lihat dulu hasil diagnosisnya!" Sahut Hervan yang tak terima atas ucapan Alan, bagaimana pun juga dia berprofesi sebagai dokter juga.
Hervan mengambil kertas hasil pemeriksaan Elouise dari rekannya, dia membacanya dengan teliti. Seperkian detik, dia menatap Alan dengan kening mengerut.
"Alan, dokter memang benar. Alexix mengalami Gagal ginjal stadium lima."
"Om! jangan bercanda! Mana sini kertasnya!" Alan merebut kertas itu, dia melihat hasil akhir tes yang menunjukkan jika putranya mengalami gagal ginjal stadium lima.
"Enggak ... enggak ... ini tes nya salah, dokter juga manusia kan? bisa saja anda salah. Putraku sehat, dia bahkan aktif. Sudah stadium separah ini, dan aku telat mengetahuinya? itu tidak mungkin." Lirih Alan dengan suara bergetar.
"Alan, tenangkan dirimu! Kita akan mencoba melakukan pemeriksaan ulang. Jika hasilnya sama, kamu harus mengambil keputusan. Ini bukan penyakit ringan! Nyawa Alexix dalam bahaya! Om akan menghubungi teman om yang berada di Singapura, dia dokter ahli ginjal. Sudah banyak pasien anak yang berhasil sembuh olehnya."
Alan menggeleng, dia menaruh kertas itu di atas meja. Sesekali dia menggelengkan kepalanya, berharap fakta ini hanyalah sebuah mimpi.
"Dok, apa karena putraku kecelakaan? dia tertabrak mobil dua hari yang lalu. Mungkin perutnya tertabrak sehingga ginjalnya ...,"
"Apa putramu mengalami memar perut? Kau bilang jika dokter hanya mendiagnosis keretakan halus pada tulang kepala Alexix kan?" Sahut Hervan. Dokter pun hanya menyimak percakapan keduanya dengan kening mengerut.
"Maaf, tapi tidak di temukan lebam atau luka apapun di tubuhnya. Jika kecelakaan itu mengakibatkan ginjal putra anda sampai rusak, itu karena pasien mengalami kecelakaan yang parah. Semisal perutnya terjepit atau terhantam benda yang sangat keras. Tapi, tidak di temukan memar apapun pada perut putra anda. Hanya saja, kami mendapati beberapa memar akibat bekas suntikan yang ada di lengannya. Memar ini biasa di dapat setelah melakukan cuci darah."
Alan memijat keningnya, fakta apalagi ini? Biarpun dia jarang di rumah, tapi dirinya sellau mengawasi Alexix dari CCTV rumahnya. Tak ada yang mencurigakan, ini sangat janggal.
"Dok! Sebelumnya anak saya sehat! Memar apa yang anda maksud? Mungkin itu memar akibat kecelakaan kemarin! Bagaimana putra saya bisa melalukan cuci darah? Anak umur lima tahun, sejauh mana dia perbuat hah?! Jangan mengada-ngada!!" Sentak Alan, yang sudah tersulut Emosi.