Namaku Dika Ananto. Seorang murid SMA yang ingin sekali menciptakan film. Sebagai murid pindahan, aku berharap banyak dengan Klub Film di sekolah baru. Namun, aku tidak pernah menduganya—Klub Film ini bermasalah!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menangis Berdua dalam Kegelapan
Hari pertama pembuatan skenario film telah dimulai. Karena sebagian besar anggota klub film tidak ada yang bisa datang ke ruang klub pada jam istirahat pertama dan kedua. Dika yang sendirian di ruang klub pada saat jam istirahat hanya bisa menghabiskan waktu dengan menonton film.
Dika menemukan bingkisan blu-ray film dengan judul Manchester by the Sea. Mengingat nama Kenneth Lonergan pada sampulnya bingkisan blu-ray. Dika tiba-tiba teringat kalau dia adalah salah satu sutradara yang menjadi favorit kakeknya.
Merasa penasaran, Dika mengambil bingkisan blu-ray itu dari dalam rak. Kemudian memasukkannya ke pemutar video milik klub film. Karena sudah pernah melihat proyektor di rumah kakeknya. Dika menjadi terbiasa untuk menggunakan benda tersebut.
Tanpa berpikir panjang. Dika langsung berdiri ke di dinding ruang klub untuk mencari saklar lampu. Setelah berhasil menekan saklar lampu.
Dengan remote pemutar video di tangan kanannya. Dika segera duduk di kursi dan ingin menonton film tersebut dari jarak terjauh dari layar. Dika menekan tombol untuk memutar film.
...***...
Air mata Dika tidak bisa berhenti mengalir karena menangis seusai menonton film tersebut. Dia tidak menyangka kalau film yang dia lihat sangat menyedihkan dan menyayat hati. Rasanya perasaan Dika menjadi hancur lebur melihat kepedihan yang dirasakan oleh protagonis karena kehilangan keluarganya.
Dika ingin berdiri untuk mematikan proyektor dan kembali ke kelas. Secara tidak diduga, ada tiupan yang berasal dari arah telinga kanannya. Dika yang terkejut dengan hal itu dilanjut oleh suara cekikikan seorang gadis.
Ruangan klub yang gelap. Membuat Dika mengambil ponselnya dan menemukan ada Chika yang duduk di sebelahnya. Kedua mata gadis itu terlihat membengkak dan memerah sama seperti Dika.
Chika kemudian mengambil sehelai tisu untuk mengelap air matanya. Dia berkata kalau film yang dia lihat barusan sangatlah menyedihkan.
Dika langsung berdiri dan menyalakan saklar lampu untuk menerangi ruang klub. Dika bertanya-tanya sejak kapan Chika masuk ke dalam ruang klub film.
"Sejak awal," kata Chika sambil tersenyum kecil dan memberikan tisu kepada Dika, "Wajahmu sangat buruk. Kau bahkan terus-terusan menangis di sepanjang film."
"Sebelum mengomentari orang lain. Mengapa kamu tidak melihat dirimu sendiri?" cibir Dika sambil mengambil sehelai tisu yang ditawarkan Chika, "Tapi, itu memang film yang menyedihkan."
"Ngomong-ngomong kamu gak sadar kalau berakhirnya bel istirahat sudah selesai dari tadi, ya?" tanya Chika sambil terkekeh, "Kamu melewatkan pelajaran, loh."
Dika langsung memeriksa ponselnya dan dia menyadari kalau sudah lebih dari dua jam berada di ruang klub. Wajah Dika merasa panik karena dia membuat kesalahan fatal. Apalagi dirinya adalah murid baru di sekolah ini.
Chika tertawa melihat ekspresi Dika yang terlihat panik. Dia menjelaskan kalau sejak berakhirnya istirahat pertama. Para guru di semua kelas menjadi kosong karena ada rapat agenda. Jadi, semua murid menjadi belajar sendiri. Walau faktanya tidak semua murid dan kebanyakan hanya bermain-main di kelas.
Mendengar cerita Chika membuat Dika menghembuskan napas lega. Dia berjanji tidak akan melakukan hal ini lagi. Sialnya sejak awal memang ruang klub film dirancang menjadi kedap suara. Untuk selanjutkan Dika jika ingin menonton film di klub pasti akan membuka celah di pintu.
"Kemudian kenapa kamu ada disini?" tanya Dika penasaran sambil kembali ke tempat duduknya, "Sengaja bolos, ya? Padahal tampangmu terlihat seperti gadis yang teladan akan peraturan sekolah."
"Benarkah begitu? Aku bersyukur ada yang memujiku. Padahal aku bukanlah murid teladan. Harusnya kamu memuji Ketua OSIS itu. Dia adalah orang yang paling teladan di sekolah ini."
"Aku terkejut mendengar hal itu dari mulutmu."
"Ada kalanya, manusia ingin bergerak bebas, bukan?" kata Chika sambil berlagak menyombongkan dirinya.
"Memangnya kehidupanmu tidak bebas?" tanya Dika penasaran, "Sebab sejak pertama kali kita bertemu. Aku selalu melihatmu sebagai seorang gadis dengan jiwa seperti burung yang terbang bebas di angkasa."
"Nyatanya aku tidak sebebas itu, Dika," keluh Chika sambil berusaha tersenyum kecil, "Jika aku menjelaskan tentang diriku sendiri. Aku seperti burung yang terperangkap dalam kerangka untuk waktu lama. Kemudian bulu burung itu rontok satu persatu hingga membuat si burung tidak mempunyai alasan untuk terbang kembali ke angkasa."
Mendengar perkataan itu dari Chika membuat Dika bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi kepadanya. Kedua tangan Dika ingin sekali memegang pundak Chika untuk menguatkan kehidupannya.
"Karena itu... Dika," sambung Chika yang menatap dalam Dika dengan kedua matanya, "Tolong selamatkan aku."
Dika yang tidak bisa bereaksi melihat semuanya hanya bisa terdiam. Selanjutnya Chika tertawa pelan dan meminta maaf jika suasana ruangannya menjadi agak berat. Chika mengaku kalau tadi itu hanyalah akting yang sedang dia asah.
"Astaga. Itu akting yang hebat, Chika," puji Dika sambil bertepuk tangan, "Kau benar-benar seperti seorang gadis yang hidupnya penuh akan penderitaan. Apalagi dialog terakhir. Itu sukses mengacak-acak perasaanku. Darimana kau belajar bagian itu?"
Mendapat pujian dari Dika. Chika menatap roknya untuk sesaat. Dia membalas pertanyaan Dika kalau semua akting barusan dia pelajari dari film yang dia lihat tadi malam.
Chika memamerkan kepada Dika kalau itu adalah akting terbaiknya sejauh ini. Karena itu Chika meminta Dika untuk memberikan nilai pada aktingnya tadi.
Ada keraguan dalam wajah Dika. Dia belum pernah memberikan nilai pada rating seseorang. Sebab baginya, setiap orang mempunyai ciri khasnya sendiri dalam akting dan dia belum tau apa-apa tentang dunia akting.
Setelah berpikir panjang. Dika akhirnya memutuskan kalau nilai akting dari Chika tadi bernilai delapan. Disisi lain, Dika juga masih sulit membedakan mana ekspresi akting dan mana ekspresi asli dari kehidupan seorang aktor atau aktris.
"Oh, tidak kusangka akan setinggi itu. Keren sekali aku ini," celetuk Chika sambil menaruh kedua tangannya di pinggang layaknya seperti seseorang yang baru saja memenangkan piala penghargaan film.
Dika tiba-tiba teringat dengan bingkisan blu-ray film yang masih tertinggal di dalam pemutar video. Dia langsung bergerak untuk merapikannya dan mengembalikan bingkisan blu-ray itu ke dalam rak.
Dari arah belakang punggung Dika. Chika bertanya kemajuan dari penulisan skenario yang dipikirkan oleh Dika. Chika berusaha mengingatkan kalau waktu terus bergerak dan tidak ada waktu untuk bersantai.
Mendapat perkataan yang bijaksana dari Chika membuat Dika tertawa pelan. Dika mengungkapkan kalau menulis skenario film tidak semudah membuat filmnya langsung. Dika masih memikirkan aspek dalam pengambilan gambar pada filmnya
"Aku tidak menyangka kalau membuat film sesusah itu," kata Chika sambil menghembuskan napas berat.
"Lalu darimana kamu belajar menulis skenario film, Chika?" tanya Dika berusaha menyudutkan Chika, "Itu bukan tulisan orang lain, bukan?"
"Sembarangan saja kamu berbicara. Aku tidak sejahat itu untuk mengambil nama pena orang lain."
"Maaf, ya. Jika aku tadi berusaha menyudutkanmu. Aku sangat penasaran darimana kamu bisa menulis skenario dan berakting sebagus itu."
Tepat setelah Dika menanyakan itu pada Chika dan dia berbalik badan. Entah kenapa Chika memalingkan wajahnya dan mengaku ingin kembali ke ruang perpustakaan untuk beristirahat. Dika yang ditinggal sendirian di dalam klub film. Menimbulkan rasa penasaran yang meledak-ledak akan kepiawaian Chika.