DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM4
Pagi ini cerah sekali menurutku. Semalam aku juga tidur dengan nyenyak. Mungkin karena kecapekan pindahan atau karena tidur di rumah sendiri, entahlah.
Yang pasti hari ini aku semangat sekali menyiapkan sarapan untuk suami tercinta.
Nasi goreng kecap plus telor ceplok 2 porsi sudah tersedia di dapur, tinggal kubawa ke karpet di ruang tamu.
Kami sengaja tidak membeli meja kursi makan maupun sofa biar kontrakan ini tidak berkesan rungsep.
Aku merendam baju kotor kami, lalu mandi dulu sebelum membangunkan mas Rama. Agak nyantai sekarang untuk berangkat kerja, karena pabriknya dekat dengan kontrakan kami. Hanya 10 menit berkendara sudah nyampe. Kalau dari rumah mertua, butuh waktu 30 menit.
Ngomong-ngomong soal mertua, aku agak kepikiran siapa yang menemani ibu setelah kami pergi dari rumah itu. Soalnya sampai kami pergi, bapak masih ada di proyek yang lokasinya di kabupaten sebelah.
Setelah mandi, kubangunkan mas Rama dan ku siapkan seragam kerjanya.
Kulihat mas Rama sudah keluar dari kamar mandi barusan, saat kuangkut sarapan dari dapur ke ruang tamu. Nasi goreng di atas meja lipat kecil sudah siap untuk dimakan.
"Dek, nanti jam 12 mas pulang ya. Mas makan di rumah aja mulai sekarang. Jadi tidak usah dibawain bekal." Kata mas Rama sambil menghabiskan nasi gorengnya.
"Siap, Mas ku. Ada special request untuk makan siang perdana kita? hehehehe," sahut ku sambil cengengesan.
"Apa aja, Sayang. Apapun yang kamu masak semua enak. Mas suka. Sayang aja perut ini ada batas nampungnya."
Aku nyengir sambil sedikit tersipu mendengar jawaban mas Rama. Padahal sudah berkali-kali dengar, tapi yah begitulah.
"Ehm ... Mas?! Nanti aku coba buat kue-kue terus ku bagi ke tetangga ama Bu Nurma gimana? Syukur-Syukur bisa jadi duit mas. Buat ngisi lagi tabungan yang kemarin kepake. Boleh ya, Mas?" Aku merayu mas Rama dengan hati-hati mumpung lagi bagus kondisinya.
"Kamu mau jualan dek? Apa tidak kecapekan nanti?" tanya mas Rama memastikan.
"Jadi rencananya aku pingin jual nasi uduk ama lontong sayur untuk pagi gini, Mas. Biar pas sama jam karyawan berangkat kerja gitu. Di sini kan kebanyakan karyawan yang tinggal, terus tempat jual makanan juga jauh. Nah kue nya sengebuatnya saja. Pas lagi buat donat, ya jual donat. Pas buat brownies, ya jual brownies. Gitu mas. Boleh ya ya ya?" papar ku pada mas Rama.
Sambil menghela napas, mas Rama menatapku lekat.
"Mas gak kepingin kamu terlalu capek, Sayang. Biar cepat isi kamunya, tapi, mas juga ngerti kondisi keuangan kita. Mas juga paham kondisi mu yang mungkin jenuh di rumah aja padahal biasa juga kerja. Maafkan mas ya belum bisa membuatmu bahagia. Belum bisa menafkahimu dengan layak sampai kontrak aja harus pakai tabungan yang kamu kumpulkan sendiri."
"Kalau kamu mau jualan, silahkan, Sayang. Tapi ... jangan sampe dipaksa, Mas gak mau kamu sampe kecapekan ya. Mas yang akan berusaha lebih keras untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga kita. Kamu jualan untuk senang-senang aja. Ok, Sayang?" lanjut mas Rama.
Aku berkaca-kaca mendengar ungkapan hati mas Rama.
"Aku bahagia kok, Mas. Sejauh ini kebutuhan kita tercukupi. Mas juga sudah berusaha maksimal sebagai kepala keluarga. Rencana kita masih panjang, Mas. Kita mau anak-anak kita sampai kuliah nanti. Siapa tahu Tuhan menitipkan rejekinya ke keluarga kita melalui tanganku juga," ucap ku.
"Makasih ya, Mas. Sudah mengijinkan ku jualan. Aku sayaaaaaang mas Rama." Timpal ku seraya memeluk suamiku dengan erat.
Mas Rama membalas pelukanku, dan mengusap kepalaku.
"Makasih juga, Sayang. Sudah mau menemani mas berjuang. Semoga Allah merestui rencana kita ya."
"Amiiinnnnn! " Kuaminkan dengan kuat.
Mas Rama berangkat ke pabrik setelah meminum kopinya.
Aku segera membereskan piring-piring bekas sarapan, lalu langsung mencucinya.
Karpet kugulung, meja dilipat, baru kusapu dan pel seluruh rumah.
Setelah itu lanjut mencuci pakaian yang sudah direndam. Cucian agak banyak karena baju kotor yang harusnya dicuci di rumah mertua kan baru mau dicuci hari ini.
Beres mencuci dan menjemur, kubongkar kardus yang isinya peralatanku membuat kue.
Setelah kupikir-pikir, aku memutuskan untuk membuat mini chiffon cake beberapa rasa dan kuberi topping yang berbeda. Kue itu akan kubagikan ke tetangga kontrakan dan juga Bu Nurma sebagai perkenalan. Dan aku berencana membuat bolu marmer untuk dijual besok.
Aku segera bersiap ke pasar yang kemarin untuk membeli bahan-bahan kue dan bahan-bahan nasi uduk dan lontong sayur.
Aku berjalan ke depan gang untuk menunggu angkot. Motorku dipakai mas Rama untuk bekerja. Motor hasil aku menabung selama bekerja di toko kue itu. Saat kami menikah dan ibu mertua minta kami tinggal di rumahnya, sehingga kami butuh motor untuk berangkat kerja. Jadilah kami membeli motor second yang masih dalam kondisi bagus itu.
Mungkin ada yang bertanya kenapa mas Rama tidak punya motor sendiri. Ya karena semua hasil kerjanya diserahkan ke ibu mertua sebagai tanda bakti. Mas Rama kelewatan jujur dan baiknya. Sampai di level naif menurutku. Waktu kami mulai dekat, aku yang membantunya menyisihkan sebagian gajinya untuk ditabung. Apalagi saat kami sudah menikah, jatah untuk ibu sudah dipastikan berkurang. Mungkin ini juga yang menyebabkan ibu mertua makin benci ke kami. Ya mau bagaimana lagi, kami kan juga harus menyiapkan diri untuk kebutuhan mendadak rumah tangga.
Sepulang dari pasar, aku mulai membersihkan ayam untuk kubumbui nanti malam, lalu kumasukkan dalam kulkas.
Sayur labu dan kentang kubiarkan saja karena baru akan kuolah nanti malam.
Aku mulai menyiapkan bahan-bahan chiffon cake. Rencananya kubuat rasa vanilla, pandan dan coklat.
Setelah memasukkan adonan chiffon cake ke dalam oven, segera kusiapkan makan siang untuk suamiku.
Nasi sedang kumasak di rice cooker. Aku akan membuat cap cay dan ayam goreng serta sambal untuk makan siang kami nanti.
Saat ayam sedang kugoreng, timer kueku berbunyi. segera kukeluarkan kue dari oven. Kutaruh di meja dapur supaya dingin, sambil memasukkan adonan berikutnya ke oven.
Pas capcay baru matang, suara motor suamiku terdengar di luar. Aku menggelar karpet dan menata makan siang kami. Mas Rama ke kamar mandi untuk mencuci tangannya.
"Wah kue-kuenya suh jadi ya. Ini kue apa namanya, Sayang?" tanya Mas Rama yang baru keluar dari kamar mandi.
"Kue chiffon, Mas. Aku bikin rasa vanila, pandan, coklat. Nanti yang vanila mau kukasih topping oreo, pandan dengan topping keju, yang coklat kukasih messes coklat," Ku jelaskan ke Mas Rama.
"Mas Rana mau bawa ke pabrik? Siapa tauu dibagikan ke teman-teman? Kubuatkan ya, yang vanilla terus kukasih messes coklat gimana?"
"Boleh tuh, Sayang. Biar buat promosi juga. Nanti tolong dibawakan ya, Alana Sayang."
Kukasih tanda ok dengan jariku ke Mas Rama.
Mas Rama makan dengan lahap. Pas menunya, nasi hangat, capcay dan ayam goreng yang masih baru matang serta sambal. Kubuatkan es teh sebagai teman makan siang kami.
"Nikmat banget, Yank. Kalau begini terus mas bisa buncit ini." Kata Mas Rama sambil mencentongkan tambahan nasi ke piringnya. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
Mas Rama membantu membenahi piring-piring ke tempat cucian piring. Sementara aku menyiapkan chiffon cake yang akan dibawa Mas Rama. Kubawakan 2 macam chiffon cake untuk Mas Rama, vanila topping messes, dan pandan topping keju.
Setelah kupotong menjadi 4, kumasukkan dalam kotak makan.
Kotak makan yang berisi kue kumasukkan dalam tas plastik untuk dibawa suamiku.
"Ini kuenya, Mas. Ku bawakan 2 macam ya jadinya. Semoga temen Mas suka ya sama kuenya. Sama sekalian dikasih tahu Mas ke teman-temannya, kalau besok aku mulai jualan nasi uduk ama lontong sayurnya ya." Sambil mengantarkan Mas Rama ke pintu, kuserahkan tas plastik itu.
"Iya, Sayang, semoga laris ya. Mas berangkat dulu ya, nanti tidak lembur kok. Kamu baik-baik di rumah ya, nanti kalo mau nganter kue-kuenya rumah dikunci ya. Kita masih tidak tahu bagaimana keamanan di lingkungan ini."
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan ya. Semoga kerjanya lancar."
Motor Mas Rama pun melaju pergi.
Kututup pintu kontrakan, dan kulanjutkan memberi topping di kue-kue yang sudah didinginkan.
Sekitar jam 3 semua kue sudah selesai kuberi topping. Kumasukkan dalam kotak kardus, sebelumnya ku foto dulu, siapa tahu bisa dipakai untuk promosi nanti.
Aku bebersih diri dulu sebelum mengantarkan kue-kue ini. Dengan kresek putih besar, mulai kuketuk pintu kontrakan sebelahku.
Pintu kontrakan terbuka dan terlihat wanita muda mungkin seumuran denganku yang sedang memakai masker kertas di wajahnya.
"Permisi mbak, perkenalkan saya Alana yang menempati kontrakan sebelah. Saya mau mengantarkan kue ini sebagai perkenalan dari saya." Aku memperkenalkan diri ke mbak tersebut.
"Oh mbak yang kemarin pindah ya. Saya Ratih, suami saya namanya Ahmad sedang kerja. Mari masuk, Mbak," jawab mbak tersebut.
"Makasih, Mbak, tapi saya masih harus lanjut antar kuenya. Lain kali saya main mbak, sebelahan ini hehehe."
"Bener ya lain kali main ke sini. Yang pintu kuning itu orangnya baru ada sore. Karena suami istri kerja semua. Jam segini rumahnya kosong." Kata mbak Ratih memberitahuku.
"Oh ya kalo gitu nanti sore saya antar ke sana. Makasih ya mbak. Permisi," Aku pamit.
Sebelahnya lagi namanya mbak Eva. Suaminya namanya mas Surya buruh di pabrik yang sama dengan suamiku, tapi beda bagian.
Pintu ke 4 yang dibilang adanya sore adalah pasangan suami istri yang kerja kantoran. Mbak Monik dan mas Jaya, punya 2 orang anak yang tinggal dengan ibu mas Jaya di kampungnya sana.
Pintu paling ujung satunya adalah mbak Niken, janda dengan 1 orang anak yang berusia 6 tahun. Mbak Niken ditinggal meninggal suaminya 2 tahun lalu. Sekarang terima cuci gosok dari rumah ke rumah.
Lalu aku mengantarkan kue ke rumah Bu Nurma, sekalian minta ijin mau jualan di halaman kontrakannya.
"Wah nak Alana ini pintar buat kue toh ternyata. Nanti kalo perlu kue untuk arisan atau pengajian jadi dekat pesannya." Kata Bu Nurma setelah menerima kue dariku.
"Iya bu, silahkan. Saya terima kasih sekali kalo ibu berkenan pesan ke saya. Oh ya bu. sekalian saya mau minta ijin mau pakai halamannya untuk jualan sarapan pagi. Yang di bagian ujung depan pintu situ, Bu. Boleh ya, Bu?"
"Ibu tidak keberatan nak. Cuma ibu minta tolong jangan sampai tetangga kontrakan terganggu. Misal mereka merasa kesempitan atau gimana. Dan ibu minta tolong supaya habis jualan, halamannya dipastikan bersih dari sampah ya, Nak," jawab bu Nur.
"Syukurlah ibu tidak keberatan. Saya pastikan nanti saya bereskan sampahnya, Bu. Dan tidak mengganggu tetangga yang lain."
"Oh ya bu, rumah RT sini di mana ya bu? Saya mau mengantarkan kue ini juga ke beliau."
"Rumah pak RT yang warna biru muda itu itu nak. Kemarin ibu sudah lapor kalau kontrakan ibu diisi oleh kalian. Tapi ya ada baiknya kalian lapor juga ke pak RT yà," terang Bu Nurma.
"Baik bu. Terima kasih, saya antar kue ini ke beliau dulu. Permisi ya, Bu, saya pamit dulu."
Aku menuju rumah RT. Bu RT yang menemuiku. Pak RT sedang bekerja rupanya. Kukatakan pada bu RT nanti sore kemungkinan kami akan datang lagi untuk melapor secara resmi. Tak lupa bu RT memasukkan nomor hp ku ke wa grup RT.
*
*
Bagus banget /Kiss/
Apalagi part di mana Alana hamil, ya ampun, saya sampai meneteskan air mata. /Good/