Di jantung kota Yogyakarta, yang dikenal dengan seni dan budayanya yang kaya, tinggal seorang wanita muda bernama Amara. Dia adalah guru seni di sebuah sekolah menengah, dan setiap harinya, Amara mengabdikan dirinya untuk menginspirasi siswa-siswanya melalui lukisan dan karya seni lainnya. Meski memiliki karir yang memuaskan, hati Amara justru terjebak dalam dilema yang rumit: dia dicintai oleh dua pria yang sangat berbeda.
Rian, sahabat masa kecil Amara, adalah sosok yang selalu ada untuknya. Dia adalah pemuda yang sederhana, tetapi penuh perhatian. Dengan gitar di tangannya, Rian sering menghabiskan malam di kafe-kafe kecil, memainkan lagu-lagu yang menggetarkan hati. Amara tahu bahwa Rian mencintainya tanpa syarat, dan kehadirannya memberikan rasa nyaman yang sulit dia temukan di tempat lain.
Di sisi lain, Darren adalah seorang seniman baru yang pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan tatapan yang tajam dan senyuman yang memikat, Darren membawa semangat baru dalam hidup Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon All Yovaldi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 _ Menghadapi Pilihan
Tiga hari berlalu sejak Amara merasakan kebingungan antara dua hati yang ingin dicintainya. Dia masih memikirkan kata-kata Rian dan keceriaan yang dia bagi dengan Darren di festival makanan. Keputusan yang dihadapi terasa semakin menekan. Setiap kali dia melihat ponselnya, harapannya untuk menemukan jawaban semakin pudar.
Pagi itu, Amara duduk di meja makan sambil menikmati sarapan. Ibunya memperhatikan Amara yang tampak kehilangan fokus. “Sayang, ada apa? Kamu kelihatan berbeda akhir-akhir ini,” tanya ibunya dengan nada khawatir.
“Enggak apa-apa, Ma. Cuma lagi mikir,” jawab Amara sambil mengalihkan pandangan.
“Kalau ada masalah, cerita sama Mama. Mungkin Mama bisa bantu,” tawaran ibunya membuat Amara tersenyum tipis.
“Gue tahu, Ma. Nanti deh,” ujarnya. Dia tidak ingin membebani ibunya dengan perasaannya yang rumit.
---
Sepanjang hari di sekolah, Amara merasa seperti robot. Dia hadir secara fisik, tapi pikirannya terbang jauh. Di kelas, Sari dan Tania sering meliriknya, seolah mereka bisa membaca pikirannya.
“Eh, Mara, lo baik-baik aja?” tanya Sari saat istirahat.
“Gue masih bingung, sih. Tentang Darren dan Rian,” jawab Amara jujur.
Tania menggigit lipnya. “Gimana kalau lo tanya sama mereka langsung? Mungkin lo bisa dapetin kejelasan.”
Mendengar itu, Amara merasa sedikit lega. “Iya, mungkin itu yang harus gue lakukan,” ujarnya.
Setelah kelas, Amara memutuskan untuk menelepon Rian. Dia perlu mengatur pertemuan dan berbicara lebih terbuka. Saat Rian menjawab telepon, suara hangatnya membuat Amara merasa sedikit lebih baik.
“Rian, bisa ketemu? Ada yang pengen gue bicarain,” katanya.
“Sure! Dimana?” tanya Rian antusias.
“Gimana kalau di kafe langganan kita?”
“Deal! Sampai sana ya!”
---
Amara tiba di kafe sebelum Rian. Dia duduk di pojok, memperhatikan setiap orang yang lewat. Kafe itu penuh dengan suara tawar-menawar dan tawa. Rasanya seperti berada di dunia yang berbeda.
Ketika Rian tiba, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Hai, Mara! Lo udah pesan?”
“Belum, mau pesan bareng?” tanya Amara, berusaha menghilangkan kecanggungan.
Setelah memesan, mereka duduk berhadapan. Rian terlihat ceria, tapi Amara bisa merasakan getaran di udara. “Ada yang mau lo bicarain?” tanya Rian dengan perhatian.
“Hmm… tentang kita,” Amara memulai dengan suara pelan. “Gue ngerasa, belakangan ini ada sesuatu yang berubah.”
“Gue juga ngerasa itu. Apa karena Darren?”
Amara mengangguk. “Iya, gue bingung. Kadang gue merasa senang sama lo, tapi di sisi lain, ada juga perasaan buat Darren.”
Rian terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Amara. “Gue paham. Kadang cinta emang bikin kita bingung. Tapi lo harus ingat, lo yang punya kendali atas perasaan lo.”
Amara terharu mendengar itu. “Tapi… gue nggak mau nyakitin siapa pun.”
“Lo bukan orang jahat, Mara. Ini soal perasaan lo. Lo berhak untuk bahagia. Gimana kalau lo kasih tahu Darren juga tentang perasaan lo?” saran Rian.
Amara merasa beban di hatinya sedikit berkurang. “Lo bener, sih. Mungkin gue memang harus bicara sama Darren juga.”
Setelah menyelesaikan makanan mereka, Rian mengantarkan Amara pulang. Di sepanjang perjalanan, mereka berbincang ringan, tetapi Amara merasa suasana itu berbeda. Ada sesuatu yang sudah diputuskan, dan dia bisa merasakannya.
---
Sesampainya di rumah, Amara merasa bersemangat. Dia segera mengirim pesan ke Darren.
Amara: “Hey, Darren. Kita perlu bicara. Bisa ketemu besok?”
Darren membalas dengan cepat.
Darren: “Tentu! Di mana?”
“Di taman, jam 4 sore?”
Darren: “Deal! Nggak sabar buat ketemu!”
Dengan perasaan campur aduk, Amara pergi tidur, berharap bahwa keputusannya adalah yang terbaik.
---
Keesokan harinya, Amara merasa gugup saat menuju taman. Hati berdebar-debar, menciptakan suasana yang tegang. Dia tiba lebih awal dan mencoba menenangkan diri dengan berjalan-jalan di sekitar taman. Melihat anak-anak bermain dan orang dewasa yang bersantai, membuatnya merasa lebih tenang.
Akhirnya, Darren tiba dengan senyuman cerah. “Mara! Senangnya bisa ketemu lo!”
“Hai, Darren!” Amara menyapa sambil berusaha tersenyum.
Setelah beberapa saat berbincang santai, Amara merasa saatnya untuk berbicara. “Darren, ada yang ingin gue bicarakan.”
“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Darren dengan ekspresi khawatir.
“Gue… sebenarnya lagi bingung tentang perasaan gue,” ungkap Amara, menarik napas dalam.
Darren menatapnya dengan serius. “Tentang kita?”
“Dan Rian,” tambah Amara. “Gue merasa ada ketertarikan dari dua arah.”
Darren terdiam, sepertinya tidak menyangka. “Gue paham. Emang kadang cinta bisa bikin kita bingung. Tapi lo harus tahu, gue suka sama lo, Mara. Gue pengen kita bisa lebih dari teman.”
Perasaan Amara bercampur aduk. Kecemasan dan harapan bersatu dalam hatinya. “Gue juga suka sama lo, Darren. Tapi…”
“Lo merasa nggak adil sama Rian, kan?” Darren menyela.
Amara mengangguk. “Iya. Dia juga baik sama gue.”
Darren menghela napas, terlihat merenung. “Lo harus jujur sama diri lo sendiri, Mara. Jangan sampai lo menyesal.”
Amara merasakan benang tipis yang menghubungkannya dengan Darren. Dia harus membuat keputusan, dan dia tahu bahwa pilihan itu tidak akan mudah.
“Gue butuh waktu buat mikirin ini. Dan gue nggak mau nyakitin siapa pun,” katanya pelan.
Darren mengangguk, tampak mengerti. “Gue akan nunggu. Lo harus bahagia, Mara.”
Setelah pertemuan itu, Amara merasakan beban di pundaknya sedikit berkurang. Dia tahu bahwa dia harus jujur dan berani memilih. Namun, keputusan ini bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Rian yang selalu ada di sisinya.
---
Malam harinya, Amara berbaring di tempat tidurnya, merenungkan semuanya. Pikiran tentang Darren dan Rian terus berseliweran dalam benaknya. Dalam kesunyian, dia memikirkan semua kenangan indah yang telah mereka bagi.
“Siapa yang lebih cocok untuk gue?” tanyanya pada diri sendiri. “Cinta bukan hanya tentang rasa senang, tapi juga tentang saling mendukung dan memahami.”
Saat merenung, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Rian.
Rian: “Mara, mau nanya, apa kita bisa ngobrol lagi? Ada yang mau gue sampaikan.”
Amara merasakan jantungnya berdebar. “Apa ini pertanda?” pikirnya. “Apa Rian juga punya perasaan yang sama?”
Dia menatap layar ponselnya, berpikir untuk membalas. “Tentu, Rian. Kapan?”
---
Amara tahu bahwa pertemuan berikutnya akan menjadi momen penting dalam hidupnya. Dia tidak hanya harus memikirkan perasaannya, tetapi juga konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil. Dengan penuh harapan dan ketegangan, dia mempersiapkan diri untuk menghadapi Rian sekali lagi.
...----------------...
Hmmmm...... Menurut kalian Apakah Rian juga merasakan kebingungan yang sama? Atau justru dia punya jawaban untuk semua pertanyaan Amara?🤔🤔🤔
#Jangan ya dek ya
Next part 🤣
semangat berkarya../Determined//Determined//Determined/