NovelToon NovelToon
TURUN RANJANG

TURUN RANJANG

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Duda / Dikelilingi wanita cantik / Mengubah Takdir / Kehidupan di Kantor
Popularitas:7.9k
Nilai: 5
Nama Author: Kikan Selviani Putri

Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.

Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?

Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?

Temukan kisahnya hanya di sini!^^

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

INISIATIF DAMIAN

Pagi itu, setelah sarapan yang hangat bersama keluarga, Annisa dan Damian mulai bersiap-siap untuk pulang. Mereka memasukkan koper-koper ke mobil, sementara Bunda Annisa berdiri di teras, memandang putrinya dengan perasaan campur aduk.

"Bunda, Annisa pamit ya, doain terus supaya kami baik-baik saja." Annisa tersenyum sambil menggenggam tangan ibunya, meskipun dalam hatinya ada rasa berat untuk pergi.

Bunda menatapnya dengan lembut, namun sorot matanya jelas menunjukkan kesedihan yang tak terucapkan. “Iya, Nak. Bunda akan selalu doakan. Jangan lupa sering-sering pulang, ya. Bunda sudah rindu lagi sebelum kalian pergi.” Suaranya bergetar, namun ia tetap mencoba tersenyum.

Di sampingnya, Ayah Annisa menyentuh pundak istrinya, memberi dorongan agar Bunda tetap kuat. “Sudahlah, Bun. Jangan buat mereka berat meninggalkan rumah. Mereka ini kan datang dengan niat baik, dan pasti bakal sering pulang lagi, ya kan, Nis?” Ayah tersenyum pada Annisa dan Damian.

Damian mengangguk, menghargai dukungan yang selama ini diberikan oleh keluarga Annisa. "Iya, Yah, Insya Allah kami bakal sering mampir. Kami juga merasa lebih damai setiap kali di sini."

Annisa melirik Damian, sedikit terkejut mendengar ucapannya. Biasanya, Damian jarang menunjukkan keterbukaan seperti itu pada keluarganya. Mungkin, perubahan perlahan ini benar-benar membawa kedekatan yang baru di antara mereka.

"Bunda, Ayah," Damian melanjutkan, "terima kasih sudah menerima saya. Terima kasih juga sudah mengizinkan kami menginap di sini. Saya mohon doa dari kalian agar semuanya berjalan baik ke depannya." Suara Damian terdengar tulus, membuat Bunda Annisa tersenyum lebar walau masih ada genangan air mata di sudut matanya.

“Iya, Damian. Kami doakan yang terbaik. Bunda dan Ayah selalu bangga sama kalian,” jawab Bunda sambil mengelus lengan Annisa dengan penuh kasih. “Damian, jagain Annisa, ya. Ingat, dia itu tetap anak Bunda. Jangan biarkan dia sendirian di saat-saat sulit.”

Damian mengangguk, memahami makna dalam ucapan itu. “Iya, Bunda. Saya akan jaga Annisa.”

Selesai berpamitan, Damian dan Annisa naik ke dalam mobil. Saat mereka menyalakan mesin, Bunda masih berdiri di sana, melambaikan tangan dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Ayah merangkul pundak istrinya, berusaha meneguhkan hati Bunda yang tampak semakin berat melepaskan Annisa.

Annisa membalas lambaian tangan mereka dari jendela. "Bunda, Ayah, sampai ketemu lagi, ya!" katanya dengan suara yang sedikit tercekat.

Damian meraih tangannya di dalam mobil, memberikan genggaman hangat yang membuat Annisa tersenyum kecil. Mereka pun perlahan meninggalkan halaman rumah, sementara di belakang, Bunda dan Ayahnya terus melambaikan tangan hingga mobil menghilang dari pandangan.

Setelah beberapa saat dalam keheningan di perjalanan, Annisa berbisik sambil memandang ke luar jendela, "Aku merasa seperti pulang dari perjalanan yang panjang. Rasanya hangat setiap kali ke rumah Bunda dan Ayah."

Damian mengangguk, "Aku juga merasakan itu, Nis. Mereka selalu membuat kita merasa diterima dengan sangat baik." Sambil menyetir, Damian melirik Annisa dan tersenyum. "Aku janji, kita akan sering kembali ke sini. Aku juga suka berada di tengah keluarga kamu.”

Annisa tersenyum, merasa lega dan senang mendengar itu. Perjalanan pulang kali ini terasa berbeda—ada perasaan tenang yang perlahan menyelimuti mereka, seakan mereka sudah menemukan rumah yang sesungguhnya.

Annisa menyandarkan tubuhnya, menatap keluar jendela sambil tersenyum. Dua tahun penuh perjuangan dan kesabaran, semua terasa begitu berharga saat ini. Dalam hatinya, ia bersyukur telah memilih untuk bertahan di tengah rasa sakit dan pengabaian yang sempat menghampiri.

Tatapannya berpaling pada Damian, yang tengah fokus menyetir di sampingnya. Ada perasaan hangat yang tumbuh setiap kali melihat lelaki itu kini. Damian yang dulu dingin dan tak tersentuh, perlahan menunjukkan sisi yang selama ini Annisa harapkan. Dan setiap perubahan kecil itu terasa begitu manis baginya.

Damian menyadari tatapan Annisa. "Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanyanya, memecah keheningan dengan nada penasaran.

Annisa tergelak pelan, lalu menggeleng. "Nggak ada apa-apa, Mas. Cuma… bersyukur saja."

“Bersyukur?” Damian mengangkat alisnya, sedikit tersenyum, namun tetap fokus pada jalan. “Maksudnya?”

Annisa terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara lembut, “Aku bersyukur bisa melalui semuanya sampai sekarang. Bersyukur karena memilih untuk tetap di sini, meski awalnya berat. Karena…” Ia menarik napas dalam-dalam, menatap Damian lebih dalam, “Semua yang aku lalui, ternyata membawaku pada versi kita yang seperti ini. Yang lebih baik.”

Damian terdiam mendengar pengakuan Annisa. Ada rasa bersalah yang sempat terlintas, namun ia mencoba untuk menepisnya. Ia tahu, sikapnya dulu telah menyakiti wanita di sampingnya ini. Namun, Annisa tetap bersabar dan memilih untuk bertahan.

“Annisa,” Damian berbicara lirih, suaranya terdengar serius. “Terima kasih sudah tetap ada di sini. Aku tahu, aku bukan suami yang baik di awal pernikahan kita, dan aku nggak bisa mengubah masa lalu. Tapi…” Ia menggenggam tangan Annisa yang berada di sampingnya. “Aku akan mencoba yang terbaik sekarang, untuk kita.”

Annisa menatap genggaman tangan mereka, lalu tersenyum kecil. “Itu sudah lebih dari cukup, Mas.”

Perjalanan yang hening itu kini terasa penuh makna. Damian tidak melepas genggaman tangannya sepanjang sisa perjalanan. Dan Annisa, dengan senyum yang tak pernah pudar, merasakan bahwa perjuangan dan kesabaran yang telah ia lalui selama ini akhirnya berbuah manis.

Ketika mereka sudah menempuh hampir setengah perjalanan, Damian mengarahkan mobil ke pinggir jalan dan berhenti di sebuah kedai kecil yang ramai. Annisa menatapnya heran, “Kenapa berhenti, Mas? Lapar?”

Damian tersenyum, menoleh padanya sambil melepas sabuk pengaman. “Nggak juga, tapi aku baru ingat ada es krim viral di sini. Katanya enak banget, dan sekalian kita istirahat sebentar.”

Annisa mengangguk, merasa senang dengan ide spontan Damian. Mereka pun turun dari mobil dan menuju kedai tersebut. Suasananya hangat, dan aroma manis es krim segera tercium begitu mereka masuk. Setelah memesan, mereka memilih duduk di bangku kayu kecil di luar kedai.

“Katanya es krim ini ada campuran buah asli, jadi rasanya beda dari yang biasa,” kata Damian sambil menyerahkan satu cup es krim rasa mangga kepada Annisa.

Annisa mencoba suapan pertamanya dan mengangguk setuju. “Wah, memang enak, Mas! Rasanya segar dan nggak terlalu manis.” Ia tersenyum ceria, menikmati es krimnya dengan penuh semangat.

Damian tersenyum melihat ekspresi Annisa. Ada kebahagiaan sederhana yang ia rasakan saat melihat Annisa tersenyum lepas seperti itu. Dalam beberapa bulan terakhir, ia mulai menyadari betapa tulusnya perasaan wanita di sampingnya ini.

“Jadi, gimana rasanya pulang ke rumah orang tua setelah lama nggak ketemu?” Damian bertanya, sambil menikmati es krimnya.

“Rasanya selalu nyaman,” jawab Annisa, senyum lembut di wajahnya. “Setiap kali pulang, aku selalu ingat masa kecil dulu. Orang tua selalu menyambut dengan hangat, meskipun cuma beberapa hari.”

Damian mengangguk pelan. “Aku paham. Kalau sama orang tua kita pasti merasa aman dan diterima apa adanya, ya?”

Annisa tersenyum, merasa terkejut bahwa Damian mau berbicara terbuka seperti itu. “Iya, benar. Sama seperti rasa nyaman yang perlahan-lahan mulai kurasakan di rumah kita,” katanya pelan, tapi penuh arti.

Damian terdiam sejenak, menatap Annisa dengan ekspresi serius. “Kalau gitu, aku juga harus pastikan rasa itu selalu ada buat kamu di rumah. Terima kasih, Nis… sudah berusaha untuk kita,” ucapnya lirih.

Annisa tersipu, tapi perasaannya penuh dengan kehangatan yang sulit dijelaskan. Mereka berdua melanjutkan makan es krim dengan senyum tak henti di wajah, menikmati momen kecil yang berharga dalam perjalanan panjang ini.

1
MacchiatoLatte
semoga Clara segera menganggap Annisa sebagai mamanya
Khay🌻
lagi kak lagi lagi lagi..... crazy up!!!!!!!
🍁Kikan👀✨BS✨: bosan judul enggres Kak.. 🤣🤣🤣🤣
Khay🌻: diam2 turun ranjang aja cb 😌
total 3 replies
Sarifah
lanjut
Genda Dawangsha
istri secantik dan sebaik Annisa di sia-siakan. Menyesal kau dam
Genda Dawangsha
sabar ya Nis, kalau gak kuat kamu pergi aja nis.
Yuanita Monata
tobat Damian
Mulan Jamaika
semangat kaa
Mulan Jamaika
asiik doubel up!
Puput
bagus
Puput
next
Amel Gandaria
yaampun, tikung aja Andiii
Echa Diasta
lanjut
Echa Diasta
tinggalin aja nis
Echa Diasta
ya Allah, amit amit punya suami kayak Damian
Echa Diasta
dengerin dulu orang ngomong
Echa Diasta
egois banget si Damian
MacchiatoLatte
Yeay uppp!!!
Sarifah
jangan sampai menyesal Damian
Sarifah
karna kau bangst
Sarifah
terus perioritas itu perasaan Lo ya Damian? anjj
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!