Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak dari Masa Lalu
Sejak pindah ke rumah Eyang, Riko mengambil ATM-nya yang selama ini kupegang. ATM itu memang sejak awal hanya dititipkan. Sebagai istri, aku tidak pernah diberikan kewenangan untuk mengelola uang Riko. Semua keputusan untuk membeli ini atau itu dan anggaran belanja sehari-hari, selama ini Riko yang memutuskan.
“Kalau butuh apa-apa, bilang Yangti saja ya!” Begitu kata suamiku. Semua kebutuhan di rumah itu eyang putri yang mengatur. Dari mulai bahan makanan, keperluan mandi dan cuci, listrik, pembantu, sampai uang jajan Aksa. Semua itu dibiayai oleh eyang. Begitu pun kebutuhan Ria dan anaknya. Gaji suami Ria, hanya untuk beli rokok dan jajan mereka. Hanya Ima yang hidup mandiri tanpa bantuan dari orang tua.
Baik Riko atau pun orangtuanya tidak pernah bertanya soal biaya sekolah Aksa, atau biaya hidup ibuku di Bogor. Aku dan adik-adikku sudah terbiasa memberi uang untuk Ibu setiap bulan. Seingatku, Riko juga tahu akan hal itu. Bulan lalu, saat Aksa masuk sekolah, Riko tidak menawarkan bantuan untuk biayanya. Aku pun tidak mau minta. Bukankah seharusnya dia yang pengertian dan peka.
“Biar aja bapaknya Aksa yang biayai. Masa kau harus keluar uang!”
Malam itu, aku mendengar eyang putri berbicara dengan Riko di dapur. Dari kamar atas, jika melangkah sedikit ke tempat jemuran, suara dari dapur memang cukup jelas terdengar. Sebab ada tangga dari sana menuju ruang jemuran ini. Aku diam sambil menahan napas.
“Iya sih, toh selama ini juga Raina nggak minta.” Sahut Riko
“Bapaknya Aksa, denger-denger kaya kan?”
“Enggak tahu Yangti. Saya lihat sih tidak pernah berkomunikasi.”
“Ya sudah. Raina kan sudah enak tinggal di sini. Semua disediakan. Tinggal kau urus anakmu itu. Kiriman dari Eyang setiap bulan, masih nyampe kan?
“Iya. Nana juga kemarin minta lagi buat beli pampers sama susu. Kirim saja sama Eyang!”
“Oke!”
Hening. Tak ada lagi suara. termasuk aku yang diam seribu bahasa. Sambil menahan sakit di bawah perut, lagi-lagi aku bertanya. Anak? Anak Riko? Nana?
Dengan segala rasa yang kutahan, aku kembali masuk ke dalam kamar. Tak lama Riko pun menyusul.
“Sayang, belum tidur?”
“Mas, bisa dijelaskan Nana itu siapa? Nana mantan kamu yang saudaranya Dino? Dan kenapa kamu punya anak dari dia? Tolong Mas, sebelum aku pergi dari rumah ini.”
Riko melongo. Diam beberapa saat.
“I.. itu.. gini Sayang, sebentar ya. Sebenarnya… “
“Eyaang … Yangti…!” Riko berteriak memanggil eyang putri.
Dengan tergopoh-gopoh eyang putri masuk ke dalam kamar kami, tak lama Ria pun menyusul. Aku yang terisak sambil berdiri, sudah bingung harus berbuat apa. Ingin rasanya pergi dari rumah saat itu juga. Tetapi bagaimana dengan Aksa. Ia tidak pernah menyaksikan adegan pertengkaran sejak dia lahir.
“Kenapa?” Eyang panik melihatku menangis.
“Yangti sih, saya sudah bilang jangan ditutupi. Jadinya gini kan. Raina tahu soal anak saya. Harusnya sejak pacaran saya bilang semuanya!” Riko berteriak pada ibunya.
“Ya ampun Raina.. maafin Eyang ya, maafin Riko juga. Jadi, Nana itu hamil di luar nikah dengan Riko. Tapi aku enggak setuju kalau mereka menikah. Nana juga begitu, dia masih ingin mengejar karirnya. Akhirnya kami sepakat, untuk membiayai kebutuhan anak Riko dan Nana.
“Kenapa harus ditutupi Eyang?” Tanyaku sambil terisak.
“Itulah Raina. Kami tidak mau nama baik keluarga jadi buruk. Kami juga menjaga perasaanmu. Kami khawatir, kalau kamu nggak mau menerima Riko jadi suamimu.”
Jaga perasaan apa bunuh perasaan. Enak saja mempermainkan perasaan orang.
“Lagian Mbak, Riko sama Nana bukan suami istri. Itu hanya kecelakaan saja!” Ria menambahkan yang sejak tadi mengusap-usap punggung ibunya.
“Anaknya di mana? Berapa tahun?” Tanyaku lagi
“Lima tahun Mbak, laki-laki. Tinggal sama ibunya di Lampung.” Sahut Ria lagi.
Riko yang sejak tadi diam, tiba-tiba berdiri menarik tanganku, mendudukanku ke tempat tidur.
“Kamu tidur ya, Sayang. Istrirahat, kasian bayi kita!” Riko mencoba menenangkanku dan mengelus kepalaku. Seolah-olah semua permasalahan sudah selesai dan berlalu bergitu saja. Semua kebohongan sepertinya hanya semangkuk mie instan yang lekas habis. Aku tidak mengerti dengan keluarga ini. Begitu mudahnya mereka menutupi banyak hal demi memenuhi keinginan Riko. Begitu istimewakah seorang anak laki-laki di keluarga ini. Memiliki anak di luar nikah bukan persoalan sederhana. Terlebih lagi, selama ini aku tidak pernah mengetahuinya.
“Oh iya, bulan depan kita adakan acara empat bulanan ya, sama nujuh bulan. Tenang aja, semuanya Eyang yang atur. Untuk konsumsi dan lain-lain, Ria juga bisa urus kok!” kata Eyang sambil melangkah keluar dari kamar, begitupun dengan Ria.
Drama apa ini? Kok bisa, baru saja terkuak rahasia Riko yang lain, tiba-tiba membahas soal acara empat bulanan. Lukaku saja masih menganga, masih butuh waktu untuk mencerna segala yang datang tiba-tiba. Riko, pria yang terlanjur menjadi suamiku itu, cukup berteriak memanggil Eyang untuk menyelesaikan masalahnya. Benar-benar tidak masuk akal.
“Siapa nama anakmu itu, Mas?” tanyaku keesokan harinya. Aku bertanya tanpa melihat wajah Riko. Sibuk dengan dokumen-dokumen yang sedang aku rapikan. Siapa tau, ada pekerjaan yang cocok untukku. Aku mulai memisahkan ijazah dan beberapa sertifikat.
“Alka. Kenapa? Mau ketemu?” tanya Riko.
Alka, Aksa. Raina, Nana. Mengapa nama kami mirip? Begitu menyebalkan.
“Pasti ketemulah. Memang mau berapa lama rencananya kamu sembunyikan anak itu dariku? Suatu saat juga pasti ketemu kan? memang kamu nggak kangen sama anakmu itu?”
“Iya, kangen banget. Makasih ya sudah nerima anakku. Rasa sayang aku sama Alka dan Aksa pasti sama. Enggak mungkin kubedakan.” Senyum di wajah Riko mengembang.
Nerima? Belum tentu aku bisa menerima anak itu dengan ikhlas
“Berarti, sejak kita menikah sampai hari ini, sudah tiga bulan dong kamu nggak ketemu Alka?”
“Iya, tiga bulan. Dia sudah TK. Jadi agak susah ketemu. Nanti kalau libur sekolah, pasti Alka ke sini.”
“Bukan karena sudah TK, tapi karena kamu sibuk menutupi kebenaran. Jadi nggak bisa ketemu anak.” Aku menimpali sambil kesal.
“Maafkan aku Sayang. Aku janji ini yang terakhir, aku enggak akan bohong lagi.”
“Sebentar ya, aku susun dulu kebohonganmu. Mulai dari status kepemilikan ruko, biaya usaha dan gaji karyawan, utang-utang, sampai anak dari mantan. Wah, luar biasa sabar ya aku. Padahal aku lagi hamil loh. Gimana kalau stress terus keguguran?”
“Na, sekali lagi aku minta maaf sayang. Kamu nggak usah banyak pikiran. Urusan biaya Alka, biar Eyang putri dan Eyang kakung yang urus. Mereka tidak keberatan kok. Yang penting, kamu bisa sayang sama Alka seperti kamu sayang sama Aksa. Ya, sayang ya!”
“Enggak usah panggil aku dengan sebutan ‘Na’, jadi mirip ‘Nana’!” Aku memang keberatan dengan panggilan itu sejak mengetahui kalau nama mantan Riko adalah Nana. Panggilan ‘Sayang’ dari Riko pun terdengar berlebihan.
Riko merayuku berkali-kali. Ia memohon sambil mengusap-usap janin yang ada dalam kandungan ini.
“Bukan biaya Alka saja yang Eyang urus Mas, tapi biaya kita semua. Anak dan cucunya!”
Belum puas rasanya meluapkan amarahku. Semoga janin ini tidak terpengaruh dengan perkataan kedua orangtuanya.
Riko diam, seolah semuanya sudah selesai. Ia tertidur di sampingku, seakan tidak ada yang terjadi pada hari itu dan Pintu maafku sepertinya masih terbuka lebar. Aku sudah tidak ingin mempermasalahkan lagi soal kebohongan Riko ketika pertama kali bertanya soal Nana. Pantas saja Nana minta tanggung jawab. Mungkin maksudnya biaya anak.